Pendidikan. Lewat Pendidikan, Manusia Membentuk Arah Sejarah.

  


        P
endidikan memang tak pernah basi dibicarakan, apalagi diperdebatkan. Barangkali, karena untuk setiap masalah yang terjadi di republik ini, pendidikan selalu dituduh sebagai salah satu penyebab utamanya. Mulai dari merebaknya hoaks, kohesi sosial dan kualitas hidup yang rendah, hingga minimnya daya saing dan produktivitas bangsa. Tuduhan di atas amat mendasar. Meski, beberapa indikator capaian pendidikan kita sebenarnya meningkat. Misalnya, skor Indeks Sumber Daya Manusia (Human Capital Index) 2018 untuk komponen kualitas dan kuantitas pendidikan meningkat. Indonesia unggul dari negara-negara Asia Timur, Asia Selatan, Timur Tengah, Amerika Latin dan Afrika namun masih di bawah negara-negara Asia Pasifik seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina (Siaran Pers HCI Kemenkeu, 2018). Namun, hasil pendidikan kita secara umum masih saja dirasakan tidak memuaskan.

Penelitian SMERU dalam program ‘Research on Improving Systems of Education’ (RISE) 2021 ini mencoba melakukan analisis profil pembelajaran anak di Indonesia. Riset ini memetakan kemampuan berhitung siswa menggunakan data Survei Kehidupan Keluarga Indonesia (IFLS) selama periode 2000–2014. Sedihnya, ditemukan beberapa tren buruk dalam catatan pendidikan nasional: hasil belajar anak Indonesia pada 2014 lebih rendah dari tahun 2000.

Pertama, masih banyak anak sekolah yang tidak mampu menjawab soal berhitung yang seharusnya sudah mereka kuasai di jenjang kelas yang lebih rendah. Misalnya, hanya dua pertiga anak di jenjang kelas 3 yang mampu menjawab pertanyaan “berapa 49-23” secara tepat. Padahal, ini setara dengan kemampuan berhitung untuk anak di jenjang kelas 1. Hanya sekitar 35% siswa di jenjang kelas 12 yang mampu menjawab dengan benar pertanyaan tingkat kelas 5 terkait penghitungan bunga uang – artinya tujuh jenjang di bawah level mereka.

Kedua, peningkatan kemampuan anak semakin mengecil seiring naik jenjang kelas yang ditempuh. Anak mengalami peningkatan kemampuan berhitung yang signifikan pada jenjang kelas 1 sampai dengan kelas 6. Jadi dari kelas 1 sampai kelas 6, kemampuan berhitung naik pesat. Namun, tren peningkatan ini melambat dan menjadi cenderung datar setelah memasuki jenjang kelas 7 ke atas. Kemampuan anak tidak mengalami peningkatan yang signifikan ketika dia beranjak remaja dan belajar di jenjang sekolah menengah pertama (SMP) maupun sekolah menengah atas (SMA).

Ketiga, kemampuan berhitung anak pada tahun 2000 relatif lebih tinggi dibandingkan anak di jenjang yang sama 14 tahun kemudian. Capaian anak di setiap jenjang pada 2014 secara konsisten berada di bawah capaian tahun 2000. Ini berlaku baik bagi kelompok anak yang bersekolah, maupun anak yang tidak bersekolah. Artinya, setidaknya selama tahun 2000 hingga 2014, capaian pendidikan anak di Indonesia justru mengalami penurunan.

Tentu pertanyaan besarnya: Mengapa?

Sebelum mengulas lebih jauh, ada beda antara pendidikan (education) dan persekolahan (schooling). Untuk menjadi terdidik, orang tidak selalu harus tersekolahkan. Namun demi kesederhanaan pemahaman, istilah pendidikan di sini mengacu pada pendidikan formal, di mana persekolahan menjadi jantungnya. Diskusi tentang pendidikan biasanya berkisar pada hasil atau dampak pendidikan dan meminggirkan aspek proses. Kalaupun ada, fokusnya pada topik-topik seputar kurikulum, peran guru dan orang tua, partisipasi murid di kelas atau hal-hal lainnya yang dirasa penting untuk meningkatkan prestasi secara langsung. Padahal, menelisik proses manajemen investasi pemerintah di bidang pendidikan itu hal yang penting.

