Penelitian SMERU dalam program ‘Research on Improving Systems of
Education’ (RISE) 2021 ini mencoba melakukan analisis profil pembelajaran
anak di Indonesia. Riset ini memetakan kemampuan berhitung siswa menggunakan
data Survei Kehidupan Keluarga Indonesia (IFLS) selama periode 2000–2014.
Sedihnya, ditemukan beberapa tren buruk dalam catatan pendidikan nasional:
hasil belajar anak Indonesia pada 2014 lebih rendah dari tahun 2000.
Pertama, masih banyak anak
sekolah yang tidak mampu menjawab soal berhitung yang seharusnya sudah mereka
kuasai di jenjang kelas yang lebih rendah. Misalnya, hanya dua pertiga anak
di jenjang kelas 3 yang mampu menjawab pertanyaan “berapa 49-23” secara tepat.
Padahal, ini setara dengan kemampuan berhitung untuk anak di jenjang kelas 1.
Hanya sekitar 35% siswa di jenjang kelas 12 yang mampu menjawab dengan benar
pertanyaan tingkat kelas 5 terkait penghitungan bunga uang – artinya tujuh
jenjang di bawah level mereka.
Kedua, peningkatan kemampuan anak semakin mengecil seiring naik jenjang
kelas yang ditempuh. Anak mengalami peningkatan kemampuan berhitung yang
signifikan pada jenjang kelas 1 sampai dengan kelas 6. Jadi dari kelas 1 sampai
kelas 6, kemampuan berhitung naik pesat. Namun, tren peningkatan ini melambat
dan menjadi cenderung datar setelah memasuki jenjang kelas 7 ke atas. Kemampuan
anak tidak mengalami peningkatan yang signifikan ketika dia beranjak remaja dan
belajar di jenjang sekolah menengah pertama (SMP) maupun sekolah menengah atas
(SMA).
Ketiga, kemampuan berhitung anak pada tahun 2000 relatif lebih tinggi
dibandingkan anak di jenjang yang sama 14 tahun kemudian. Capaian anak di
setiap jenjang pada 2014 secara konsisten berada di bawah capaian tahun 2000.
Ini berlaku baik bagi kelompok anak yang bersekolah, maupun anak yang tidak
bersekolah. Artinya, setidaknya selama tahun 2000 hingga 2014, capaian
pendidikan anak di Indonesia justru mengalami penurunan.
Tentu pertanyaan besarnya: Mengapa?
Sebelum mengulas lebih jauh, ada beda antara pendidikan (education)
dan persekolahan (schooling). Untuk menjadi terdidik, orang tidak selalu
harus tersekolahkan. Namun demi kesederhanaan pemahaman, istilah pendidikan di
sini mengacu pada pendidikan formal, di mana persekolahan menjadi jantungnya.
Diskusi tentang pendidikan biasanya berkisar pada hasil atau dampak pendidikan
dan meminggirkan aspek proses. Kalaupun ada, fokusnya pada topik-topik seputar
kurikulum, peran guru dan orang tua, partisipasi murid di kelas atau hal-hal
lainnya yang dirasa penting untuk meningkatkan prestasi secara langsung.
Padahal, menelisik proses manajemen investasi pemerintah di bidang pendidikan
itu hal yang penting.
Perdebatannya: apakah ini perkara kebijakan atau tata kelola?
Arah kebijakan pendidikan Pendidikan adalah hak setiap warga negara.
Negara bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan serta menentukan arah
kebijakannya. Setelah amanat UU 20/2003 agar 20 persen APBN dialokasikan untuk
pendidikan, beberapa pekerjaan di ‘dapur’ layanan pendidikan menunjukkan adanya
perubahan-perubahan penting meski mungkin tidak banyak diketahui umum. Misalnya
kebijakan untuk mendorong proses belajar mandiri semenjak dini. Ini hulu
persoalan pendidikan yang dampaknya kita hadapi di hilir. Dua indikator yang
sering dirujuk, Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS)
dan Programme for International Student Assessment (PISA), keduanya ini
mencerminkan kemampuan belajar siswa. Keduanya memang menempatkan Indonesia
pada posisi tidak terlalu membanggakan, tapi bukan itu soalnya. Karena kedua
indikator itu berorientasi pada hasil pendidikan, saya mencari indikator yang
lebih mendasar, lebih universal, dan berorientasi pada proses, yakni rata-rata
waktu membaca orang dewasa per minggu. Sekali lagi, rata-rata waktu membaca
orang dewasa per minggu. Indikator ini penting mengingat bahwa ilmu yang
didapatkan secara mandiri lazimnya dari membaca buku. World Culture Score
Index 2015 menunjukkan bahwa di negara-negara yang indeks SDMnya di atas
Indonesia, orang dewasa memiliki rata-rata waktu membaca per minggu lebih
banyak. Di Thailand, 9 jam 24 menit per minggu; di Filipina, 7 jam 36 menit; di
Jepang, 10 jam, dan di India, 10 jam 42 menit. Sementara di Indonesia hanya 6
jam per minggu. Hanya 6 jam per minggu. Padahal, membaca itu penting, karena
terkait dengan logika dasar.
