Pendidikan. Lewat Pendidikan, Manusia Membentuk Arah Sejarah.

  


        P
endidikan memang tak pernah basi dibicarakan, apalagi diperdebatkan. Barangkali, karena untuk setiap masalah yang terjadi di republik ini, pendidikan selalu dituduh sebagai salah satu penyebab utamanya. Mulai dari merebaknya hoaks, kohesi sosial dan kualitas hidup yang rendah, hingga minimnya daya saing dan produktivitas bangsa. Tuduhan di atas amat mendasar. Meski, beberapa indikator capaian pendidikan kita sebenarnya meningkat. Misalnya, skor Indeks Sumber Daya Manusia (Human Capital Index) 2018 untuk komponen kualitas dan kuantitas pendidikan meningkat. Indonesia unggul dari negara-negara Asia Timur, Asia Selatan, Timur Tengah, Amerika Latin dan Afrika namun masih di bawah negara-negara Asia Pasifik seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina (Siaran Pers HCI Kemenkeu, 2018). Namun, hasil pendidikan kita secara umum masih saja dirasakan tidak memuaskan.

Penelitian SMERU dalam program ‘Research on Improving Systems of Education’ (RISE) 2021 ini mencoba melakukan analisis profil pembelajaran anak di Indonesia. Riset ini memetakan kemampuan berhitung siswa menggunakan data Survei Kehidupan Keluarga Indonesia (IFLS) selama periode 2000–2014. Sedihnya, ditemukan beberapa tren buruk dalam catatan pendidikan nasional: hasil belajar anak Indonesia pada 2014 lebih rendah dari tahun 2000.

Pertama, masih banyak anak sekolah yang tidak mampu menjawab soal berhitung yang seharusnya sudah mereka kuasai di jenjang kelas yang lebih rendah. Misalnya, hanya dua pertiga anak di jenjang kelas 3 yang mampu menjawab pertanyaan “berapa 49-23” secara tepat. Padahal, ini setara dengan kemampuan berhitung untuk anak di jenjang kelas 1. Hanya sekitar 35% siswa di jenjang kelas 12 yang mampu menjawab dengan benar pertanyaan tingkat kelas 5 terkait penghitungan bunga uang – artinya tujuh jenjang di bawah level mereka.

Kedua, peningkatan kemampuan anak semakin mengecil seiring naik jenjang kelas yang ditempuh. Anak mengalami peningkatan kemampuan berhitung yang signifikan pada jenjang kelas 1 sampai dengan kelas 6. Jadi dari kelas 1 sampai kelas 6, kemampuan berhitung naik pesat. Namun, tren peningkatan ini melambat dan menjadi cenderung datar setelah memasuki jenjang kelas 7 ke atas. Kemampuan anak tidak mengalami peningkatan yang signifikan ketika dia beranjak remaja dan belajar di jenjang sekolah menengah pertama (SMP) maupun sekolah menengah atas (SMA).

Ketiga, kemampuan berhitung anak pada tahun 2000 relatif lebih tinggi dibandingkan anak di jenjang yang sama 14 tahun kemudian. Capaian anak di setiap jenjang pada 2014 secara konsisten berada di bawah capaian tahun 2000. Ini berlaku baik bagi kelompok anak yang bersekolah, maupun anak yang tidak bersekolah. Artinya, setidaknya selama tahun 2000 hingga 2014, capaian pendidikan anak di Indonesia justru mengalami penurunan.

Tentu pertanyaan besarnya: Mengapa?

Sebelum mengulas lebih jauh, ada beda antara pendidikan (education) dan persekolahan (schooling). Untuk menjadi terdidik, orang tidak selalu harus tersekolahkan. Namun demi kesederhanaan pemahaman, istilah pendidikan di sini mengacu pada pendidikan formal, di mana persekolahan menjadi jantungnya. Diskusi tentang pendidikan biasanya berkisar pada hasil atau dampak pendidikan dan meminggirkan aspek proses. Kalaupun ada, fokusnya pada topik-topik seputar kurikulum, peran guru dan orang tua, partisipasi murid di kelas atau hal-hal lainnya yang dirasa penting untuk meningkatkan prestasi secara langsung. Padahal, menelisik proses manajemen investasi pemerintah di bidang pendidikan itu hal yang penting.