Perdebatannya: apakah ini perkara kebijakan atau tata kelola?

Arah kebijakan pendidikan Pendidikan adalah hak setiap warga negara. Negara bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan serta menentukan arah kebijakannya. Setelah amanat UU 20/2003 agar 20 persen APBN dialokasikan untuk pendidikan, beberapa pekerjaan di ‘dapur’ layanan pendidikan menunjukkan adanya perubahan-perubahan penting meski mungkin tidak banyak diketahui umum. Misalnya kebijakan untuk mendorong proses belajar mandiri semenjak dini. Ini hulu persoalan pendidikan yang dampaknya kita hadapi di hilir. Dua indikator yang sering dirujuk, Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Programme for International Student Assessment (PISA), keduanya ini mencerminkan kemampuan belajar siswa. Keduanya memang menempatkan Indonesia pada posisi tidak terlalu membanggakan, tapi bukan itu soalnya. Karena kedua indikator itu berorientasi pada hasil pendidikan, saya mencari indikator yang lebih mendasar, lebih universal, dan berorientasi pada proses, yakni rata-rata waktu membaca orang dewasa per minggu. Sekali lagi, rata-rata waktu membaca orang dewasa per minggu. Indikator ini penting mengingat bahwa ilmu yang didapatkan secara mandiri lazimnya dari membaca buku. World Culture Score Index 2015 menunjukkan bahwa di negara-negara yang indeks SDMnya di atas Indonesia, orang dewasa memiliki rata-rata waktu membaca per minggu lebih banyak. Di Thailand, 9 jam 24 menit per minggu; di Filipina, 7 jam 36 menit; di Jepang, 10 jam, dan di India, 10 jam 42 menit. Sementara di Indonesia hanya 6 jam per minggu. Hanya 6 jam per minggu. Padahal, membaca itu penting, karena terkait dengan logika dasar.

Membaca amat ditentukan oleh kebiasaan dan sejak kapan kebiasaan tersebut ditanamkan. Semakin dini dan semakin sering, maka hasilnya akan semakin bagus. Di Indonesia, peran pemerintah untuk mulai membiasakan membaca secara mandiri ternyata selama ini lemah. Survei BPS menunjukkan pada 2013, akses ke fasilitas Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hanya 27 persen. Artinya, 27 dari 100 anak memang memiliki akses ke PAUD, namun tidak selalu berarti mereka dididik di sana. Angka ini menunjukkan intervensi pemerintah saat itu pada akses membaca, kebiasaan membaca dan substansi pendidikan, masih sangat terbatas. Bank Dunia pada 2018 melakukan sebuah survey. Survey ini menunjukkan bahwa akses PAUD sudah mencapai 73 persen. Kenaikan signifikan selama lima tahun ini disebabkan oleh investasi pemerintah yang sejak 2015 gencar membangun infrastruktur PAUD, yang hingga saat ini sudah terbangun lebih dari 20.000 unit. Artinya ada perbaikan akses ke fasilitas PAUD, meski belum berarti kurikulum dan pengajar sudah memiliki kompetensi sebagaimana seharusnya. Upaya ini amat penting dipahami karena artinya arah kebijakan pembangunan pendidikan lewat PAUD sudah berada di jalan yang benar, walau sering tenggelam di ruang publik. Pendidikan usia dini di masa pertumbuhan (usia emas 0-5 tahun) memang sangat penting dalam menunjang pembentukan mental, karakter dan daya pikir anak-anak, termasuk kebiasaan membaca.

Tingginya rata-rata waktu membaca mencerminkan inisiatif mandiri individu untuk menambah ilmunya, merangsang kematangan serta kritis berpikir. Ini dapat terwujud apabila kebiasaan membaca dimulai sejak dini dan akses kepada fasilitas untuk membaca diwujudkan. Dalam konteks ini, lewat PAUD, saya kira negara telah hadir memenuhi hak warga negara untuk pendidikan dan membangun masa depan bangsa.