Membaca amat ditentukan oleh kebiasaan dan sejak kapan kebiasaan tersebut
ditanamkan. Semakin dini dan semakin sering, maka hasilnya akan semakin bagus.
Di Indonesia, peran pemerintah untuk mulai membiasakan membaca secara mandiri
ternyata selama ini lemah. Survei BPS menunjukkan pada 2013, akses ke fasilitas
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hanya 27 persen. Artinya, 27 dari 100 anak
memang memiliki akses ke PAUD, namun tidak selalu berarti mereka dididik di
sana. Angka ini menunjukkan intervensi pemerintah saat itu pada akses membaca,
kebiasaan membaca dan substansi pendidikan, masih sangat terbatas. Bank Dunia
pada 2018 melakukan sebuah survey. Survey ini menunjukkan bahwa akses PAUD
sudah mencapai 73 persen. Kenaikan signifikan selama lima tahun ini disebabkan
oleh investasi pemerintah yang sejak 2015 gencar membangun infrastruktur PAUD,
yang hingga saat ini sudah terbangun lebih dari 20.000 unit. Artinya ada
perbaikan akses ke fasilitas PAUD, meski belum berarti kurikulum dan pengajar
sudah memiliki kompetensi sebagaimana seharusnya. Upaya ini amat penting
dipahami karena artinya arah kebijakan pembangunan pendidikan lewat PAUD sudah
berada di jalan yang benar, walau sering tenggelam di ruang publik. Pendidikan
usia dini di masa pertumbuhan (usia emas 0-5 tahun) memang sangat penting dalam
menunjang pembentukan mental, karakter dan daya pikir anak-anak, termasuk
kebiasaan membaca.
Tingginya rata-rata waktu membaca mencerminkan inisiatif mandiri individu untuk menambah ilmunya, merangsang kematangan serta kritis berpikir. Ini dapat terwujud apabila kebiasaan membaca dimulai sejak dini dan akses kepada fasilitas untuk membaca diwujudkan. Dalam konteks ini, lewat PAUD, saya kira negara telah hadir memenuhi hak warga negara untuk pendidikan dan membangun masa depan bangsa.
Aspek kedua adalah tata-kelola. Apa yang berantakan dan terbaca di ruang
publik seringkali bukanlah karena arah kebijakan, melainkan semrawutnya
tata-kelola. Bahkan, arena tata-kelola itu lantas jadi amat rentan
dipolitisasi. Contohnya, guru. Kualitas guru amat mempengaruhi kualitas siswa
dan kualitas pendidikan. Peran guru, kata Ki Hadjar Dewantara, adalah “Ing
ngarsa, sung tuladha; ing madya, mangun karsa; tut wuri, handayani.” Saat di
depan ia memberi contoh, saat bersama-sama ia memberi semangat, dan dari
belakang ia memberikan dukungan. Guru memang seharusnya bisa digugu dan ditiru.
Dipercaya dan dicontoh. Sayangnya, tata-kelolanya cenderung diabaikan. Yang
sering diperdebatkan adalah soal pendidikan, penguatan profesi, kompetensi, dan
sertifikasi. Padahal, satu hal terpenting yang harus dikaji adalah rekrutmen.
Data menunjukkan rekrutmen guru meningkat drastis di daerah seputar pemilihan
kepala daerah (pilkada) sejak 2005 hingga 2013 (Bank Dunia, 2014) dan trend ini
masih berlangsung sampai sekarang. Bagi mereka yang kerap terlibat politik
daerah, hal ini bukanlah baru. Namun data ini mengukuhkan dugaan politisasi
rekrutmen guru selama ini.
Pertanyaannya: mengapa profesi guru rentan menjadi arena pemenuhan imbal
jasa politik khususnya di daerah?
Dugaan yang cukup kuat namun masuk akal adalah
karena sejak adanya tunjangan profesi guru, maka rata-rata pendapatan guru
lebih tinggi dari sektor lain. Selain itu, janji politik pengangkatan
para guru yang sebagian besar, atau malah semuanya honorer ini, menjadi PNS.