Perdebatannya: apakah ini perkara kebijakan atau tata kelola?

Arah kebijakan pendidikan Pendidikan adalah hak setiap warga negara. Negara bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan serta menentukan arah kebijakannya. Setelah amanat UU 20/2003 agar 20 persen APBN dialokasikan untuk pendidikan, beberapa pekerjaan di ‘dapur’ layanan pendidikan menunjukkan adanya perubahan-perubahan penting meski mungkin tidak banyak diketahui umum. Misalnya kebijakan untuk mendorong proses belajar mandiri semenjak dini. Ini hulu persoalan pendidikan yang dampaknya kita hadapi di hilir. Dua indikator yang sering dirujuk, Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Programme for International Student Assessment (PISA), keduanya ini mencerminkan kemampuan belajar siswa. Keduanya memang menempatkan Indonesia pada posisi tidak terlalu membanggakan, tapi bukan itu soalnya. Karena kedua indikator itu berorientasi pada hasil pendidikan, saya mencari indikator yang lebih mendasar, lebih universal, dan berorientasi pada proses, yakni rata-rata waktu membaca orang dewasa per minggu. Sekali lagi, rata-rata waktu membaca orang dewasa per minggu. Indikator ini penting mengingat bahwa ilmu yang didapatkan secara mandiri lazimnya dari membaca buku. World Culture Score Index 2015 menunjukkan bahwa di negara-negara yang indeks SDMnya di atas Indonesia, orang dewasa memiliki rata-rata waktu membaca per minggu lebih banyak. Di Thailand, 9 jam 24 menit per minggu; di Filipina, 7 jam 36 menit; di Jepang, 10 jam, dan di India, 10 jam 42 menit. Sementara di Indonesia hanya 6 jam per minggu. Hanya 6 jam per minggu. Padahal, membaca itu penting, karena terkait dengan logika dasar.

Membaca amat ditentukan oleh kebiasaan dan sejak kapan kebiasaan tersebut ditanamkan. Semakin dini dan semakin sering, maka hasilnya akan semakin bagus. Di Indonesia, peran pemerintah untuk mulai membiasakan membaca secara mandiri ternyata selama ini lemah. Survei BPS menunjukkan pada 2013, akses ke fasilitas Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hanya 27 persen. Artinya, 27 dari 100 anak memang memiliki akses ke PAUD, namun tidak selalu berarti mereka dididik di sana. Angka ini menunjukkan intervensi pemerintah saat itu pada akses membaca, kebiasaan membaca dan substansi pendidikan, masih sangat terbatas. Bank Dunia pada 2018 melakukan sebuah survey. Survey ini menunjukkan bahwa akses PAUD sudah mencapai 73 persen. Kenaikan signifikan selama lima tahun ini disebabkan oleh investasi pemerintah yang sejak 2015 gencar membangun infrastruktur PAUD, yang hingga saat ini sudah terbangun lebih dari 20.000 unit. Artinya ada perbaikan akses ke fasilitas PAUD, meski belum berarti kurikulum dan pengajar sudah memiliki kompetensi sebagaimana seharusnya. Upaya ini amat penting dipahami karena artinya arah kebijakan pembangunan pendidikan lewat PAUD sudah berada di jalan yang benar, walau sering tenggelam di ruang publik. Pendidikan usia dini di masa pertumbuhan (usia emas 0-5 tahun) memang sangat penting dalam menunjang pembentukan mental, karakter dan daya pikir anak-anak, termasuk kebiasaan membaca.

