Akselerasi Tekonologi dan Goyahnya Moralitas
Belajar
dari sejarah, pesatnya kemajuan sains dan teknologi juga berpotensi menimbulkan
resiko kesilapan moral dan etika dalam penerapannya. Diperlukan kebijaksanaan
untuk lebih mendahulukan isu-isu yang sifatnya jangka panjang dan punya andil
pada kemajuan peradaban.
Banyak yang berpendapat bahwasanya revolusi
industri pertama itu terjadi di pertengahan abad ke-19. Tapi mungkin kalau kita
tarik lebih awal lagi, industri itu ber-evolusi dan ber-revolusi, itu mungkin
sekitar seratus ribu tahun yang lalu, semenjak api ditemukan oleh manusia. Dan
kalau kita lihat yang kedua, revolusinya itu mungkin terjadi sewaktu tulisan
dan roda ditemukan oleh manusia. Itu terjadi mungkin sekitar lima sampai enam
ribu tahun yang lalu. Barulah kita selanjutnya ke revolusi industri, yang mana
uap, listrik, komputer, internet, dll ditemukan. Masa itu kita lewati semenjak
abad ke-19 sampai akhir-akhir ini.
Tetapi yang perlu dicatat adalah semakin
industri atau teknologi ber-evolusi dan ber-revolusi, itu yang terjadi adalah
peningkatan speed dan acceleration perubahan inovasi tersebut.
Dan semakin speed dan acceleration itu meningkat, semakin manusia
terekspos dengan human of error yang lebih besar. Manifestasi dari
error-error atau kesalahan tersebut itu bisa dilihat dalam Perang Dunia ke 2
misalnya. Dimana puluhan juta manusia itu meninggal dunia. Dan kita harus sadar
bahwa ke depan semakin teknologi itu ber-evolusi dengan speed dan acceleration
yang meningkat, semakin human of error itu semakin lebar. Dan error-nya itu akan semakin besar. Nah,
manusia harus menyadari, ini hanya bisa dimitigasi kalau kita menyadari dan
bisa menunjukkan kebijaksanaan. Kalau kita menyadari dan bisa menunjukkan kebijaksanaan,
karena kita melihat di Perang Dunia ke 2, dengan pemberdayaan teknologi yang
sama, tapi dikarenakan perbedaan ide dan ideologi pemberdayaan teknologi, itu
dimanfaatkan untuk kepentingan yang membuahkan korban yang begitu banyak. Ini
bukan berarti tidak bisa terjadi di abad ke 21, dan ataupun bukan berarti tidak
bisa terjadi di abad ke 22.
Nah, akhir-akhir ini kita melihat bahwasanya
inovasi internet yang sangat pesat itu kurang lebih 60% per tahun untuk periode
tahun 90 an sampai tahun 2020. Ini sudah dilewati dengan fenomena yang baru,
yang namanya blockchain. Blockchain mungkin semenjak 15 tahun
yang lalu ini pertumbuhannya jauh lebih pesat dibandingkan internet.
Pertumbuhannya itu kurang lebih 110%-120% per tahun dari sisi jumlah pengguna
aset criypto. Ini adalah tingkat adopsi tercepat dari teknologi apapun
dalam sejarah manusia. Dan ini adalah manifestasi dari apa yang sudah
tersampaikan tadi, yaitu speed dan acceleration sudah dan akan
terus meningkat.
Kita juga harus menyadari bahwa dalam waktu
dekat kita akan diwarnai dengan atau oleh aplikasi blockchain yang akan
lebih menyeluruh. Kita melihat blockchain ini sudah sangat nyata
aplikasinya dalam konteks desentralisasi transaksi keuangan atau ekonomi.
Bahkan apapun itu yang sifatnya menempel dan ada hubungannya dengan duit atau
uang. Dan masyarakat luas di negara-negara maju, dan sudah mulai di
negara-negara berkembang seperti Indonesia, sudah mulai mendekatkan diri dengan
pemberdayaan blockchain. Dikarenakan satu: ini sifatnya tidak sentralistis,
jauh lebih desentralistis. Kedua: blockchain ini sangat bisa
teraih identifikasi mengenai siapa yang bertransaksi yaitu transparan. Ketiga: blockchain
ini tentunya akuntabilitas atau recourse. Seringkali kita tidak
menyadari bahwa penting untuk kalau kita bertransaksi, kita harus memiliki akuntabilitas
atau recourse, transparansi, identifikasi, dan juga yang lebih real
time. Hal ini dikarenakan dilakukan secara desentralistis, dan ini
bisa dianggap lebih real time. Anggaplah kalu kita mau transfer uang
lewat sistem yang bisa dianggap sentralistis, itu kita harus menunggu
satu, dua, atau tiga hari sampai itu mencapai tujuan. Intinya kalau kita
melihat bahwasannya masyarakat luas ini sudah lebih mendekatkan diri dengan
bukan hanya konsep, tapi aplikasi blockchain yang lebih desentralistis.