Padahal, itu di luar kewenangan daerah. Seandainya lonjakan rekrutmen guru ini
dibarengi kualifikasi yang layak, maka sebenarnya tidak jadi soal. Namun,
faktanya tidak demikian. Berbagai kasus menguatkan dugaan bahwa rekrutmen tidak
dilakukan berdasarkan kompetensi, tetapi politis. Permasalahan semakin terlihat
ketika yang sudah direkrut justru tidak ditempatkan di sekolah sebagai
pengajar. Atau, direkrut menjadi guru namun tidak punya kompetensi dasar
sebagai guru. Padahal, UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan agar
guru setidaknya berpendidikan D4 dan memegang sertifikat dari Pendidikan
Profesi Guru (PPG). Ini berarti terjadi inefisiensi belanja negara: pengeluaran
untuk SDM pendidikan membengkak namun tidak disertai dengan meningkatnya
kualitas layanan pendidikan. Akibatnya sekolah dipaksa melakukan rekrutmen guru
honorer untuk mengajar dengan pendanaan sendiri dari Bantuan Operasional
Sekolah (BOS), yang memang diniatkan untuk membantu investasi dan memberikan
layanan pendidikan di sekolah.
Empat hingga tujuh tahun terakhir ini, pemerintah mencoba berbenah.
Pertama, pembenahan data pendidikan pada dan lintas kementerian/lembaga.
Terungkap fakta bahwa jumlah guru sebenarnya sudah lebih dari cukup. Dalam
kurun 2012-2017 guru yang dihasilkan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
(LPTK) mencapai 1,94 juta orang. Saat ini kita memproduksi lebih dari 240.000
guru per tahun, padahal kebutuhannya hanya sekitar 40.000. Selain itu, mereka
tidak terdistribusi merata dan bersertifikat. Situasi ini cermin
(mis)management tata-kelola guru. Pendidikan tinggi keguruan seharusnya
berinovasi agar sarjana pendidikan juga bisa menjadi guru; sedangkan PPG harus
ditingkatkan kapasitas dan kualitasnya.
Kedua, pembenahan tata-kelola anggaran pendidikan. Lebih dari 63 persen
anggaran pendidikan yang sebesar 20 persen APBN merupakan transfer daerah yang
tidak selalu bisa dimonitor penggunaannya apalagi diminta
pertanggungjawabannya. Padahal, pemda punya tanggung jawab menjalankan fungsi
pendidikan. Pemerintah berinisiatif dengan Neraca Pendidikan Daerah (NPD). NPD
adalah satu cara mengejar tanggung jawab ini. Jadi, bagaimana kita menangani
dan mengawasi tata-kelola guru ini? Saat ini sudah ada Pengawas Sekolah, dan
Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) sebagai lembaga yang mengawasi guru dan
sekolah. Namun ini belum optimal karena keterbatasan kapasitas. Jadi, apa
artinya? Selama ini tidak ada mekanisme efektif untuk mengawasi investasi
pemerintah terhadap guru, investasi pemerintah di sekolah, dan investasi
pemerintah di layanan pendidikan. Dan jelaslah ini bukan perkara arah kebijakan,
melainkan tata-kelola.
Tiga atau empat tahun terakhir, Pemerintah mencoba untuk memperbaiki.
Karena itu, pembenahan yang dilakukan pemerintah mesti menyasar proses bisnis
tata-kelola guru dan tenaga kependidikan. Misalnya moratorium pengangkatan guru
PNS, larangan rekrutmen guru honorer menjelang dan sesudah pilkada dengan janji
di-PNS-kan, hingga pembenahan data guru dalam formulasi transfer Dana Alokasi
Umum (DAU). Beberapa proyek percontohan seperti Kinerja dan Akuntabilitas
(KIAT) Guru (2015-sekarang) mencoba memberi solusi terhadap kebutaan pemerintah
atas keberadaan guru serta kualifikasi mereka. Saudara-saudara, perlu kita
pahami bahwa upaya menilik arah kebijakan dan membenahi tata-kelola sektor
pendidikan ini merupakan suatu proses yang hasilnya tidak segera nampak.
Pembenahan baru terjadi empat hingga tujuh tahun terakhir ini. Jika konsisten
diteruskan, hasil yang signifikan mungkin baru akan terasa setelah lima sampai
sepuluh tahun, sedangkan dampaknya mungkin setelah sepuluh tahun, atau malah
lebih. Penyelenggaraan sistem pendidikan memang tanggung jawab pemerintah.
Tetapi keberhasilannya adalah tanggung jawab bersama. Pembenahan sektor
pendidikan ini penting dan banyak hal yang terjadi di dapur layanan pemerintah
tidak bisa dianggap sekedar ‘hanya urusan dapur’. Justru, kunci pembenahan
kebijakan dan tata-kelola adalah ‘dapur’ itu sendiri, yakni proses kerja dan
proses bisnisnya.
Masa depan dunia
terletak di tangan mereka yang terdidik baik. Lewat pendidikan, manusia membentuk
arah sejarah. Keyakinan ini harus terus kita rawat. Pendidikan harus dikawal
kebijakan dan tata-kelolanya karena ia menentukan kualitas keadaban publik (public
civility). Hanya melalui pendidikan, anak-anak kita, atau anak-anak mereka,
akan membentuk arah sejarah dan masa depan bangsa besar ini. Mari kita terus
mendidik diri sendiri dan dengan demikian, mendidik bangsa ini.