FAKTOR “X”

 

FAKTOR “X”

 

            Akhir-akhir ini banyak yang menanyakan tentang apasih faktor “X” untuk kita semua lebih keren?. Dan lucunya, mereka bertanya kepada saya.

 

            Tapi intinya ada 3 faktor.

 

            Pertama: ini adalah conscience atau hati nurani. Ini bisa dikembangkan dalam banyak sekali konteksnya. Tapi mungkin yang paling nyata itu adalah dalam konteks historis atau sejarah kita. Waktu kita merdeka itu tentunya yang sebagai pelopor kemerdekaan itu Bung Karno. Tapi Bung Karno itu juga ditopang, didukung, dibantu oleh Bung Hatta. Yang sampai sekarang ini dikenal sebagai Bapak koperasi Indonesia. Yang mana beliau itu mengedepankan semangat gotong royong. Dan perlu kita sadari bersama bahwasanya pemimpin yang paling berpengaruh di masyarakat adalah Mohammad Hatta. Beliau pernah bilang bahwa sanubari Indonesia penuh dengan rasa bersama. Bahwa di Indonesia, rasa kebersamaan itu bisa dilihat, rasa kolektivisme itu bisa dilihat di setiap desa dengan adanya kerja bakti, arisan, gotong royong, itu sangat kuat.

 

Semangat gotong royong ini penting sekali, untuk bagaimana kita bisa membuahkan social credit atau kredit sosial. Agar kita bisa melakukan sosialisasi, membina jaringan, agar tentunya produksi dan produktivitas itu semakin meningkat dengan cara yang bijaksana. Beliau juga dikenal sebagai sosok yang memperjuangkan kedaulatan. Nah ini nyambung dengan bagaimana kita harus membina hati nurani. Apalagi sekarang kalau yang sering kita dengar adalah topik mengenai perubahan iklim. Perubahan iklim yang sangat pesat. Kita sering mendengar bahwasannya dari awal mula planet Bumi 4,6 miliar tahun yang lalu sampai sekarang, kita sudah meng-emisi karbon dengan jumlah yang besar sekali, lebih dari 1.500 gigaton. Yang mana emisi karbon per tahun itu kurang lebih 60-70 gigaton.

 

“Manusia telah menghasilkan sekitar 1.500 gigaton karbon dari awal peradaban hingga 2016”. (Philip Gingerich, University of Michigon)

 

            Tapi kalau kita lihat karbon yang tersisakan di planet Bumi itu hanya 2000-3000 gigaton. Kalau kita menggunakan business as usual, atau yang itu-itu saja, ya kehidupan kita ini cukup finite, kita hanya memiliki 50 atau 60 tahun lagi. Tentunya tanpa perubahan gaya hidup, tanpa perubahan energy equation kita. Tentunya kita harus mengubah. Kita tidak bisa terus-menerus membodohkan masa depan untuk kepentingan convenience di hari ini. Kita harus menyadari, kita harus menunjukkan hati nurani yang lebih, agar kita bisa bukan hanya menyelamatkan, tapi bisa memupuk masa depan kita agar bisa lebih ramah lingkungan, lebih lestari, dan lebih keren.

 

Mungkin salah satu sosok yang muda, yang akhir-akhir ini menjadi sosok terkenal untuk kepentingan lingkungan atau kepentingan perubahan iklim adalah Greta Thunberg. Usianya mungkin 17 Tahun. Follower instagramnya 17 juta kurang lebih. Tapi lucunya kalau saya bandingkan dengan sosok yang lain, seperti Kyle Jenner yang itu follower instagramnya bisa 270-280 juta. Nah, dari situ kita sudah melihat walaupun Greta itu memiliki pengikut yang luar biasa banyak, tapi kenyatannya di kalangan Generasi Z ini menunjukkan bahwa justru yang tidak memikirkan hal-hal yang terkait dengan lingkungan atau climate change, itu yang lebih dianggap keren. Nah, ini mungkin harus kita pelajari, harus kita sadari. Ini hati nuraninya nih gimana?. Conscience-nya dimana?. Bagaimana untuk kita bisa menunjukkan cocscience yang lebih tinggi, agar bukan hanya Greta itu followernya bisa lebih dari 280 juta, tapi bagaimana Indonesia itu juga bisa membuahkan belasan atau puluhan orang seperti Greta yang memperjuangkan isu-isu yang sifatnya jangka panjang.

 

Kita telah sampai pada titik kritis dimana keputusan-keputusan yang harus dipilih menjadi semakin jelas terkait kelangsungan hidup umat manusia sendiri dalam menangani 2 masalah besar jangka panjang, yaitu: meningkatnya ketidaksetaraan yang tampaknya tak terbendung diseluruh dunia dan juga kebiasaan serakah untuk menggadaikan masa depan lingkungan dan planet untuk kenyamanan dan pada saat yang sama, kemewahan dari generasi saat ini.

 

Akhir-akhir ini kita harus mulai mengobrol mengenai isu-isu yang sifatnya jangka panjang, apakah itu perubahan iklim, apakah itu kesenjangan, apakah itu terkait dengan inklusi keuangan. Kalau menurut saya, isu-isu seperti itu penting, dan itu akan melatih bukan hanya kita, tapi generasi muda untuk berpikir bukan hanya jangka panjang tapi juga berpikir secara strategis, agar kita bisa melihat masa depan dunia ini lebih indah daripada apa yang kita lihat selama ini. Yang mana kita mungkin saja untuk kepentingan industrialisasi kita tidak mengedepankan kepentingan untuk menjaga lingkungan, untuk menjaga apapun yang sangat berharga di sekitar kita.