Aspek kedua adalah tata-kelola. Apa yang berantakan dan terbaca di ruang publik seringkali bukanlah karena arah kebijakan, melainkan semrawutnya tata-kelola. Bahkan, arena tata-kelola itu lantas jadi amat rentan dipolitisasi. Contohnya, guru. Kualitas guru amat mempengaruhi kualitas siswa dan kualitas pendidikan. Peran guru, kata Ki Hadjar Dewantara, adalah “Ing ngarsa, sung tuladha; ing madya, mangun karsa; tut wuri, handayani.” Saat di depan ia memberi contoh, saat bersama-sama ia memberi semangat, dan dari belakang ia memberikan dukungan. Guru memang seharusnya bisa digugu dan ditiru. Dipercaya dan dicontoh. Sayangnya, tata-kelolanya cenderung diabaikan. Yang sering diperdebatkan adalah soal pendidikan, penguatan profesi, kompetensi, dan sertifikasi. Padahal, satu hal terpenting yang harus dikaji adalah rekrutmen. Data menunjukkan rekrutmen guru meningkat drastis di daerah seputar pemilihan kepala daerah (pilkada) sejak 2005 hingga 2013 (Bank Dunia, 2014) dan trend ini masih berlangsung sampai sekarang. Bagi mereka yang kerap terlibat politik daerah, hal ini bukanlah baru. Namun data ini mengukuhkan dugaan politisasi rekrutmen guru selama ini.

Pertanyaannya: mengapa profesi guru rentan menjadi arena pemenuhan imbal jasa politik khususnya di daerah?

 Dugaan yang cukup kuat namun masuk akal adalah karena sejak adanya tunjangan profesi guru, maka rata-rata pendapatan guru lebih tinggi dari sektor lain. Selain itu, janji politik pengangkatan para guru yang sebagian besar, atau malah semuanya honorer ini, menjadi PNS. Padahal, itu di luar kewenangan daerah. Seandainya lonjakan rekrutmen guru ini dibarengi kualifikasi yang layak, maka sebenarnya tidak jadi soal. Namun, faktanya tidak demikian. Berbagai kasus menguatkan dugaan bahwa rekrutmen tidak dilakukan berdasarkan kompetensi, tetapi politis. Permasalahan semakin terlihat ketika yang sudah direkrut justru tidak ditempatkan di sekolah sebagai pengajar. Atau, direkrut menjadi guru namun tidak punya kompetensi dasar sebagai guru. Padahal, UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan agar guru setidaknya berpendidikan D4 dan memegang sertifikat dari Pendidikan Profesi Guru (PPG). Ini berarti terjadi inefisiensi belanja negara: pengeluaran untuk SDM pendidikan membengkak namun tidak disertai dengan meningkatnya kualitas layanan pendidikan. Akibatnya sekolah dipaksa melakukan rekrutmen guru honorer untuk mengajar dengan pendanaan sendiri dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS), yang memang diniatkan untuk membantu investasi dan memberikan layanan pendidikan di sekolah.

Empat hingga tujuh tahun terakhir ini, pemerintah mencoba berbenah. Pertama, pembenahan data pendidikan pada dan lintas kementerian/lembaga. Terungkap fakta bahwa jumlah guru sebenarnya sudah lebih dari cukup. Dalam kurun 2012-2017 guru yang dihasilkan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) mencapai 1,94 juta orang. Saat ini kita memproduksi lebih dari 240.000 guru per tahun, padahal kebutuhannya hanya sekitar 40.000. Selain itu, mereka tidak terdistribusi merata dan bersertifikat. Situasi ini cermin (mis)management tata-kelola guru. Pendidikan tinggi keguruan seharusnya berinovasi agar sarjana pendidikan juga bisa menjadi guru; sedangkan PPG harus ditingkatkan kapasitas dan kualitasnya.

