TRIBALISME DI ERA DIGITAL
Dinamika
Struktur Sosial
Dalam sejarah
kita melihat adanya beberapa fenomena. Setidaknya ada 3 fenomena yang
mencerminkan bagaimana manusia itu melakukan perjalanan hidup.
Pertama, kita
melihat perjalanan spiritual manusia, itu sudah jalan selama beberapa ribu
tahun dan ini bisa dianggap dalam konteks Organize Religions, yang mana
mereka itu mencari sesuatu dan sesuatu yang dicari itu adalah kenyamanan batin
atau bahkan bisa dianggap salvation (keselamatan), bahkan juga bisa
dianggap redemption, penebusan atau pengampunan dari dosa.
Namun,
akhir-akhir ini banyak dari masyarakat luas di seluruh dunia itu mulai tidak
puas dengan beberapa kemunafikan yang dilakukan oleh beberapa pemimpin yang
semestinya memimpin perjalanan spiritual tersebut, sehingga banyak yang mencari
alternatif-alternatif baru untuk mencapai kenyamanan yang diinginkan, sehingga
kita melihat fenomena kedua dalam beberapa ratus tahun terakhir ini.
Fenomena kedua
ini tercermin dalam perjalanan sosial. politik, dan ekonomi untuk mencari
solusi yang terbaik untuk kepentingan produksi dan juga distribusi untuk setiap
manusia. Bagaimana perekonomian, negara, sistem itu bisa meningkatkan produksi,
bagaimana mereka bisa meningkatkan produktivitas dan bagaimana mereka bisa
meredistribusi produk-produk barang dan jasa semaksimal mungkin dari anggota,
dari negara, atau komunitas tersebut. Ini bisa saja disebut sosialisme,
komunisme, kapitalisme, ataupun liberalisme. Masing-masing beda tapi
ujung-ujungnya adalah bagaimana mereka bisa membuahkan inklusi untuk anggota
dari komunitas terkait. Namun, semakin banyaknya uang yang diciptakan, semakin
banyaknya produksi yang dilakukan, kenaikan inklusi itu tidak
semestinya nyambung dengan penurunan kesenjangan. Nah ini gap yang semakin
kelihatan, di mana banyak sekali komunitas, banyak sekali negara, banyak sekali
perekonomian itu sudah membanggakan diri bahwasanya mereka itu sudah bisa
meningkatkan inklusi keuangan, tapi kok mereka belum bisa membuahkan penurunan
kesenjangan yang berarti. Nah ini sekali lagi membuahkan kegelisahan di
masyarakat luas.
Nah ini
bergeser ke fenomena yang ketiga, di mana kita melihat semenjak akhirnya Perang
Dunia ke-2, dunia ini diwarnai dengan tatanan yang sifatnya itu bipolar, yang
berkuasa dulu hanya dua, apakah itu Uni Soviet ataupun Amerika Serikat yang
mana itu berakhir di tahun 1989 dengan runtuhnya Tembok Berlin dan terjadinya
disintegrasi Uni Soviet yang setelah itu menjadi Rusia di tahun 1991. Tapi
bergeser lagi akhir-akhir ini dengan keberadaan negara-negara besar yang baru
seperti Tiongkok, seperti Rusia, seperti India, Brazil, Afrika Selatan, dan
juga ASEAN sebagai kumpulan dari 10 negara yang terdiri dari 680 juta manusia,
yang mana ukuran ekonomi di ASEAN itu lebih dari 3 triliun dolar, posisi nomor
4 di dunia atau nomor 5 di dunia. Ini adalah cermin dari bagaimana semakin
sulitnya kita untuk melakukan multilateralisasi karena banyak sekali
kawasan-kawasan yang besar dan udah nggak ada satu polisi lagi. Sekarang
polisinya banyak untuk memastikan bahwa masing-masing kawasan itu punya andil.
Mereka memiliki tempat di sana. Jadinya mungkin lebih sulit untuk kita
melakukan Think Globally and Act
Locally atau berfikir secara global dan berperan secara lokal, karena kita
harus memikirkan apa yang lebih berarti untuk diri kita sendiri.
