Intellectual Curiosity

 




                Beberapa waktu yang lalu kita pernah membahas tentang  prestasi yang diraih oleh umat manusia. Salah satu Matrix yang merupakan manifestasi dari beberapa prestasi itu adalah penghargaan Nobel. Ini adalah penghargaan Internasional tahunan yang diberikan kepada mereka yang telah memberikan kontribusi ataupun manfaat besar bagi umat manusia dalam bidang fisika, kimia, kedokteran, literatur, perdamaian, dan ekonomi. Penghargaan ini dimulai oleh Alfred Nobel, seorang ahli kimia dan juga industrialis dari Swedia yang terkenal karena penemuan dinamit pada tahun 1901. Tentunya setiap pemenang selama ini menerima medali emas, Diploma, dan penghargaan uang yang sangat berarti.

 

                Apabila kita buka password tahun 2021, yaitu selama 120 tahun, penghargaan Nobel telah diberikan kepada 975 pemenang baik individu maupun organisasi. Dari 975 pemenang tersebut itu ada 344 pemenang dalam bidang non sains dan 631 pemenang dalam bidang sains. Jadinya kurang lebih sains itu 65% dan non-sains 35%.

                

                Kalau kita kupas lagi dalam konteks sains, ada beberapa bagian dari populasi dunia yang sudah memenangkan hadiah Nobel. Kalau kita lihat dalam konteks pemenang Nobel di Bidang sains dari sisi kepercayaan atau keyakinan, kaum Nasrani yang merupakan kurang lebih 32% dari populasi dunia, maka jumlah kaum Nasrani itu kurang lebih 2,4 sampai 2,5 miliar, mereka telah memenangkan lebih dari 66% dari total hadiah Nobel dalam bidang sains. Sedangkan kaum muslim atau Islam yang mana populasi muslim di dunia itu kurang lebih 1,8 miliar atau 24% dari populasi dunia, mereka baru memenangkan hanya 0,5% dari total hadiah Nobel yang telah diberikan selama 120 tahun terakhir ini. Kaum Hindu mereka hanya memenangkan 0,6% dari total hadiah Nobel. Sedangkan kaum Yahudi yang jumlah populasinya itu tidak lebih dari 20 juta dalam konteks populasi 7,8 miliar di dunia, mereka sudah memenangkan cukup banyak. Lebih Dari 23% dari total hadiah Nobel yang telah diberikan dalam bidang sains selama 120 tahun.

 

                Ini merupakan catatan, dan catatan ini agak bertolak belakang atau berbeda dengan apa yang kita ketahui mungkin dalam konteks kejayaan Islam di abad ke-8 sampai abad ke-13. Apabila kita ditanya mengenai ilmuwan-ilmuwan yang terkenal kita kurang mengenal nama-nama yang datang dari zaman kejayaan Islam, yang jauh lebih dikenal adalah nama-nama ilmuwan seperti Isac Newton, Aristoteles, Albert Eistein, dan Charles Darwin. Dan mereka yang cukup terkenal dan sangat berjaya dalam beberapa ratus tahun terakhir ini. Tapi kalau kita melihat sejarah, bahkan mengacu ke sistem bilangan atau angka yang dipakai oleh seluruh dunia  hari ini berbasiskan sistem bilangan Arab yang ditemukan lebih dari 1000 tahun yang lalu dan ini juga mendapat bantuan dari ilmu-ilmu yang datang dari India dan tempat-tempat lainnya. Bahkan kalau kita lihat nama-nama dari bintang-bintang yang ada yang sudah diberikan nama dalam galaksi Milky Way, itu lebih dari 2/3 dari nama-nama yang sudah diberikan untuk bintang-bintang di galaksi Milky Way, itu diberikan oleh ahli-ahli di zaman Abbasiyah yang berlaku dari abad ke-8 sampai sahabat ke-13.