Kedua, pembenahan tata-kelola anggaran pendidikan. Lebih dari 63 persen anggaran pendidikan yang sebesar 20 persen APBN merupakan transfer daerah yang tidak selalu bisa dimonitor penggunaannya apalagi diminta pertanggungjawabannya. Padahal, pemda punya tanggung jawab menjalankan fungsi pendidikan. Pemerintah berinisiatif dengan Neraca Pendidikan Daerah (NPD). NPD adalah satu cara mengejar tanggung jawab ini. Jadi, bagaimana kita menangani dan mengawasi tata-kelola guru ini? Saat ini sudah ada Pengawas Sekolah, dan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) sebagai lembaga yang mengawasi guru dan sekolah. Namun ini belum optimal karena keterbatasan kapasitas. Jadi, apa artinya? Selama ini tidak ada mekanisme efektif untuk mengawasi investasi pemerintah terhadap guru, investasi pemerintah di sekolah, dan investasi pemerintah di layanan pendidikan. Dan jelaslah ini bukan perkara arah kebijakan, melainkan tata-kelola.

Tiga atau empat tahun terakhir, Pemerintah mencoba untuk memperbaiki. Karena itu, pembenahan yang dilakukan pemerintah mesti menyasar proses bisnis tata-kelola guru dan tenaga kependidikan. Misalnya moratorium pengangkatan guru PNS, larangan rekrutmen guru honorer menjelang dan sesudah pilkada dengan janji di-PNS-kan, hingga pembenahan data guru dalam formulasi transfer Dana Alokasi Umum (DAU). Beberapa proyek percontohan seperti Kinerja dan Akuntabilitas (KIAT) Guru (2015-sekarang) mencoba memberi solusi terhadap kebutaan pemerintah atas keberadaan guru serta kualifikasi mereka. Saudara-saudara, perlu kita pahami bahwa upaya menilik arah kebijakan dan membenahi tata-kelola sektor pendidikan ini merupakan suatu proses yang hasilnya tidak segera nampak. Pembenahan baru terjadi empat hingga tujuh tahun terakhir ini. Jika konsisten diteruskan, hasil yang signifikan mungkin baru akan terasa setelah lima sampai sepuluh tahun, sedangkan dampaknya mungkin setelah sepuluh tahun, atau malah lebih. Penyelenggaraan sistem pendidikan memang tanggung jawab pemerintah. Tetapi keberhasilannya adalah tanggung jawab bersama. Pembenahan sektor pendidikan ini penting dan banyak hal yang terjadi di dapur layanan pemerintah tidak bisa dianggap sekedar ‘hanya urusan dapur’. Justru, kunci pembenahan kebijakan dan tata-kelola adalah ‘dapur’ itu sendiri, yakni proses kerja dan proses bisnisnya.

Masa depan dunia terletak di tangan mereka yang terdidik baik. Lewat pendidikan, manusia membentuk arah sejarah. Keyakinan ini harus terus kita rawat. Pendidikan harus dikawal kebijakan dan tata-kelolanya karena ia menentukan kualitas keadaban publik (public civility). Hanya melalui pendidikan, anak-anak kita, atau anak-anak mereka, akan membentuk arah sejarah dan masa depan bangsa besar ini. Mari kita terus mendidik diri sendiri dan dengan demikian, mendidik bangsa ini.

 

Merdeka dari Apa dan Merdeka untuk Apa.



Peringatan kemerdekaan 17 Agustus selalu ditandai dengan beragam perayaan dari Jakarta hingga ke pelosok desa. Seringkali riuhnya seremoni membuat kita jarang punya ruang untuk merenung dan berefleksi. Padahal ada pertanyaan kunci: sesudah merdeka, lalu mau apa? Pertanyaan ini seolah sederhana, namun tidak selalu mudah menjawabnya.

Kemerdekaan punya dua aspek pokok: merdeka dari apa; dan merdeka untuk apa.

Semua tahu kita sudah merdeka dari masalah utama dahulu kala, yaitu penjajahan. Tapi apakah kita juga sudah merdeka dari masalah kita saat ini: kemiskinan, ketimpangan sosial-ekonomi, kebodohan, ketidakadilan, rusaknya alam, korupsi, merosotnya demokrasi, dan menyempitnya ruang gerak sipil, serta berbagai soal lainnya. Itu mengapa kita mesti peka akan aspek kedua: merdeka untuk apa.

