V.U.C.A vs V.U.C.A

 

VUCA dengan VUCA




 

            Sepanjang tahun 2020 sampai kini, kita sudah menghidupi beberapa waktu di tahun 2022. Tema besar dari hidup kita akhir-akhir ini adalah ‘ketidakpastian’. Tidak ada yang mengira di awal tahun 2020, hidup kita akan berubah menjadi seperti ini. Itu karena virus COVID 19. Memang sekarang sudah ada vaksin. Tapi kita juga tidak tahu kapan vaksinasi akan benar-benar selesai. Kapan pandemi ini benar-benar kita kendalikan. Jadi, nampaknya kita masih akan terus hidup dalam ketidakpastian. Ada satu terminologi ysng awalnya muncul dari ranah militer, untuk memetakan, mengidentifikasi tantangan-tantangn dalam hidup. Terminologi ini disebut VUCA : Volatility, uncertainty, complexity, ambiguity. Kali ini kita akan membahas tentang VUCA, bagaimana kita hidup di dalam dunia yang mendapatkan karakteristik VUCA ini, dan seperti apa kita menanggapinya.

            VUCA terdiri dari 4 huruf, yaitu V,U,C, dan A. Setiap huruf mempunyai kepanjangan masing-masing. Pertama, “V” yang berkepanjangan Volatility. Sesuatu disebut volatile, karena ia bergejolak. Berarti volatility adalah situasi yang bergejolak. Ini menunjukkan sifat, dinamika, dan kecepatan perubahan, gaya, dan katalis perubahan itu sendiri. Nah apa tantangan dalam situasi yang volatile ini?. Apa tantangan dalam keadaan yang dipenuhi atau berada dalam keadaan yang bergejolak ini?.

            Kecepatan perubahan lebih cepat dan pesat dibandingkan kemampuan untuk merespon atau menanggapi. Jadi, meningkatnya kecepatan perubahan menuntut percepatan pengambilan keputusan. Karena itu respon yang dituntut bersifat segera. Dalam keadaan seperti ini, pemimpin biasanya gelagapan, tertekan, gelisah, dan tidak siap memimpin dengan efektif. Karena, struktur komando dan kontrol biasanya juga tidak berfungsi dalam lingkungan yang terdisrupsi dan berubah cepat. Tantangan bagi pemimpin dalam keadaan ini adalah seorang pemimpin itu dituntut untuk mampu merespon dan mengelola perubahan dengan lebih efektif. Bergeser dari kondisi reaktif terhadap perubahan, menjadi proaktif dalam menghadapi perubahan.

            Kedua, huruf “U” yang berkepanjangan Uncertainty atau  ketidakpastian. Keadaan ini adalah keadaan dimana tidak ada prekdiktabilitas, bahkan atas kemungkinan adanya kejutan, dan tidak ada kesadaran dan pemahaman tentang masalah dan peristiwa yang terjadi. Dalam keadaan yang Uncertainty ini, dalam keadaan ketidakpastian ini, sulit untuk mengerti apalagi mengambil kendali atas apa yang sebenarnya tengah terjadi. Terlalu banyak noise informasi, tapi tidak cukup banyak signal. Sulit untuk memahami rangkaian kejadian atau peristiwa. Istilahnya  connecting the dots, sulit itu dilakukan. Sulit juga untuk mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. Apalagi mengantisipasi apa akibatnya nanti. Dalam keadaan seperti ini, pemimpin dituntut untuk bertindak atas dasar informasi yang tidak mencukupi atau tidak lengkap. Karena itu, pimimpin biasanya mengandalkan apada hal-hal yang dulu berhasil di masa lalu (dalam situasi ketidakpastian yang lain). Itu menjadi referensi untuk tindakan sekarang.