Kita harus menyadari ini prospek aplikasi blockchain ke unsur yang
sifatnya non-keuangan, ini sangat memungkinkan. Tokenisasi ini bisa
diaplikasikan atau deberdayakan untuk kepentingan banyak hal, apakah itu sosial,
budaya, politik, geo-politik, diversitas ataupun biodiversitas. Seperti
yang kita lihat rare-growht atau pertumbuhan diatas 120% ini bukan
semata manifestasi dari bagaimana manusia itu sudah sangat bersemangat dengan
aplikasi dalam konteks keuangan, tapi manusia ini sangat bersemangat dengan
prospek-prospek tambahan yang mana kita bisa melihat aplikasi yang lebih
komprehensif yang lebih lebar.
Dari segi korporat kita melihat ada satu
perusahaan namanya Tesla. Pada Oktober 2021 Tesla menjadi perusahaan keenam
dalam sejarah AS yang bernilai $1 Triliun. Tesla adalah perusahaan tercepat
kedua setelah Facebook yang mencapai valuasi tersebut. Yang mana kalau kita
lihat nilai perusahaan ini per mobil terproduksi dan terjual, itu diatas 1,5
juta dollar. Padahal mobil Tesla itu dijual di jalanan hanya dengan harga
antara 35 sampai 120 ribu dollar. Tapi harga sahamnya atau harga perusahaannya
per mobil terproduksi itu diatas 1,5 dollar, dibandingkan perusahaan-perusahaan
otomotif lainnya yang bisa dibilang masih konvensional. Seperti Volkswagen,
Daimler, Toyota, dll. Yang mana harga perusahaan per mobil terproduksi atau
terjual dikisaran dua puluh sampai tiga puluh ribu dollar. Divergensi
atau gap antara nilai perusahaan Tesla dengan perusahaan-perusahaan otomotif yang
konvensional, ini mencerminkan beberapa hal. Pertama adalah AI atau Artificial
Intellegence atau kecerdasa Artifisial yang sangat diberdayakan dan
diamalgamasikan dengan dua atribut lainnya: yaitu robotik dan juga otonomi.
Otonomi ini adalah kapasitas mobil itu bisa nyopir sendiri tanpa disopirin oleh
seseorang sopir atau kita sendiri. Nah, tiga hal yang teramalgamasi ini
membuahkan evolusi teknologi yang luar biasa.
Dalam konteks Indonesia masih banyak
sektor-sektor yang belum terdisrupsi. Kita telah melihat disrupsi yang nyata
sekali dalam konteks transportasi, dalam konteks marketplace/retail. Tapi kita
juga masih melihat ada banyak sektor-sektor yang belum terdisrupsi.
Termasuk tentunya energi. Apakah itu di
hulu sampai hilir. Dalam sektor kesehatan kita melihat 21 bulan terkahir ini
disrupsinya nyata, tapi ini hanya menggores permukaannya. Dan dalamnya masih
belum terdisrupsi. Tiga, tentunya pariwisata. Pariwisata ini sangat prospek
untuk kepentingan, bukan hanya kesejahteraan, tapi kepentingan redistribusi
kesejahteraan di Indonesia dan seluruh dunia. Keempat adalah sektor pertanian
dan peternakan. Ini besar sekali, ini kurang lebih 14% dari PDB kita, itu kalau
dihitung berdasarkan PDB 1,1 Triliun dollar, itu angka pertahunnya bisa
mencapai 150-160 miliar dollar. Selanjutnya adalah pendidikan. Pendidikan belum
terdisrupsi. Kita sudah melihat ada beberapa platform digital yang sudah
mendisrupsi, tapi hanya menggores permukaannya saja. Dan ini kita bukan hanya
harus fokus ke penyajian kurikulum, tapi kita juga harus menyadari bahwa cara
kita menyajikan, cara kita mengajar ini harus lebih diubah agar kualitas ajaran
itu bukan hanya lebih bisa diserap dengan baik tapi lebih relevan untuk
bagaimana manusia itu bisa menjaga planet dengan baik dan dengan cara yang
bijaksana ke depan.