Kemerdekaan memberi kita ruang untuk mengejar kepenuhan harkat dan martabat sebagai manusia dan bangsa. Seluruh mandat konstitusi republik ini adalah mandat untuk menjunjung tinggi sekaligus memastikan pemenuhan harkat dan martabat tersebut. Petikan dari Pembukaan UUD 1945:

“Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Diusia yang menginjak tahun ke-77—ini bukan usia lanjut, tapi juga bukan ‘anak kemarin sore’ untuk sebuah negara—sejumlah kemajuan di berbagai bidang dan aspek kehidupan memang sudah kita capai. Mencanangkan tekad menjadi ekonomi terkuat nomor empat atau lima sejagad pada tahun 2045 nanti, Indonesia menunjukkan kerja kerasnya dengan sejumlah hasilnya. Sebut saja pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil meski sempat terpuruk didera pandemi, pembangunan infrastruktur fisik yang menjangkau sudut-sudut negeri, sejumlah prestasi pembangunan dan kemampuan bersaing yang makin mengglobal, dan masih banyak lagi. Tapi, negeri ini juga masih dihadapkan pada fragmentasi yang terjadi baik karena politik identitas berbasis agama, maupun tarik-ulur kekuasaan penuh ambisi tanpa nurani. Di negeri yang masih mencoba sembuh dari pandemi dan membenahi diri ini, sebagian rakyatnya justru ragu akan masa depan apalagi setelah Pemilu 2024 nanti. Ditambah berbagai tantangan pembangunan seperti kemiskinan dan ketimpangan sosial-ekonomi, maka makin mendesak untuk menjawab panggilan memastikan kepenuhan dan pemenuhan harkat dan martabat manusia dan bangsa Indonesia. Karena itu, tugas besar sebagai bagian dari anak bangsa di zaman ini bagi kita adalah mengambil bagian dalam upaya merawat optimisme kemerdekaan tersebut.

Pertama, membangun pemahaman akan kemerdekaan dalam konteks kita masing-masing, artinya; lingkungan, tempat tinggal, tempat bekerja dan berkarya, organisasi, dan lain sebagainya. Pemahaman ini akan membantu kita mengerti masalah dan tantangan yang dihadapi dan membangun kesadaran kita untuk bertindak dalam konteks tersebut dalam solidaritas dengan yang lain. Kemiskinan dan ketimpangan seperti apa yang ada di sekitarku? Kerusakan lingkungan seperti apa yang terjadi di wilayahku? Pengekangan kebebasan sipil apa yang terjadi di sekitar diriku? Apakah aku ikut merasakan dampaknya? Apakah aku terlibat di dalam upaya mengatasinya?

Kedua, memulai dari diri kita sendiri untuk menembus batas-batas yang selama ini membelenggu; sekat sosial-budaya, agama-kepercayaan, latar belakang ekonomi, profesi, geografi, institusi, bahkan sekat usia, dan lain sebagainya. Pendeknya, semua sekat yang tercipta akibat konstruksi sosial yang membuat orang harus merasa berbeda dengan yang lain. Sekat-sekat ini mesti ditembus untuk bisa bekerjasama. Karena itu mulailah bekerjasama dan berkolaborasi dengan semua pihak yang punya niat baik di sekitar diri kita. Semua pihak—siapapun dia, apapun agama dan keyakinannya, apapun latar belakang sosial-ekonominya, seperti apapun pandangan politiknya—selama ia bersepakat dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mau ikut menjunjung harkat-martabat warga dan bangsanya, bekerjasamalah dengannya. Hanya dengan solidaritas, kerjasama, dan kolaborasi dengan semua orang yang berkehendak baik untuk menjaga harkat dan martabat negeri ini, kita bisa memastikan republik ini terus tegak berdiri, kini dan selamanya nanti. Merdeka!