Mungkin saja
pepatah yang lebih berlaku adalah bagaimana kita harus bisa merasakan
penderitaan dunia, terus gimana kita bisa mengambil sikap yang lebih relevan,
lebih berarti untuk komunitas kita sendiri atau Grieve Globally, Act Locally
atau berkoar secara global, berperan secara lokal. Mungkin isu-isu yang kita
harus rasakan secara global itu bisa termasuk dengan kesenjangan atau perubahan
iklim. Tapi kita juga harus bisa memasukkan hal-hal seperti itu dalam konteks
gimana kita bisa mengsolusikan untuk komunitas kita sendiri.
Tiga fenomena
ini cukup menarik, tapi ini cukup niscaya di mana dari awal kita mencari Salvation
and redumption atau penyelamatan dan pengampunan, terus kita mencari
inklusi. Sekarang kita mencari solusi yang lebih komunal atau lebih tribal,
lebih mencerminkan kesukuan dibandingkan mencerminkan globalitas yang mana itu
berlaku untuk beberapa dekade sampai akhir-akhir ini.
Dampak Teknologi Terhadap Interaksi
Secara sosial,
peran teknologi ini niscaya sudah sangat kelihatan dan sangat dirasakan.
Tentunya, medsos itu berdampak terhadap tiga pilar. yang pertama adalah pilar
anak muda. Semenjak ditemukannya tombol like share retweet di tahun 2009 yang
diberlakukan untuk apakah itu Facebook, Twitter, dan juga Instagram, itu hanya
untuk menciptakan viralitas, hanya untuk mencari popularitas. Tapi yang harus
dipahami juga atau disadari adalah bagaimana ini berdampak secara negatif
terhadap society atau komunitas. Jika setiap orang berwenang atas fakta
mereka sendiri, sebenarnya tidak perlu untuk mereka berkumpul. Bahkan,
orang-orang tidak perlu untuk berinteraksi. Kita kurang memiliki kendali atas
siapa diri kita dan apa yang benar-benar kita yakini. Kita melihat bahwasanya
generasi muda sekarang ini adalah generasi yang diasuh oleh Tiktok dan
Instagram. Bagaimana mereka menggunakan HP selama 9 sampai 10 jam, dan
mayoritas dari penggunaan HP tersebut hanya untuk melihat TikTok dan Instagram,
yang mana konten dari dua platform tersebut itu sangat tidak tereditorialisasi.
Ini adalah platform yang disaksikan oleh lebih dari 3 miliar manusia di seluruh
dunia, tapi tidak tereditorialisasi. Jaminan apa untuk kita sebagai orang tua
bahwasanya sampah yang begitu banyak dalam platform tersebut atau konten yang
disajikan oleh platform tersebut, itu tidak disaksikan oleh generasi muda atau
anak-anak kita ataupun cucu-cucu kita. Ini sangat sulit. Dan generasi TikTok
dan Instagram ini, juga sangat lebih suka berkomunikasi satu sama lain. Mereka
tidak terlalu suka berkomunikasi dengan generasi pendahulu kita. Jumlah manusia
yang hidup sekarang anggaplah 7,8 sampai 8 miliar, mereka lebih suka
berkomunikasi satu sama lain di situ. Tapi mereka tidak
terlalu mau berkomunikasi dengan generasi pendahulu kita, di mana secara
kumulatif yang meninggal dunia sampai sekarang di dunia ini kurang lebih 107
miliar manusia. Komunikasi dengan mereka itu disebut sebagai sejarah.
Berkomunikasi dan belajar dari sejarah itu penting sekali untuk meningkatkan
kebijaksanaan kita karena kita bisa belajar dari atribut-atribut yang positif,
tapi juga yang negatif, sehingga kita bisa lebih bijaksana ke depan.
Ini berkorelasi
dengan kasus kecemasan, depresi, dan bahkan suicide atau bunuh diri yang
semakin meningkat di kalangan anak-anak muda. Dan ini mungkin atau kemungkinan
besar berkorelasi dengan bagaimana kita tidak terlalu mengerti atau menyikapi
mengenai apa yang disaksikan oleh anak-anak muda sekarang lewat platform medsos
yang sangat tidak tereditorialisasi.