Tingginya rata-rata waktu membaca mencerminkan inisiatif mandiri individu untuk menambah ilmunya, merangsang kematangan serta kritis berpikir. Ini dapat terwujud apabila kebiasaan membaca dimulai sejak dini dan akses kepada fasilitas untuk membaca diwujudkan. Dalam konteks ini, lewat PAUD, saya kira negara telah hadir memenuhi hak warga negara untuk pendidikan dan membangun masa depan bangsa.


Aspek kedua adalah tata-kelola. Apa yang berantakan dan terbaca di ruang publik seringkali bukanlah karena arah kebijakan, melainkan semrawutnya tata-kelola. Bahkan, arena tata-kelola itu lantas jadi amat rentan dipolitisasi. Contohnya, guru. Kualitas guru amat mempengaruhi kualitas siswa dan kualitas pendidikan. Peran guru, kata Ki Hadjar Dewantara, adalah “Ing ngarsa, sung tuladha; ing madya, mangun karsa; tut wuri, handayani.” Saat di depan ia memberi contoh, saat bersama-sama ia memberi semangat, dan dari belakang ia memberikan dukungan. Guru memang seharusnya bisa digugu dan ditiru. Dipercaya dan dicontoh. Sayangnya, tata-kelolanya cenderung diabaikan. Yang sering diperdebatkan adalah soal pendidikan, penguatan profesi, kompetensi, dan sertifikasi. Padahal, satu hal terpenting yang harus dikaji adalah rekrutmen. Data menunjukkan rekrutmen guru meningkat drastis di daerah seputar pemilihan kepala daerah (pilkada) sejak 2005 hingga 2013 (Bank Dunia, 2014) dan trend ini masih berlangsung sampai sekarang. Bagi mereka yang kerap terlibat politik daerah, hal ini bukanlah baru. Namun data ini mengukuhkan dugaan politisasi rekrutmen guru selama ini.

Pertanyaannya: mengapa profesi guru rentan menjadi arena pemenuhan imbal jasa politik khususnya di daerah?

 Dugaan yang cukup kuat namun masuk akal adalah karena sejak adanya tunjangan profesi guru, maka rata-rata pendapatan guru lebih tinggi dari sektor lain. Selain itu, janji politik pengangkatan para guru yang sebagian besar, atau malah semuanya honorer ini, menjadi PNS. Padahal, itu di luar kewenangan daerah. Seandainya lonjakan rekrutmen guru ini dibarengi kualifikasi yang layak, maka sebenarnya tidak jadi soal. Namun, faktanya tidak demikian. Berbagai kasus menguatkan dugaan bahwa rekrutmen tidak dilakukan berdasarkan kompetensi, tetapi politis. Permasalahan semakin terlihat ketika yang sudah direkrut justru tidak ditempatkan di sekolah sebagai pengajar. Atau, direkrut menjadi guru namun tidak punya kompetensi dasar sebagai guru. Padahal, UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan agar guru setidaknya berpendidikan D4 dan memegang sertifikat dari Pendidikan Profesi Guru (PPG). Ini berarti terjadi inefisiensi belanja negara: pengeluaran untuk SDM pendidikan membengkak namun tidak disertai dengan meningkatnya kualitas layanan pendidikan. Akibatnya sekolah dipaksa melakukan rekrutmen guru honorer untuk mengajar dengan pendanaan sendiri dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS), yang memang diniatkan untuk membantu investasi dan memberikan layanan pendidikan di sekolah.

Empat hingga tujuh tahun terakhir ini, pemerintah mencoba berbenah. Pertama, pembenahan data pendidikan pada dan lintas kementerian/lembaga. Terungkap fakta bahwa jumlah guru sebenarnya sudah lebih dari cukup. Dalam kurun 2012-2017 guru yang dihasilkan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) mencapai 1,94 juta orang. Saat ini kita memproduksi lebih dari 240.000 guru per tahun, padahal kebutuhannya hanya sekitar 40.000. Selain itu, mereka tidak terdistribusi merata dan bersertifikat. Situasi ini cermin (mis)management tata-kelola guru. Pendidikan tinggi keguruan seharusnya berinovasi agar sarjana pendidikan juga bisa menjadi guru; sedangkan PPG harus ditingkatkan kapasitas dan kualitasnya.