 

                Kegemilangan Islam itu termanifestasi dalam tiga zaman pada intinya. Pertama itu di zaman Umayyah yang berlangsung dari tahun 660 sampai 750 dan zaman Abbasiyah atau abbasid yang berlangsung dari tahun 750-1258, dan zaman Ottoman yang berlangsung dari abad ke-13 sampai awal abad ke-20 yang mana itu tercermin dalam berakhirnya perang dunia pertama. Kalau kita lihat ketiga zaman tersebut yang mencerminkan kegemilangan Islam itu memiliki beberapa benang merah dan salah satunya tentunya adalah kapasitas mereka untuk menunjukkan keterbukaan, kehausan untuk mencari ilmu dari seluruh penjuru, dan toleransi untuk bagaimana mereka bisa menunjukkan toleransi kepada siapapun. Apakah mereka itu dari kaum Yahudi, Syriak, Yunani, latin, Persia, Aramaik, Nasrani dan lain-lain. Dan hal-hal seperti itu termanifestasi dalam perpustakaan atau lembaga pendidikan yang luar biasa yaitu The House of Wisdom atau Bait al-Hikmah atau rumah kebijaksanaan. Ini didirikan di zaman Abbasiyah atau abbasid yang diprakarsai oleh Al-Makmun, Al-Mansur, dan Harun Al-Rasyid dan tentunya termanifestasi dalam beberapa ilmuwan yang sangat besar termasuk Al-Khwarizmi, Ibn Sina, Ibn al-Haytam, al-Biruni, dan lain-lain. Pada intinya “There is no muslim science. There is no jewish science. There is no Christian science. There is only one science”. Dan hal itu yang sangat dikedepankan oleh teman-teman kita di era kegemilangan Islam di zaman Umayyah, Abbasiyah, dan Ottoman. Mungkin apabila pengendapan sains dan teknologi terus berlanjut semenjak zaman keemasan Islam di zaman abbasid, jauh lebih besar dari 0,5% dari hadiah Nobel di Bidang sains bisa dimenangkan oleh orang Islam.


        Selama ini ada beberapa pemikiran ataupun spekulasi mengenai sebab berkurangnya pengendapanan sains dan teknologi semenjak berakhirnya zaman abbasid atau Abbasiyah di tahun 1258.  Pertama, mungkin saja serangan yang spektakuler yang dilakukan oleh Hulagu Khan terhadap Baghdad, dengan hancurnya dokumentasi ilmu pengetahuan yang banyak terakumulasi semenjak di abad ke-7 bahkan abad ke-8 sampai abad ke-13. Kedua, tentunya adalah kritik terhadap ilmu pengetahuan, sains, aristotelian, yang menyebabkan berkurangnya  intellectual curiosity atau kepenasaran intelektual yang dimiliki umat Islam selama ini.  Ketiga adalah berkurangnya peran Timur Tengah sebagai bagian penting dari silk route atau rute sutra semenjak pihak-pihak Eropa menemukan jalur maritim baru menuju Asia. Keempat, mungkin saja ditemukannya mesin cetak oleh Gutenberg di Jerman di abad ke-15 yang mengakselerasi proses dokumentasi, proses belajar untuk teman-teman di Eropa semenjak abad ke-15. Tapi mungkin yang penting untuk diketahui adalah keterbukaan terhadap ilmu dari manapun yang merupakan atribut penting untuk suatu bangsa menjadi bangsa yang maju.

 

                Kalau kita melihat di era kontemporer, yang sangat mulai kelihatan berkurang adalah kapasitas untuk melakukan critical thinking atau berpikir secara kritis. Saya ingin menggaris bawahi atau meng-highlight satu fenomena yaitu fenomena penggunaan sosial media atau medsos. Medsos ini pada intinya berdampak terhadap tiga pilar dalam Society kita atau komunitas kita. Pertama adalah dampak medsos terhadap anak-anak muda. Apakah itu generasi Z ataupun generasi penerusnya, mereka yang lahir di tahun 95 keatas, ataupun yang baru aja belasan tahun. Kita tentu banyak melihat begitu banyaknya anak-anak muda menggunakan HP selama 9-10 jam sehari tanpa bisa mengkurasi konten yang bijaksana, dibandingkan konten yang kurang bijaksana. Ini adalah fenomena di mana kita melihat semakin banyak generasi muda ini semakin diasuh oleh tiktok dan Instagram. Dan tentunya yang mengamplifikasi masalah terkait dengan generasi muda adalah semenjak ditemukannya tombol like di tahun 2009. Tombol like ini ditemani juga dengan tombol share, tombol retweet. Ini adalah ciptaan manusia dalam konteks teknologi hanya untuk membuahkan viralitas, tapi viralitas-viralitas seperti itu kurang sehat dan bijaksana karena itu telah terbukti secara empiris membuahkan kasus depresi, kasus enxiety, dan juga kasus bunuh diri yang semakin meningkat semenjak penggunaan tombol-tombol tersebut,

