TRIBALISME DI ERA DIGITAL

 TRIBALISME DI ERA DIGITAL


Kita melihat bahwasanya generasi muda sekarang ini adalah generasi yang diasuh oleh Tik Tok dan Instagram. Ini berkorelasi dengan kasus kecemasan, depresi, dan bahkan suicide atau bunuh diri yang semakin meningkat di kalangan anak-anak muda. Jadinya mungkin lebih sulit untuk kita melakukan Think Globally, and Act Locally atau berpikir secara global dan berperan secara lokal.


Dinamika Struktur Sosial

Dalam sejarah kita melihat adanya beberapa fenomena. Setidaknya ada 3 fenomena yang mencerminkan bagaimana manusia itu melakukan perjalanan hidup.

Pertama, kita melihat perjalanan spiritual manusia, itu sudah jalan selama beberapa ribu tahun dan ini bisa dianggap dalam konteks Organize Religions, yang mana mereka itu mencari sesuatu dan sesuatu yang dicari itu adalah kenyamanan batin atau bahkan bisa dianggap salvation (keselamatan), bahkan juga bisa dianggap redemption, penebusan atau pengampunan dari dosa.

Namun, akhir-akhir ini banyak dari masyarakat luas di seluruh dunia itu mulai tidak puas dengan beberapa kemunafikan yang dilakukan oleh beberapa pemimpin yang semestinya memimpin perjalanan spiritual tersebut, sehingga banyak yang mencari alternatif-alternatif baru untuk mencapai kenyamanan yang diinginkan, sehingga kita melihat fenomena kedua dalam beberapa ratus tahun terakhir ini.

Fenomena kedua ini tercermin dalam perjalanan sosial. politik, dan ekonomi untuk mencari solusi yang terbaik untuk kepentingan produksi dan juga distribusi untuk setiap manusia. Bagaimana perekonomian, negara, sistem itu bisa meningkatkan produksi, bagaimana mereka bisa meningkatkan produktivitas dan bagaimana mereka bisa meredistribusi produk-produk barang dan jasa semaksimal mungkin dari anggota, dari negara, atau komunitas tersebut. Ini bisa saja disebut sosialisme, komunisme, kapitalisme, ataupun liberalisme. Masing-masing beda tapi ujung-ujungnya adalah bagaimana mereka bisa membuahkan inklusi untuk anggota dari komunitas terkait. Namun, semakin banyaknya uang yang diciptakan, semakin banyaknya produksi yang dilakukan, kenaikan inklusi itu tidak semestinya nyambung dengan penurunan kesenjangan. Nah ini gap yang semakin kelihatan, di mana banyak sekali komunitas, banyak sekali negara, banyak sekali perekonomian itu sudah membanggakan diri bahwasanya mereka itu sudah bisa meningkatkan inklusi keuangan, tapi kok mereka belum bisa membuahkan penurunan kesenjangan yang berarti. Nah ini sekali lagi membuahkan kegelisahan di masyarakat luas.

Nah ini bergeser ke fenomena yang ketiga, di mana kita melihat semenjak akhirnya Perang Dunia ke-2, dunia ini diwarnai dengan tatanan yang sifatnya itu bipolar, yang berkuasa dulu hanya dua, apakah itu Uni Soviet ataupun Amerika Serikat yang mana itu berakhir di tahun 1989 dengan runtuhnya Tembok Berlin dan terjadinya disintegrasi Uni Soviet yang setelah itu menjadi Rusia di tahun 1991. Tapi bergeser lagi akhir-akhir ini dengan keberadaan negara-negara besar yang baru seperti Tiongkok, seperti Rusia, seperti India, Brazil, Afrika Selatan, dan juga ASEAN sebagai kumpulan dari 10 negara yang terdiri dari 680 juta manusia, yang mana ukuran ekonomi di ASEAN itu lebih dari 3 triliun dolar, posisi nomor 4 di dunia atau nomor 5 di dunia. Ini adalah cermin dari bagaimana semakin sulitnya kita untuk melakukan multilateralisasi karena banyak sekali kawasan-kawasan yang besar dan udah nggak ada satu polisi lagi. Sekarang polisinya banyak untuk memastikan bahwa masing-masing kawasan itu punya andil. Mereka memiliki tempat di sana. Jadinya mungkin lebih sulit untuk kita melakukan  Think Globally and Act Locally atau berfikir secara global dan berperan secara lokal, karena kita harus memikirkan apa yang lebih berarti untuk diri kita sendiri.