 

            Atribut kedua: yang seringkali kita bahas akhir-akhir ini adalah breadth atau kelebaran wawasan. Ini mungkin telah terjadi perdebatan antara satu school thought yang mengedapankan spesialisasi, tapi berkontras dengan school thought yang satu lagi, yang mengedepankan kepentingan untuk melebarkan wawasan atau generalisasi. Ini bukan mengenai betul atau tidak, tapi ini lebih mengenai bagaimana kita bisa memitigasi resiko jangka panjang. Saya berhepotesa bahwasanya kalau kita wawasannya lebih lebar itu kita bisa memompa intuisi kita. Dan semakin intuisi kita itu lebih tajam, lebih banyak, itu semakin kita lebih bisa membuahkan wisdom atau kebijaksanaan. Dan semakin kita memiliki intuisi atau kebijaksanaan, semakin kita bisa memitigasi resiko-resiko yang sistemik atau yang sifatnya berjangka panjang. Nah, ini penting sekali tentunya kita bisa menggunakan contoh-contoh seperti Roger Federer, seperti Rudy Hartono. Rudy Hartono itu sebelum dia mulai bermain bulu tangkis, itu dia bermain bola voli, bermain cabang olahraga yang banyak sekali. Sama juga dengan Roger Federe sebelum dia mulai main tenis, dia itu main bola, main apapun yang ada bolanya. Nah, ini bisa dimasukkan dalam konteks bagaimana seseorang bisa menjadi early specializer ataupun late specializer.

 

Late specialization is actually good. Early is not necessarily good.


                late specialization (Spesialisasi yang terlambat) itu justru sudah melewati penyempurnaan dan exposure ke banyak dimensi, banyak hal. Sehingga begitu dia mencapai titik yang dia ingin lakukan spesialisasi, itu dia sudah mengetahui banyak hal mengenai dimensi-dimensi yang dia sudah lewati sebelumnya. Nah, kalau ini menurut saya nyambung dengan kepentingan kita untuk bagaimana kita bisa melebarkan wawasana atau breadth. Ini penting sekali sebagai atribut kedua, agar kita bisa menyongsong masa depan yang keren.

 

            Atribut terakhir atau yang ketiga: adalah terkait dengan artikulasi. Bagaimana supaya bisa memproduksi massal narator-narator. Saya seringkali mengobrol dengan banyak teman, banyak narasumber, mengenai bagaimana sih untuk kita bisa melihat lebih banyak story teller, lebih banyak narator mengenai Indonesia. Tidak hanya itu saja, tapi juga menarasikan narasi kita bukan hanya di kolam sendiri saja, tapi di lautan yang begitu luas di seluruh dunia. Agar indonesia itu lebih bisa di dengar dan tentunya tidak malu-maluin.

 

Atribut-atribut yang keren mengenai  Indonesia itu banyak sekali, tentunya termasuk eksistensi kita sebagai demokrasi terbesar nomor 3 di dunia, populasi terbesar nomor 4 di dunia, perekonomian terbesar di Asia Tenggara, populasi terbesar di Asia Tenggara, satu-satunya negara muslim terbesar di dunia, dan juga sangat moderat. Dan ini saya membayangan bagaimana kita sangat bisa berperan sebagai peradaban untuk bisa menjembatani antara beberapa ataupun dua peradaban yang berbeda.

 

Akhir-akhir ini kita mendengar mengenai decoupling, atau tensi atau perceraian antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Ini sangat diperlukan interlokutor yang piawai, yang piawai menarasikan bagaimana semestinya ke depan untuk bisa menjembatani satu peradaban yang sudah eksis selama 4000-5000 tahun dengan peradaban lainnya yang sudah eksis lebih dari 200 tahun. Indonesia sebagai peradaban, sudah eksis selama kurang lebih 2000 tahun. Asia Tenggara juga sebagai peradaban sudah eksis selama 2000 tahun. Kita sudah dilewati oleh agama Budha selama 400 tahun, agama Hindu selama 600 tahun, kolonialisme, Islam, kemerdekaan, demokratisasi selama 600-700 tahun. Cobaannya sudah banyak sekali, tapi kita tetap masih eksis, utuh dengan kekayaan yang luar biasa, termasuk tentunya kerukunan, kebersamaan, dsb. Ini sebenarnya bekal yang kita harus sadari, bekal yang kita harus narasikan atau bekal yang kita bisa berdayakan untuk menarasikan bahwasannya Indonesia ini sangat lebih berperan. Ini cabangnya banyak sekali kalau kita bisa membuahkan story teller atau narator yang banyak jumlahnya, ini bisa diberdayakan untuk kepentingan social enterprise, untuk privat enterprise, bahkan untuk public/geo-political enterprise. Ini kalau menurut saya adalah atribut terahir yang sangat bisa menjadi bagian dari faktor “X” yang dibutuhkan oleh generasi muda penerus agar bukan hanya Indonesia, bukan hanya Asia Tenggara, bukan hanya Asia-Pasifik, tapi dunia itu bisa menjadi lebih keren kedepan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what your opinion?

SYAHDAN

    Pada tempat yang sunyi , senyap , disekitar macam-macam gunung diluar Mekah timbullah berkali-kali persoalan. Lagit Arabia tiada dili...