            Ketiga, huruf “C”, yang berkepanjangan Complexity atau kompleksitas. Ini didefinisakan sebagai sebuah keadaan dimana ada kondisi rumitnya gaya/penentu, rancunya masalah, kekacauan serta kebingungan yang dialami sebuah entitas. Bisa dalam lingkup organisasi, bisa keluarga, bisa kelompok, dan bisa dalam lingkup apapun. Seperti apa tantangan dalam situasi yang diwarnai dengan complexity ini?. Pertama, kesulitan dalam bertindak dan kesulitan dalam mendorong perubahan yang diperlukan untuk menanggapi kaitan-kaitan kompleks atas berbagai masalah apalagi kekhawatiran. Kompleksitas yang meningkat membuat makin sulit kita mengetahui dari mana harus mulai mendorong perubahan itu sendiri. Itu tantangan paling mendasar dalam situasi yang kompleks, dalam complexity ini. Tindakan mitigasi tidak mengatasi akar masalah, tapi hanya mengobati gejala. Dalam keadaan yang diwarnai dengan complexity semacam ini biasanya pemimpin kehilangan atau tidak punya waktu untuk sungguh-sungguh bisa merefleksikan kerumitan yang ada. Lantas, apa akibatnya? Ia akan bertindak terlalu cepat atau gegabah. Pemimpin akan tergoda untuk bertindak dan mengimplementasikan solusi jangka pendek dan berlebihan mengandalkan quick wins. Dalam hal ini, pemimpin ada dalam bahaya terjebak dalam kelumpuhan analisis dan akhirnya bisa juga terlalu lambat bertindak. Ini adalah tantangan-tantangan dalam bertindak yang diwarnai oleh complexity.

            Terakhir, huruf yang keempat adalah “A” yang berkepanjangan Ambiguity atau kemenduaan yang sebenarnya. Ini adalah sebuah keadaan dimana realitas-realitas itu kabur.  Potensi salah memahami itu terjadi karena bercampurnya realitas, bercampurnya makna atas situasi, dan bingung melihat sebab-akibat. Inilah karakteristik situasi yang ambigu. Dalam keadaan seperti ini seringkali yang terjadi adalah kegagalan kita dalam memahami pentingnya sebuah peristiwa. Ada resiko yang tinggi untuk salah atau keliru dalam menterjemahkan dan memahami kejadian-kejadian. Akibatnya tanggapan atau respon tidak memadai meski terlihat efektif. Dalam keadaan yang diwarnai dengan ambiguity ini, pemimpin biasanya terlalu jauh terlempar dari sumber dan konteks berbagai peristiwa. Maka, ia akan bertindak berdasarkan pemahaman yang terbatas atas kejadian-kejadian dan makna atau arti yang bisa ia pahami.

           

Nah, lantas mengapa kita penting memahami VUCA ini?

 

Paling tidak ada dua konteks. Pertama konteks global, dan kedua adalah konteks nasional.

 

Dalam konteks global, kita tahu bahwa dunia kita sedang bergejolak di mana-mana. Krisis sosial, politik, lingkungan, ekonomi terjadi. Apalagi ditambah lagi dengan pandemi. Itu konteks pertama. Konteks kedua, adalah munculnya apa yang selama ini disebut dengan revolusi industri ke empat (Industrial Revolotion 4.0). Bahkan Jepang mengatakan munculnya masyarakat atau society 5.0. Kemunculan teknolgi ini membawa perubahan bukan hanya pada corak interkasi manusia, tapi bagaimana kemampuan manusia untuk berproduksi. Bagaimana manusia menjalankan fitrahnya sebagai makhluk hidup di dunia ini. Havard Bussiness Review menunjukkan bahwa peningkatan produktifitas tidak serta merta dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan. Peningkatan produktivitas karena teknologi ternyata tidak seiring dengan tumbuhnya lapangan pekerjaan. Memang ada resiko, bahwa teknologi yang makin canggih menghapus sejumlah pekerjaan manusia. Meskipun tentu saja ada banyak peluang lain juga muncul disana. Konteks yang lain adalah urbanisasi. Dunia kita makin meng-urban, suka atau tidak suka. Dan urbanisasi ini akan mengubah cara manusia hidup. Dampak yang terkait langsung adalah pemanasan global, perubahan iklim tentunya. Manusia sudah bekerja, membangun selama ini. Tetapi caranya membangun sudah melampaui kapasitas bumi, dan sudah pula pada tahap yang membahayakan. Karena itu, konteks terakhir adalah munculnya Sustainable Development Goals atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. SDGs ini mau mengoreksi cara kita membangun. Kalau dulu dalam MDGs (Millennium Development Goals) kita tahu ada tiga pilar, yaitu sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kalau dalam SDGs ada lima dimensi. Bukan hanya pilar, tapi dimensi. Kelima dimensi itu adalah, 1. People/manusia, 2. Planet, 3. Prosperity atau kesejahteraan, bukan hanya profit, 4. Peace atau perdamaian, 5. Partnership.