Mungkin saja pepatah yang lebih berlaku adalah bagaimana kita harus bisa merasakan penderitaan dunia, terus gimana kita bisa mengambil sikap yang lebih relevan, lebih berarti untuk komunitas kita sendiri atau Grieve Globally, Act Locally atau berkoar secara global, berperan secara lokal. Mungkin isu-isu yang kita harus rasakan secara global itu bisa termasuk dengan kesenjangan atau perubahan iklim. Tapi kita juga harus bisa memasukkan hal-hal seperti itu dalam konteks gimana kita bisa mengsolusikan untuk komunitas kita sendiri.

Tiga fenomena ini cukup menarik, tapi ini cukup niscaya di mana dari awal kita mencari Salvation and redumption atau penyelamatan dan pengampunan, terus kita mencari inklusi. Sekarang kita mencari solusi yang lebih komunal atau lebih tribal, lebih mencerminkan kesukuan dibandingkan mencerminkan globalitas yang mana itu berlaku untuk beberapa dekade sampai akhir-akhir ini.

 

Dampak Teknologi Terhadap Interaksi

Secara sosial, peran teknologi ini niscaya sudah sangat kelihatan dan sangat dirasakan. Tentunya, medsos itu berdampak terhadap tiga pilar. yang pertama adalah pilar anak muda. Semenjak ditemukannya tombol like share retweet di tahun 2009 yang diberlakukan untuk apakah itu Facebook, Twitter, dan juga Instagram, itu hanya untuk menciptakan viralitas, hanya untuk mencari popularitas. Tapi yang harus dipahami juga atau disadari adalah bagaimana ini berdampak secara negatif terhadap society atau komunitas. Jika setiap orang berwenang atas fakta mereka sendiri, sebenarnya tidak perlu untuk mereka berkumpul. Bahkan, orang-orang tidak perlu untuk berinteraksi. Kita kurang memiliki kendali atas siapa diri kita dan apa yang benar-benar kita yakini. Kita melihat bahwasanya generasi muda sekarang ini adalah generasi yang diasuh oleh Tiktok dan Instagram. Bagaimana mereka menggunakan HP selama 9 sampai 10 jam, dan mayoritas dari penggunaan HP tersebut hanya untuk melihat TikTok dan Instagram, yang mana konten dari dua platform tersebut itu sangat tidak tereditorialisasi. Ini adalah platform yang disaksikan oleh lebih dari 3 miliar manusia di seluruh dunia, tapi tidak tereditorialisasi. Jaminan apa untuk kita sebagai orang tua bahwasanya sampah yang begitu banyak dalam platform tersebut atau konten yang disajikan oleh platform tersebut, itu tidak disaksikan oleh generasi muda atau anak-anak kita ataupun cucu-cucu kita. Ini sangat sulit. Dan generasi TikTok dan Instagram ini, juga sangat lebih suka berkomunikasi satu sama lain. Mereka tidak terlalu suka berkomunikasi dengan generasi pendahulu kita. Jumlah manusia yang hidup sekarang anggaplah 7,8 sampai 8 miliar, mereka lebih suka berkomunikasi satu sama lain di situ. Tapi mereka tidak terlalu mau berkomunikasi dengan generasi pendahulu kita, di mana secara kumulatif yang meninggal dunia sampai sekarang di dunia ini kurang lebih 107 miliar manusia. Komunikasi dengan mereka itu disebut sebagai sejarah. Berkomunikasi dan belajar dari sejarah itu penting sekali untuk meningkatkan kebijaksanaan kita karena kita bisa belajar dari atribut-atribut yang positif, tapi juga yang negatif, sehingga kita bisa lebih bijaksana ke depan.

Ini berkorelasi dengan kasus kecemasan, depresi, dan bahkan suicide atau bunuh diri yang semakin meningkat di kalangan anak-anak muda. Dan ini mungkin atau kemungkinan besar berkorelasi dengan bagaimana kita tidak terlalu mengerti atau menyikapi mengenai apa yang disaksikan oleh anak-anak muda sekarang lewat platform medsos yang sangat tidak tereditorialisasi.

