Pedoman Berpolitik Warga NU Mukhtamar NU XVIII di Kapryak Yogjakarta Tahun 1989


 

    Perhelatan pesta demokrasi di  Indonesia akan dilaksanakan di tahun 2024. Aspirasi-aspirasi personal maupun lebaga akan ikut serta dalam proses penentuan arah pesta demokrasi tersebut, dan ini tentunya cukup berkorelasi dengan wawasan berpolitik. masing-masing pandangan mempunyai dasar dan argumen tersendiri. Kadar orientasipun juga bermacam-macam. Tinggal seberapa dewasa, pihak-pihak yang terlibat ini, mampu mendialogkan berbagai macam perbedaan tersebut dalam bingkai kebangsaan di era arus digitalisasi yang kian berkembang pesat.

    Sebagai warga Nahdlatul Ulama, tentu dalam sejarah perjalanannya hingga saat ini telah kaya dengan pengalaman-pengalaman empiris saat menjalani proses perhelatan pesta demokrasi. Dalam memaknai politik, kiranya Nahdlatul Ulama sudah pernah mengidentifikasinya. Salah satunya dalam sejarah Mukhtamar NU ke-18 di Kapryak Yogjakarta pada tahun 1989 telah merumuskan tentang berpolitiknya Nahdlatul Ulama. Dan mungkin untuk memudahkan dalam mengetahui isinya, kiranya salah satu upaya ini memudahkan para pembaca untuk kembali membacanya.


Pedoman Berpolitik Warga NU

Mukhtamar NU XVIII di Kapryak Yogjakarta Tahun 1989

 

1.    Bepolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan berengara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

2.    Politik bagi warga Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integritas bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur, lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat.

3.    Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggungjawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.

4.    Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi Persatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawartan/perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

5.    Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran murani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.

6.    Berpolitik bagi Nahdlatul ulama dilakukan untuk memperkokoh konsesus-konsesus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan Akhlaq al-Karimah sebagai pengalaman ajaran Islam Ahlusunnah Wal Jamaah.

7.    Berpolitik bagi nahdlatul Ulama, dengan dalih apapun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.

8.    Perbedaan pandangan diantara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap terjaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama.

9.    Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.*

__________________________________

*M. Bisri Adib Hattani, Khittah wa Khidmah (Pati: Majma’ Buhuts An-Nahdliyah –Forum kajian ke-Nu-an, 2014) hal 51.


Opini saya,

Terlihat disini, NU memadukan antara falsafah negara sebagai buah pikiran manusia, yang kemudian menjadi dasar pengikat pada komunitas nasional didalam berbangsa dan bernegara dengan doktrin keagamaan Islam sebagai wahyu Allah yang kemudian menjadi dasar pengikat dalam komunitas keberagaman. Suatu perpaduan yang amat penting artinya bagi bangunan stabilitas di suatu negara.

Bagi saya, nampaknya NU juga ingin mendidik warganya secara kultural untuk menjadi insan politik yang kritis dan dinamis tanpa harus menunggu perintah panutannya, tanpa harus terikat oleh petunjuk seseorang, dan tanpa adanya ketergantungan pada arahan seseorang. Kedewasaan seperti ini akan menuntut kemauan dan kemampuan Orpol manapun untuk menyerap aspirasi warga NU yang beraneka ragam, tidak saja aspirasi keagamaannya. 

Yah, ini sebatas padangan saja. Bukankah perbedaan itu akan membawa suatu faidah jika dapat diarahkan untuk membuat demokrasi menjadi "proses belajar dan memecahkan masalah". 

Ikhtilaf memang rahmat.

SYAHDAN

    Pada tempat yang sunyi , senyap , disekitar macam-macam gunung diluar Mekah timbullah berkali-kali persoalan. Lagit Arabia tiada dili...