Kedua, pembenahan tata-kelola anggaran pendidikan. Lebih dari 63 persen anggaran pendidikan yang sebesar 20 persen APBN merupakan transfer daerah yang tidak selalu bisa dimonitor penggunaannya apalagi diminta pertanggungjawabannya. Padahal, pemda punya tanggung jawab menjalankan fungsi pendidikan. Pemerintah berinisiatif dengan Neraca Pendidikan Daerah (NPD). NPD adalah satu cara mengejar tanggung jawab ini. Jadi, bagaimana kita menangani dan mengawasi tata-kelola guru ini? Saat ini sudah ada Pengawas Sekolah, dan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) sebagai lembaga yang mengawasi guru dan sekolah. Namun ini belum optimal karena keterbatasan kapasitas. Jadi, apa artinya? Selama ini tidak ada mekanisme efektif untuk mengawasi investasi pemerintah terhadap guru, investasi pemerintah di sekolah, dan investasi pemerintah di layanan pendidikan. Dan jelaslah ini bukan perkara arah kebijakan, melainkan tata-kelola.

Tiga atau empat tahun terakhir, Pemerintah mencoba untuk memperbaiki. Karena itu, pembenahan yang dilakukan pemerintah mesti menyasar proses bisnis tata-kelola guru dan tenaga kependidikan. Misalnya moratorium pengangkatan guru PNS, larangan rekrutmen guru honorer menjelang dan sesudah pilkada dengan janji di-PNS-kan, hingga pembenahan data guru dalam formulasi transfer Dana Alokasi Umum (DAU). Beberapa proyek percontohan seperti Kinerja dan Akuntabilitas (KIAT) Guru (2015-sekarang) mencoba memberi solusi terhadap kebutaan pemerintah atas keberadaan guru serta kualifikasi mereka. Saudara-saudara, perlu kita pahami bahwa upaya menilik arah kebijakan dan membenahi tata-kelola sektor pendidikan ini merupakan suatu proses yang hasilnya tidak segera nampak. Pembenahan baru terjadi empat hingga tujuh tahun terakhir ini. Jika konsisten diteruskan, hasil yang signifikan mungkin baru akan terasa setelah lima sampai sepuluh tahun, sedangkan dampaknya mungkin setelah sepuluh tahun, atau malah lebih. Penyelenggaraan sistem pendidikan memang tanggung jawab pemerintah. Tetapi keberhasilannya adalah tanggung jawab bersama. Pembenahan sektor pendidikan ini penting dan banyak hal yang terjadi di dapur layanan pemerintah tidak bisa dianggap sekedar ‘hanya urusan dapur’. Justru, kunci pembenahan kebijakan dan tata-kelola adalah ‘dapur’ itu sendiri, yakni proses kerja dan proses bisnisnya.

Masa depan dunia terletak di tangan mereka yang terdidik baik. Lewat pendidikan, manusia membentuk arah sejarah. Keyakinan ini harus terus kita rawat. Pendidikan harus dikawal kebijakan dan tata-kelolanya karena ia menentukan kualitas keadaban publik (public civility). Hanya melalui pendidikan, anak-anak kita, atau anak-anak mereka, akan membentuk arah sejarah dan masa depan bangsa besar ini. Mari kita terus mendidik diri sendiri dan dengan demikian, mendidik bangsa ini.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what your opinion?

SYAHDAN

    Pada tempat yang sunyi , senyap , disekitar macam-macam gunung diluar Mekah timbullah berkali-kali persoalan. Lagit Arabia tiada dili...