Pilar kedua yang terdampak oleh medsos adalah polarisasi percakapan. Bagaimana algoritma yang disajikan itu bisa mempolarisasi percakapan dan tentunya mempolarisasi komunitas akademis sehingga banyak yang semakin ke kiri dan banyak yang semakin ke kanan, sehingga yang semakin hampa adalah sentra ataupun sentralitas. Ini kurang baik, karena tentunya untuk melakukan proses intelektualisasi, kita perlu kutub kiri, kutub kanan, dan kutub tengah agar intelektualisasi itu lebih bijaksana dan lebih kaya ke depan.

Pilar ketiga yang terdampak oleh medsos adalah  amplifikasi terhadap narasi yang kental dengan kemarahan, kebencian, dan pertikaian. Ini bagaimana perusahaan-perusahaan teknologi itu terus-menerus meningkatkan algoritma agar narasi-narasi yang kental dengan kemarahan, kebencian, dan pertikaian itu terus menerus diamplikasi. Sedangkan narasi-narasi yang bijaksana, yang sehat itu tidak terampifikasi, sehingga dalam konteks demokrasi liberal itu semakin timpang antara narasi yang kurang baik dengan narasi yang jauh lebih baik. Tentunya dengan polarisasi percakapan yang terjadi dalam konteks demokrasi liberal, ini semakin tidak sehat. Semakin untuk mencari pemimpin yang cocok, itu semakin dicari apapun yang lebih kaya dengan viralitas, kaya dengan festivalisasi, kaya dengan sensationalisasi, bukan kaya dengan intelektualisasi. Ini sangat menjadi kekhawatiran untuk kita ke depan.

Tentunya kita hidup di era digital yang kental dengan 4 kekurangan-kekurangan atau kelemahan.

Pertama adalah digital deluge, banjirnya informasi secara digital yang tidak nyambung dengan the creation of idea atau pembuahan ide yang positif. Deluge atau banjir secara digital, ini justru sangat tidak sehat untuk generasi muda ke depan.

Kedua adalah digital distractions, semakin kita disajikan informasi yang kurang oke, semakin kita terganggu dengan hal-hal yang kurang oke. Kita tidak bisa focus ke hal-hal yang lebih oke, lebih sehat, lebih bijaksana.

Ketiga adalah digital dementia, dimana saking kita terlalu kewalahan dengan informasi digital, kita itu lupa, kita nggak bisa menyadari mana yang baik, mana yang kurang baik, mana yang sehat, mana yang kurang sehat, mana yang bijaksana, mana yang kurang bijaksana, mana yang lebih kental dengan kemarahan, pertikaian, dan kebencian, mana yang kurang.

Terakhir adalah digital deduction, semakin kita membelenggu diri kita sendiri dengan hal-hal yang kurang sehat di sosmed atau medsos, semakin kita mereduksi eksistensi kita. Banyak sekali di kalangan anak-anak muda sekarang itu yang tidak suka lagi baca buku. Mereka lebih memilih untuk membatasi dirinya itu di bawah 280 karakter. Apakah itu lewat Twitter, Facebook, TikTok, Instagram, sehingga ini kelihatan digital deluge, digital distractions, digital dementia dan digital deduction, sebagai hal-hal di era digital yang sangat harus disikapi ke depan.




        Ujung-ujungnya, gimana kita bisa menciptakan hygiene digital atau kebersihan secara digital. Saya
belum tahu, saya belum punya resepnya. Tapi mungkin yang bisa dipertimbangkan adalah mungkin kita melihat HP tidak sebanyak sebelum-sebelumnya untuk bagaimana kita bisa menditoksifikasi diri dari banyak hal yang buruk sekali yang ada di HP kita. Mungkin jangan 9 jam, jangan 10 jam, dikurangi saja.

Kedua, mungkin kita membiasakan diri untuk menarasikan narasi-narasi yang lebih relevan untuk kesehatan jiwa dan raga generasi yang muda sekarang dan generasi penerus mereka.

Ketiga, mungkin kita harus membiasakan diri untuk lebih melihat konten yang terkurasi atau tereditorialisasi, bahkan kalau perlu kita membiasakan diri untuk berperan dalam proses editorialisasi atau kurasi terhadap konten-konten yang semena-mena disajikan lewat platform digital tersebut.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what your opinion?

SYAHDAN

    Pada tempat yang sunyi , senyap , disekitar macam-macam gunung diluar Mekah timbullah berkali-kali persoalan. Lagit Arabia tiada dili...