 

Intellectual Curiosity

 




                Beberapa waktu yang lalu kita pernah membahas tentang  prestasi yang diraih oleh umat manusia. Salah satu Matrix yang merupakan manifestasi dari beberapa prestasi itu adalah penghargaan Nobel. Ini adalah penghargaan Internasional tahunan yang diberikan kepada mereka yang telah memberikan kontribusi ataupun manfaat besar bagi umat manusia dalam bidang fisika, kimia, kedokteran, literatur, perdamaian, dan ekonomi. Penghargaan ini dimulai oleh Alfred Nobel, seorang ahli kimia dan juga industrialis dari Swedia yang terkenal karena penemuan dinamit pada tahun 1901. Tentunya setiap pemenang selama ini menerima medali emas, Diploma, dan penghargaan uang yang sangat berarti.

 

                Apabila kita buka password tahun 2021, yaitu selama 120 tahun, penghargaan Nobel telah diberikan kepada 975 pemenang baik individu maupun organisasi. Dari 975 pemenang tersebut itu ada 344 pemenang dalam bidang non sains dan 631 pemenang dalam bidang sains. Jadinya kurang lebih sains itu 65% dan non-sains 35%.

                

                Kalau kita kupas lagi dalam konteks sains, ada beberapa bagian dari populasi dunia yang sudah memenangkan hadiah Nobel. Kalau kita lihat dalam konteks pemenang Nobel di Bidang sains dari sisi kepercayaan atau keyakinan, kaum Nasrani yang merupakan kurang lebih 32% dari populasi dunia, maka jumlah kaum Nasrani itu kurang lebih 2,4 sampai 2,5 miliar, mereka telah memenangkan lebih dari 66% dari total hadiah Nobel dalam bidang sains. Sedangkan kaum muslim atau Islam yang mana populasi muslim di dunia itu kurang lebih 1,8 miliar atau 24% dari populasi dunia, mereka baru memenangkan hanya 0,5% dari total hadiah Nobel yang telah diberikan selama 120 tahun terakhir ini. Kaum Hindu mereka hanya memenangkan 0,6% dari total hadiah Nobel. Sedangkan kaum Yahudi yang jumlah populasinya itu tidak lebih dari 20 juta dalam konteks populasi 7,8 miliar di dunia, mereka sudah memenangkan cukup banyak. Lebih Dari 23% dari total hadiah Nobel yang telah diberikan dalam bidang sains selama 120 tahun.

 

                Ini merupakan catatan, dan catatan ini agak bertolak belakang atau berbeda dengan apa yang kita ketahui mungkin dalam konteks kejayaan Islam di abad ke-8 sampai abad ke-13. Apabila kita ditanya mengenai ilmuwan-ilmuwan yang terkenal kita kurang mengenal nama-nama yang datang dari zaman kejayaan Islam, yang jauh lebih dikenal adalah nama-nama ilmuwan seperti Isac Newton, Aristoteles, Albert Eistein, dan Charles Darwin. Dan mereka yang cukup terkenal dan sangat berjaya dalam beberapa ratus tahun terakhir ini. Tapi kalau kita melihat sejarah, bahkan mengacu ke sistem bilangan atau angka yang dipakai oleh seluruh dunia  hari ini berbasiskan sistem bilangan Arab yang ditemukan lebih dari 1000 tahun yang lalu dan ini juga mendapat bantuan dari ilmu-ilmu yang datang dari India dan tempat-tempat lainnya. Bahkan kalau kita lihat nama-nama dari bintang-bintang yang ada yang sudah diberikan nama dalam galaksi Milky Way, itu lebih dari 2/3 dari nama-nama yang sudah diberikan untuk bintang-bintang di galaksi Milky Way, itu diberikan oleh ahli-ahli di zaman Abbasiyah yang berlaku dari abad ke-8 sampai sahabat ke-13.

