TRIBALISME DI ERA DIGITAL

 TRIBALISME DI ERA DIGITAL


Kita melihat bahwasanya generasi muda sekarang ini adalah generasi yang diasuh oleh Tik Tok dan Instagram. Ini berkorelasi dengan kasus kecemasan, depresi, dan bahkan suicide atau bunuh diri yang semakin meningkat di kalangan anak-anak muda. Jadinya mungkin lebih sulit untuk kita melakukan Think Globally, and Act Locally atau berpikir secara global dan berperan secara lokal.


Dinamika Struktur Sosial

Dalam sejarah kita melihat adanya beberapa fenomena. Setidaknya ada 3 fenomena yang mencerminkan bagaimana manusia itu melakukan perjalanan hidup.

Pertama, kita melihat perjalanan spiritual manusia, itu sudah jalan selama beberapa ribu tahun dan ini bisa dianggap dalam konteks Organize Religions, yang mana mereka itu mencari sesuatu dan sesuatu yang dicari itu adalah kenyamanan batin atau bahkan bisa dianggap salvation (keselamatan), bahkan juga bisa dianggap redemption, penebusan atau pengampunan dari dosa.

Namun, akhir-akhir ini banyak dari masyarakat luas di seluruh dunia itu mulai tidak puas dengan beberapa kemunafikan yang dilakukan oleh beberapa pemimpin yang semestinya memimpin perjalanan spiritual tersebut, sehingga banyak yang mencari alternatif-alternatif baru untuk mencapai kenyamanan yang diinginkan, sehingga kita melihat fenomena kedua dalam beberapa ratus tahun terakhir ini.

Fenomena kedua ini tercermin dalam perjalanan sosial. politik, dan ekonomi untuk mencari solusi yang terbaik untuk kepentingan produksi dan juga distribusi untuk setiap manusia. Bagaimana perekonomian, negara, sistem itu bisa meningkatkan produksi, bagaimana mereka bisa meningkatkan produktivitas dan bagaimana mereka bisa meredistribusi produk-produk barang dan jasa semaksimal mungkin dari anggota, dari negara, atau komunitas tersebut. Ini bisa saja disebut sosialisme, komunisme, kapitalisme, ataupun liberalisme. Masing-masing beda tapi ujung-ujungnya adalah bagaimana mereka bisa membuahkan inklusi untuk anggota dari komunitas terkait. Namun, semakin banyaknya uang yang diciptakan, semakin banyaknya produksi yang dilakukan, kenaikan inklusi itu tidak semestinya nyambung dengan penurunan kesenjangan. Nah ini gap yang semakin kelihatan, di mana banyak sekali komunitas, banyak sekali negara, banyak sekali perekonomian itu sudah membanggakan diri bahwasanya mereka itu sudah bisa meningkatkan inklusi keuangan, tapi kok mereka belum bisa membuahkan penurunan kesenjangan yang berarti. Nah ini sekali lagi membuahkan kegelisahan di masyarakat luas.

Nah ini bergeser ke fenomena yang ketiga, di mana kita melihat semenjak akhirnya Perang Dunia ke-2, dunia ini diwarnai dengan tatanan yang sifatnya itu bipolar, yang berkuasa dulu hanya dua, apakah itu Uni Soviet ataupun Amerika Serikat yang mana itu berakhir di tahun 1989 dengan runtuhnya Tembok Berlin dan terjadinya disintegrasi Uni Soviet yang setelah itu menjadi Rusia di tahun 1991. Tapi bergeser lagi akhir-akhir ini dengan keberadaan negara-negara besar yang baru seperti Tiongkok, seperti Rusia, seperti India, Brazil, Afrika Selatan, dan juga ASEAN sebagai kumpulan dari 10 negara yang terdiri dari 680 juta manusia, yang mana ukuran ekonomi di ASEAN itu lebih dari 3 triliun dolar, posisi nomor 4 di dunia atau nomor 5 di dunia. Ini adalah cermin dari bagaimana semakin sulitnya kita untuk melakukan multilateralisasi karena banyak sekali kawasan-kawasan yang besar dan udah nggak ada satu polisi lagi. Sekarang polisinya banyak untuk memastikan bahwa masing-masing kawasan itu punya andil. Mereka memiliki tempat di sana. Jadinya mungkin lebih sulit untuk kita melakukan  Think Globally and Act Locally atau berfikir secara global dan berperan secara lokal, karena kita harus memikirkan apa yang lebih berarti untuk diri kita sendiri.