 

                Dampak medsos yang kedua adalah terhadap mahasiswa. Saya melihat bahwasanya akhir-akhir ini mahasiswa itu kurang memiliki budaya baca. Baca buku khususnya. Mereka lebih suka baca apapun yang terbatas dengan 280 karakter. Apakah itu di Twitter ataupun Tik Tok ataupun Instagram atau Facebook. Tapi mereka kurang membaca buku. Dan yang saya angkat akhir-akhir ini justru terkait dengan paradoks antara demokratisasi informasi dibandingkan demokratisasi ide. Begitu banyak kanal informasi yang kita miliki sekarang. Kita bisa mencari informasi dari banyak sekali kanal, banyak sekali sumber, tentunya dengan catatan bahwasanya platform-platform informasi tersebut itu banyak sekali yang tidak ter filter dan itu tentunya harus dicatat bahwasanya konten-konten seperti itu hampir pasti atau kemungkinan besar sangat tidak bijaksana, dan tentunya keterbatasan baca karena dibatasi hanya dengan 280 karakter ini yang menyempitkan pola pikir, menyempitkan wawasan, menyempitkan kapasitas kita untuk mendemokratisasikan ide. Dan tentunya ini cukup empiris di mana kita melihat akhir-akhir ini ide sudah sangat terpolarisasi bukan terdemokratisasi. Semestinya dalam batas logika, kalau kita sudah menyaksikan demokratisasi informasi itu sangat tersalin dalam konteks demokratisasi ide.  Tapi kita justru kekurangan ide bahkan kita bisa bilang kita hampir miskin terhadap ide.

 

                Dampak ketiga dari sosmed itu adalah terhadap demokrasi liberal. Demokrasi liberal ini semestinya adalah kapasitas suatu sistem, lembaga, manusia, atau apapun untuk bisa mendemokratisasikan apapun. Tapi justru sosmed itu telah memberdayakan teknologi yang lebih mengamplifikasi narasi-narasi yang kental dengan kebencian, kemarahan, dibanding narasi-narasi yang sangat bijaksana yang justru kurang teramplifikasi, dan ini hampir ada unsur kesengajaan dari teknologi tersebut, ataupun pemilik teknologi tersebut untuk hanya memberdayakan algoritma yang lebih bisa mengamplifikasi narasi-narasi yang kurang bijaksana. Dan tentunya tidak adanya keseimbangan antara narasi bijaksana dengan narasi yang kurang bijaksana, ini yang menyebabkan semakin sulitnya untuk kita mengawal, menjaga, merawat, demokrasi liberal di berbagai negara di dunia ini.  

 

                

Tradisi kebebasan berpendapat di Indonesia ini harus terus dikedepankan. Sebelum kemerdekaan kita sudah menyaksikan banyak sekali tokoh-tokoh pemikir negarawan seperti Muhammad Natsir, Soekarno, Muhammad Hatta, Syahrir, Muhammad Yamin, Ki Hajar Dewantara, dan Hamka. Mereka ini sangat sukses berhasil mendemokratisasikan ide dan pembahasan yang mereka lakukan satu sama lain atau dengan teman-teman mereka yang lain dan hasil dari diskusi, diskursus, dan pembicaraan mereka itulah yang membuahkan kemerdekaan kita. Dan tentunya ke depan kita harus optimis untuk melihat bagaimana generasi kedepan itu semakin bisa berperan untuk mengedepankan critical thinking. 


1 komentar:

what your opinion?

SYAHDAN

    Pada tempat yang sunyi , senyap , disekitar macam-macam gunung diluar Mekah timbullah berkali-kali persoalan. Lagit Arabia tiada dili...