 

                Kegemilangan Islam itu termanifestasi dalam tiga zaman pada intinya. Pertama itu di zaman Umayyah yang berlangsung dari tahun 660 sampai 750 dan zaman Abbasiyah atau abbasid yang berlangsung dari tahun 750-1258, dan zaman Ottoman yang berlangsung dari abad ke-13 sampai awal abad ke-20 yang mana itu tercermin dalam berakhirnya perang dunia pertama. Kalau kita lihat ketiga zaman tersebut yang mencerminkan kegemilangan Islam itu memiliki beberapa benang merah dan salah satunya tentunya adalah kapasitas mereka untuk menunjukkan keterbukaan, kehausan untuk mencari ilmu dari seluruh penjuru, dan toleransi untuk bagaimana mereka bisa menunjukkan toleransi kepada siapapun. Apakah mereka itu dari kaum Yahudi, Syriak, Yunani, latin, Persia, Aramaik, Nasrani dan lain-lain. Dan hal-hal seperti itu termanifestasi dalam perpustakaan atau lembaga pendidikan yang luar biasa yaitu The House of Wisdom atau Bait al-Hikmah atau rumah kebijaksanaan. Ini didirikan di zaman Abbasiyah atau abbasid yang diprakarsai oleh Al-Makmun, Al-Mansur, dan Harun Al-Rasyid dan tentunya termanifestasi dalam beberapa ilmuwan yang sangat besar termasuk Al-Khwarizmi, Ibn Sina, Ibn al-Haytam, al-Biruni, dan lain-lain. Pada intinya “There is no muslim science. There is no jewish science. There is no Christian science. There is only one science”. Dan hal itu yang sangat dikedepankan oleh teman-teman kita di era kegemilangan Islam di zaman Umayyah, Abbasiyah, dan Ottoman. Mungkin apabila pengendapan sains dan teknologi terus berlanjut semenjak zaman keemasan Islam di zaman abbasid, jauh lebih besar dari 0,5% dari hadiah Nobel di Bidang sains bisa dimenangkan oleh orang Islam.


        Selama ini ada beberapa pemikiran ataupun spekulasi mengenai sebab berkurangnya pengendapanan sains dan teknologi semenjak berakhirnya zaman abbasid atau Abbasiyah di tahun 1258.  Pertama, mungkin saja serangan yang spektakuler yang dilakukan oleh Hulagu Khan terhadap Baghdad, dengan hancurnya dokumentasi ilmu pengetahuan yang banyak terakumulasi semenjak di abad ke-7 bahkan abad ke-8 sampai abad ke-13. Kedua, tentunya adalah kritik terhadap ilmu pengetahuan, sains, aristotelian, yang menyebabkan berkurangnya  intellectual curiosity atau kepenasaran intelektual yang dimiliki umat Islam selama ini.  Ketiga adalah berkurangnya peran Timur Tengah sebagai bagian penting dari silk route atau rute sutra semenjak pihak-pihak Eropa menemukan jalur maritim baru menuju Asia. Keempat, mungkin saja ditemukannya mesin cetak oleh Gutenberg di Jerman di abad ke-15 yang mengakselerasi proses dokumentasi, proses belajar untuk teman-teman di Eropa semenjak abad ke-15. Tapi mungkin yang penting untuk diketahui adalah keterbukaan terhadap ilmu dari manapun yang merupakan atribut penting untuk suatu bangsa menjadi bangsa yang maju.

 

                Kalau kita melihat di era kontemporer, yang sangat mulai kelihatan berkurang adalah kapasitas untuk melakukan critical thinking atau berpikir secara kritis. Saya ingin menggaris bawahi atau meng-highlight satu fenomena yaitu fenomena penggunaan sosial media atau medsos. Medsos ini pada intinya berdampak terhadap tiga pilar dalam Society kita atau komunitas kita. Pertama adalah dampak medsos terhadap anak-anak muda. Apakah itu generasi Z ataupun generasi penerusnya, mereka yang lahir di tahun 95 keatas, ataupun yang baru aja belasan tahun. Kita tentu banyak melihat begitu banyaknya anak-anak muda menggunakan HP selama 9-10 jam sehari tanpa bisa mengkurasi konten yang bijaksana, dibandingkan konten yang kurang bijaksana. Ini adalah fenomena di mana kita melihat semakin banyak generasi muda ini semakin diasuh oleh tiktok dan Instagram. Dan tentunya yang mengamplifikasi masalah terkait dengan generasi muda adalah semenjak ditemukannya tombol like di tahun 2009. Tombol like ini ditemani juga dengan tombol share, tombol retweet. Ini adalah ciptaan manusia dalam konteks teknologi hanya untuk membuahkan viralitas, tapi viralitas-viralitas seperti itu kurang sehat dan bijaksana karena itu telah terbukti secara empiris membuahkan kasus depresi, kasus enxiety, dan juga kasus bunuh diri yang semakin meningkat semenjak penggunaan tombol-tombol tersebut,