Pilar kedua
yang terdampak oleh medsos adalah polarisasi percakapan. Bagaimana algoritma
yang disajikan itu bisa mempolarisasi percakapan dan tentunya mempolarisasi
komunitas akademis sehingga banyak yang semakin ke kiri dan banyak yang semakin
ke kanan, sehingga yang semakin hampa adalah sentra ataupun sentralitas. Ini
kurang baik, karena tentunya untuk melakukan proses intelektualisasi, kita
perlu kutub kiri, kutub kanan, dan kutub tengah agar intelektualisasi itu lebih
bijaksana dan lebih kaya ke depan.
Pilar ketiga
yang terdampak oleh medsos adalah
amplifikasi terhadap narasi yang kental dengan kemarahan, kebencian, dan
pertikaian. Ini bagaimana perusahaan-perusahaan teknologi itu terus-menerus
meningkatkan algoritma agar narasi-narasi yang kental dengan kemarahan,
kebencian, dan pertikaian itu terus menerus diamplikasi. Sedangkan
narasi-narasi yang bijaksana, yang sehat itu tidak terampifikasi, sehingga
dalam konteks demokrasi liberal itu semakin timpang antara narasi yang kurang
baik dengan narasi yang jauh lebih baik. Tentunya dengan polarisasi percakapan
yang terjadi dalam konteks demokrasi liberal, ini semakin tidak sehat. Semakin
untuk mencari pemimpin yang cocok, itu semakin dicari apapun yang lebih kaya
dengan viralitas, kaya dengan festivalisasi, kaya dengan sensationalisasi,
bukan kaya dengan intelektualisasi. Ini sangat menjadi kekhawatiran untuk kita
ke depan.
Tentunya kita
hidup di era digital yang kental dengan 4 kekurangan-kekurangan atau kelemahan.
Pertama adalah digital deluge, banjirnya
informasi secara digital yang tidak nyambung dengan the creation of idea
atau pembuahan ide yang positif. Deluge atau banjir secara digital, ini
justru sangat tidak sehat untuk generasi muda ke depan.
Kedua adalah digital distractions,
semakin kita disajikan informasi yang kurang oke, semakin kita terganggu dengan
hal-hal yang kurang oke. Kita tidak bisa focus ke
hal-hal yang lebih oke, lebih sehat, lebih bijaksana.
Ketiga adalah digital dementia, dimana saking kita terlalu
kewalahan dengan informasi digital, kita itu lupa, kita nggak bisa menyadari
mana yang baik, mana yang kurang baik, mana yang sehat, mana yang kurang sehat,
mana yang bijaksana, mana yang kurang bijaksana, mana yang lebih kental dengan
kemarahan, pertikaian, dan kebencian, mana yang kurang.
Terakhir adalah digital deduction,
semakin kita membelenggu diri kita sendiri dengan hal-hal yang kurang sehat di
sosmed atau medsos, semakin kita mereduksi eksistensi kita. Banyak sekali di
kalangan anak-anak muda sekarang itu yang tidak suka lagi baca buku. Mereka
lebih memilih untuk membatasi dirinya itu di bawah 280 karakter. Apakah itu
lewat Twitter, Facebook, TikTok, Instagram, sehingga ini kelihatan digital
deluge, digital distractions, digital dementia dan digital deduction,
sebagai hal-hal di era digital yang sangat harus disikapi ke depan.
Kedua, mungkin kita membiasakan diri untuk menarasikan narasi-narasi
yang lebih relevan untuk kesehatan jiwa dan raga generasi yang muda sekarang
dan generasi penerus mereka.
Ketiga, mungkin kita harus membiasakan diri untuk lebih melihat konten yang terkurasi atau tereditorialisasi, bahkan kalau perlu kita membiasakan diri untuk berperan dalam proses editorialisasi atau kurasi terhadap konten-konten yang semena-mena disajikan lewat platform digital tersebut.