Kedua, dalam konteks nasional, di Indonesia saat ini kita punya 270 jt penduduk. Kita membangun dengan amat baik. Setidaknya sebelum krisis karena pandemi COVID 19 kita tumbuh dengan stabil sekitar 5%. Pengangguran bisa ditekan di bawah 5%. Inflasi bisa kita tekan di bawah 3%. Kemiskinan bisa kita tekan untuk pertama kalinya dalam sejarah dibawah 2 digit: sekitar 9,3% - 9,5%. Capaian pembangunan kita beragam. Infrastruktur, kesejahteraan, dll. Memang pandemi COVID 19 lalu memporak-porandakan hasil pembangunan tersebut. Kemiskinan kembali meningkat, pengangguran meningkat, dan berbagai hal-hal lain. Ini adalah konteks nasional, dan kita tahu persis ada kesenjangan yang masih perlu dijembatani antara jawa dan luar jawa, antara daerah yang menikmati kue pembangunan lebih banyak dibandingkan yang belum. Selama lima tahun pertama periode pemerintahan Bapak Jokowi, sudah dicoba untuk membangun dengan lebih adil dengan paradigma Indonesia sentris, bukan jawa sentris. Ini semua adalah konteks nasional. Kita tahu bahwa apa yang sudah dibangun sekian lama bisa berantakan kalau tidak waspada, kalau kita tidak sadar bahwa aspek ketidakpastian mewarnai hidup ini. Jadi itulah dua konteks besar mengapa kita perlu memahami VUCA. Barangkali kalau ingin ditelaah lebih jauh dalam konteks ini, juga dalam konteks teknologi. Bahwa teknologi digital, teknologi informasi, sudah amat mempengaruhi cara hidup.

 

Jadi, apa sebenarnya VUCA?

 

Milliter di Amerika Serikat mulai menggunakan istilah ini di akhir tahun 1990-an pasca perang dingin. Dalam definisi mereka, VUCA terkait dengan bagaimana orang, manusia, organisasi, memahami situasi atau kondisi dimana mereka harus membuat keputusan, merencanakan, mengelola resiko, mendesakkan perubahan dan menjawab persoalan. Kalau dikutip langsung:

 

“VUCA relates to how people view the conditions under which they make decisions, plan forward, manage risk, foster change, and solve problems”

 

VUCA ini mencerminkan dunia yang amat pesat, cepat berubah, makin tidak stabil, makin sulit diduga arahnya.

 

Lantas, apa dampak VUCA?

 

Volattility atau keadaan yang bergejolak akan menciptakan ketakutan, ketidak beranian mengambil resiko, dan reaksi yang sifatnya back to basics. Sedangkan uncertainty atau ketidakpastian menciptakan kelumpuhan melalui kecenderungan untuk menginvestasikan secara berlebihan, namun sebenarnya sia-sia upaya untuk menganalisa data. Complexity atau kompleksitas menciptakan kinginan untuk mencari kambing hitam atau solusi hitam-putih yang biasanya salah. Ini wajar dalam keasaan yang membingungkan, yang kompleks, orang cenderung mencari sesuatu yang mudah saja. Terakhir, ambiguity atau memenduaan. Ini mengakibatkan kebingungan, keraguan, ketidak percayaan, dan menghambat pengambilan keputusan dan perubahan.

 

Kalau seperti itu, lalu apa obat VUCA?

 

Obat VUCA adalah VUCA itu sendiri.

Maksudnya, dalam In volatility, have vision. Dalam keadaan yang bergejolak harus mempunyai visi. Jadi volatility obatnya visions. Satu, ubah data menjadi informasi. Kedua, segera komunikasikan (visi semestinya segera disampaikan). Ketiga, pastikan niat atau intensi itu dimengerti. Dalam keadaan yang bergejolak, orang sulit memahami ini apa niatnya?. Segera dipastikan orang yag mengerti. Itu “V”.

In uncertainty, have understanding. Jadi obat uncertainty adalah understanding atau pemahaman. Cari perspektif yang baru. Fleksibel. Tengok ke belakang sekilas saja, tapi tatap ke depan. Itu obat untuk menghadapi uncertainty.

In complexity, have clarity. Dalam hal yang kompleks pasti ada kejelasan. Karena itu, pertama yang perlu dikembangkan adalah kemampuan untuk berkolaborasi. Dengan kolaborasi, perspektif kita lebih luas. Kita punya luas lebih kejelasan. Kedua, berhenti mencari solusi yang sifatnya permanen. Tidak ada solusi yang permanen. Akan tetapi yang ada solusi-solusi temporer yang mesti cepat diambil. Ketiga, latihlah pahlawan hari esok itu sekarang. Kita perlu menyiapkan mereka-mereka yang akan menjadi pahlawan kita esok mulai sekarang.