 

                Dampak medsos yang kedua adalah terhadap mahasiswa. Saya melihat bahwasanya akhir-akhir ini mahasiswa itu kurang memiliki budaya baca. Baca buku khususnya. Mereka lebih suka baca apapun yang terbatas dengan 280 karakter. Apakah itu di Twitter ataupun Tik Tok ataupun Instagram atau Facebook. Tapi mereka kurang membaca buku. Dan yang saya angkat akhir-akhir ini justru terkait dengan paradoks antara demokratisasi informasi dibandingkan demokratisasi ide. Begitu banyak kanal informasi yang kita miliki sekarang. Kita bisa mencari informasi dari banyak sekali kanal, banyak sekali sumber, tentunya dengan catatan bahwasanya platform-platform informasi tersebut itu banyak sekali yang tidak ter filter dan itu tentunya harus dicatat bahwasanya konten-konten seperti itu hampir pasti atau kemungkinan besar sangat tidak bijaksana, dan tentunya keterbatasan baca karena dibatasi hanya dengan 280 karakter ini yang menyempitkan pola pikir, menyempitkan wawasan, menyempitkan kapasitas kita untuk mendemokratisasikan ide. Dan tentunya ini cukup empiris di mana kita melihat akhir-akhir ini ide sudah sangat terpolarisasi bukan terdemokratisasi. Semestinya dalam batas logika, kalau kita sudah menyaksikan demokratisasi informasi itu sangat tersalin dalam konteks demokratisasi ide.  Tapi kita justru kekurangan ide bahkan kita bisa bilang kita hampir miskin terhadap ide.

 

                Dampak ketiga dari sosmed itu adalah terhadap demokrasi liberal. Demokrasi liberal ini semestinya adalah kapasitas suatu sistem, lembaga, manusia, atau apapun untuk bisa mendemokratisasikan apapun. Tapi justru sosmed itu telah memberdayakan teknologi yang lebih mengamplifikasi narasi-narasi yang kental dengan kebencian, kemarahan, dibanding narasi-narasi yang sangat bijaksana yang justru kurang teramplifikasi, dan ini hampir ada unsur kesengajaan dari teknologi tersebut, ataupun pemilik teknologi tersebut untuk hanya memberdayakan algoritma yang lebih bisa mengamplifikasi narasi-narasi yang kurang bijaksana. Dan tentunya tidak adanya keseimbangan antara narasi bijaksana dengan narasi yang kurang bijaksana, ini yang menyebabkan semakin sulitnya untuk kita mengawal, menjaga, merawat, demokrasi liberal di berbagai negara di dunia ini.  

 

                

Tradisi kebebasan berpendapat di Indonesia ini harus terus dikedepankan. Sebelum kemerdekaan kita sudah menyaksikan banyak sekali tokoh-tokoh pemikir negarawan seperti Muhammad Natsir, Soekarno, Muhammad Hatta, Syahrir, Muhammad Yamin, Ki Hajar Dewantara, dan Hamka. Mereka ini sangat sukses berhasil mendemokratisasikan ide dan pembahasan yang mereka lakukan satu sama lain atau dengan teman-teman mereka yang lain dan hasil dari diskusi, diskursus, dan pembicaraan mereka itulah yang membuahkan kemerdekaan kita. Dan tentunya ke depan kita harus optimis untuk melihat bagaimana generasi kedepan itu semakin bisa berperan untuk mengedepankan critical thinking. 


SYAHDAN

    Pada tempat yang sunyi , senyap , disekitar macam-macam gunung diluar Mekah timbullah berkali-kali persoalan. Lagit Arabia tiada dili...