Nah, ujung-ujungnya ini tergantung kita semua.
Bagaimana kita bisa secara bijaksana memberdayakan teknologi yang sangat
inovatif dan lengket dengan speed dan acceleration kecepatan yang
semakin meningkat. Tapi bagaimana kita harus bijaksana memberdayakan teknologi
tersebut agar kita fokus ke hal-hal yang sifatnya yaitu menu utama, bukan menu
penutup, bukan menu pembuka. Tentunya hal-hal yang jangka panjang sifatnya. Itu
termasuk apakah itu perubahan iklim, termasuk bagaimana kita bisa menurunkan
kesenjangan. Kita melihat fenomena akhir-akhir ini bahwasanya uang itu semakin terelitisasi,
sehinggs kesenjangan itu semakin menganga, melotot di depan kita. Rasio koefisien
Gini semakin meningkat. Bukan hanya di negara-negara berkembang tapi juga di
negara-negara maju. Ini harus disikapi oleh kita semua dan generasi penerus. Ketiga
tentunya adalah inklusi keuangan. Semakin, bukan hanya rakyat punya akses ke
uang tapi punya akses ke skala uang yang mencukupi agar mereka bisa menempelkan
ide yang keren dengan uang semakin kita bisa lebih optimis dengan prospek
penurunan kesenjangan atau inequality di kemudian hari.
Seperti yang terkait dengan inequality atau kesenjangan, ini sebetulnya cukup berkolaborasi dengan bagaimana percakapan di dunia ini semakin bukan hanya bercabang tapi terpolarisasi. Dan polarisasi percakapan ini sangat perlu disikapi. Saya berhepotesa beberapa kali bahwasanya polarisasi percakapan ini berkolerasi bagaimana manusia itu menggunakan teknologi. Mungkin platform digital yang selama ini diberdayakan untuk kepentingan sosialisasi. Ini terbukti secara empiris, sangat telah melakukan amplifikasi algoritme terkait dengan narasi-narasi yang kental dengan kebencian, pertikaian, dan kemarahan yang sifatnya jauh lebih mengejek dibandingkan kolaboratif atau kolektif. Tentunya filsafat yang dikedepankan oleh pengguna atau pemilik teknologi digital tersebut adalah kalau ada narasi yang negatif atau kental dengan kemarahan, kebencian, dan segalanya, itu niscaya akan ternetralisir dengan informasi yang positif. Tapi yang perlu kita sadari: informasi yang positif itu lebih banyak ada di mayoritas yang pendiam, yang satu: tidak terlalu mau speak up, dan kedua: tidak teramplifikasi dengan algoritme yang ada dalam platform-platform digital tersebut.
Nah, ini kalau menurut saya adalah satu gejala
terkait dengan bagaimana teknologi yang begitu cepat dan begitu meningkat
akselerasi kecepatan inovasinya itu tidak diberdayakan atau tidak digunakan
dengan cara yang bijaksana oleh manusia. Jadinya kalau kita semakin menyadari
bahwasanya semakin kecepatan dan akselerasi itu meningkat, semakin kita
terekspos dengan margin of error yang semakin lebar dan semakin besar. Ini
adalah salah satu kesalahan yang kita harus sadari yaitu demokrasi akhir-akhir
ini seakan-akan disamakan dengan amplifikasi algoritme. Ini tentunya tidak
semestiya seperti itu. Dan dengan kesadaran seperti itu kita harus mengambil
sikap, bagaimana kita harus satu, mengobati algoritme tersebut dan
syukur-syukur mengobati proses demokratisasi ke depan agar kita satu, lebih
bisa mendemokratisasikan ide, kedua kita lebih bisa mendemokratisasikan talenta
agar ide dan talenta yang ada di generasi sekarang dan generasi penerus itu
nyambung dengan kepentingan kita untuk menjaga kelestarian planet Bumi. Sedangkan
untuk kepentingan manusia, bisa menurunkan kesenjangan dan agar manusia itu
lebih bisa hidup dengan cara yang lebih bijaksana ke depan.
Top
BalasHapus