Terakhir, ambigulity. In ambiguity have agility. Dalam keadaan yang ambigu, perlu ada keluwesan. Perlu mendengar baik-baik. Perlu berpikir dengan cara berbeda. Menyiapkan diri untuk melihat hal-hal secara bertahap, maka hasil atau output itu juga akan muncul, diraih secara bertahap, dan luwes. Jadi, untuk menghadapi VUCA diperlukan VUCA.

 

VUCA and VUCA

In volatility, have vision.

In uncertainty, have understanding.

In complexity, have clarity.

In ambigu, have agility.

 

 

Lantas, kemana ini membawa kita?

Ada beberapa hal yang mesti kita pikir baik-baik.

 

Pertama, nampaknya kita mesti memperjelas tujuan apa yang mau kita raih. Kita perlu mengambil waktu untuk merumuskan kembali apa yang sungguh-sungguh penting bagi kita. Dan apa yang sebenarnya hanya pilihan saja. Tidak semua hal di dunia ini penting. Tidak semua hal yang ada di dunia ini mesti dilakukan. Ada yang optional.

Kedua, kita harus mempunyai peta. Kita mesti punya gambaran ke mana kita akan melangkah, agar kita tidak tersesat. Ketika perki ke suatu arah, kita pergi ke suatu daerah, yang kita tidak tahu sebelumnya. Masa depan adalah daerah yang kita belum tahu. Karena itu kita seyogyanya punya peta. Seperti apa kita melangkah di masa depan nanti.

Ketiga, kita mesti berani. Be brave. Karena rahasia untuk ada disana yang lebih dulu dari yang lain adalah berani memulai. Berani memulai lebih dulu.

Keempat, kita nampaknya mesti mulai melatih diri untuk belajar menjelajah ke area-area yang kita belum tahu sebelumnya. Cara terbaik untuk mengatasi ketakutan menjelahi apa yang kita belum tahu sebenarnya adalah bertindak. Ambil langkah pertana untuk bertindak. Dan kita akan melihat bahwa sebenarnya area yang tidak kita ketahui itu tidak sebegitu menakutkan.

Kelima, fokus. Harga yang harus kita bayar dengan seluruh kemajuan ini adalah kedangkalan. Kita semua makin heboh dengan teknologi, menikmati hidup, dan kita lalu tidak tau apa yang penting dan yang lebih penting. Kita semestinya bisa berfokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan. Seringkali kita sibuk menanggapi hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Jangan terobesesi atas apa yang mungkin terjadi. Tetapi fokus pada hal yang bisa kita lakukan dan kita kendalikan.

Keenam, terbukalah. Terbukalah dengan kejutan-kejutan. Kejutan itu terjadi kapan saja. Kejutan itu terjadi dimana saja. Bersiap, bersikap positif. Dan kalau kita siap dan bersikap positif, kita akan melihat bahwa banyak hal yang kita alami itu akan  terjadi. Bahkan kita akan mengalami hal-hal yang selama ini mungkin belum pernah kita mimpikan.

Ketujuh dan yang terakhir, adalah terimalah resiko. Resiko memang ada untuk diambil, dan untuk diterima. Biasanya sesuatu yang makin besar resikonya, juga makin besar hal yang kita dapatkan. Namun, penting untuk berfikir lebih mendalam, bahwa dengan menerima resiko itu sebenarnya meminimalisir dan menerima apa yang kita tidak bisa hilangkan dalam hidup.

 

Satu hal penting menghidupi VUCA adalah kemampuan untuk berkolaborasi. Diluar kolaborasi, yang lebih mendasar sebenarnya karena kita semua punya, atau menghidupi, atau menghadapi ketimpangan resiko. Dalam satu tajuknya, wall street journal tahun lalu menulis, we are not in the same boat. We are in the same storm. Kita tidak berada pada perahu yang sama, tapi kita menghadapi badai yang sama.

 

 

 

Dunia atau hidup dengan VUCA adalah keniscayaan. Tetapi bagaimana kita menghidupinya adalah pilihan.

 

SYAHDAN

    Pada tempat yang sunyi , senyap , disekitar macam-macam gunung diluar Mekah timbullah berkali-kali persoalan. Lagit Arabia tiada dili...