Mungkin saja pepatah yang lebih berlaku adalah bagaimana kita harus bisa merasakan penderitaan dunia, terus gimana kita bisa mengambil sikap yang lebih relevan, lebih berarti untuk komunitas kita sendiri atau Grieve Globally, Act Locally atau berkoar secara global, berperan secara lokal. Mungkin isu-isu yang kita harus rasakan secara global itu bisa termasuk dengan kesenjangan atau perubahan iklim. Tapi kita juga harus bisa memasukkan hal-hal seperti itu dalam konteks gimana kita bisa mengsolusikan untuk komunitas kita sendiri.

Tiga fenomena ini cukup menarik, tapi ini cukup niscaya di mana dari awal kita mencari Salvation and redumption atau penyelamatan dan pengampunan, terus kita mencari inklusi. Sekarang kita mencari solusi yang lebih komunal atau lebih tribal, lebih mencerminkan kesukuan dibandingkan mencerminkan globalitas yang mana itu berlaku untuk beberapa dekade sampai akhir-akhir ini.

 

Dampak Teknologi Terhadap Interaksi

Secara sosial, peran teknologi ini niscaya sudah sangat kelihatan dan sangat dirasakan. Tentunya, medsos itu berdampak terhadap tiga pilar. yang pertama adalah pilar anak muda. Semenjak ditemukannya tombol like share retweet di tahun 2009 yang diberlakukan untuk apakah itu Facebook, Twitter, dan juga Instagram, itu hanya untuk menciptakan viralitas, hanya untuk mencari popularitas. Tapi yang harus dipahami juga atau disadari adalah bagaimana ini berdampak secara negatif terhadap society atau komunitas. Jika setiap orang berwenang atas fakta mereka sendiri, sebenarnya tidak perlu untuk mereka berkumpul. Bahkan, orang-orang tidak perlu untuk berinteraksi. Kita kurang memiliki kendali atas siapa diri kita dan apa yang benar-benar kita yakini. Kita melihat bahwasanya generasi muda sekarang ini adalah generasi yang diasuh oleh Tiktok dan Instagram. Bagaimana mereka menggunakan HP selama 9 sampai 10 jam, dan mayoritas dari penggunaan HP tersebut hanya untuk melihat TikTok dan Instagram, yang mana konten dari dua platform tersebut itu sangat tidak tereditorialisasi. Ini adalah platform yang disaksikan oleh lebih dari 3 miliar manusia di seluruh dunia, tapi tidak tereditorialisasi. Jaminan apa untuk kita sebagai orang tua bahwasanya sampah yang begitu banyak dalam platform tersebut atau konten yang disajikan oleh platform tersebut, itu tidak disaksikan oleh generasi muda atau anak-anak kita ataupun cucu-cucu kita. Ini sangat sulit. Dan generasi TikTok dan Instagram ini, juga sangat lebih suka berkomunikasi satu sama lain. Mereka tidak terlalu suka berkomunikasi dengan generasi pendahulu kita. Jumlah manusia yang hidup sekarang anggaplah 7,8 sampai 8 miliar, mereka lebih suka berkomunikasi satu sama lain di situ. Tapi mereka tidak terlalu mau berkomunikasi dengan generasi pendahulu kita, di mana secara kumulatif yang meninggal dunia sampai sekarang di dunia ini kurang lebih 107 miliar manusia. Komunikasi dengan mereka itu disebut sebagai sejarah. Berkomunikasi dan belajar dari sejarah itu penting sekali untuk meningkatkan kebijaksanaan kita karena kita bisa belajar dari atribut-atribut yang positif, tapi juga yang negatif, sehingga kita bisa lebih bijaksana ke depan.

Ini berkorelasi dengan kasus kecemasan, depresi, dan bahkan suicide atau bunuh diri yang semakin meningkat di kalangan anak-anak muda. Dan ini mungkin atau kemungkinan besar berkorelasi dengan bagaimana kita tidak terlalu mengerti atau menyikapi mengenai apa yang disaksikan oleh anak-anak muda sekarang lewat platform medsos yang sangat tidak tereditorialisasi.

Pilar kedua yang terdampak oleh medsos adalah polarisasi percakapan. Bagaimana algoritma yang disajikan itu bisa mempolarisasi percakapan dan tentunya mempolarisasi komunitas akademis sehingga banyak yang semakin ke kiri dan banyak yang semakin ke kanan, sehingga yang semakin hampa adalah sentra ataupun sentralitas. Ini kurang baik, karena tentunya untuk melakukan proses intelektualisasi, kita perlu kutub kiri, kutub kanan, dan kutub tengah agar intelektualisasi itu lebih bijaksana dan lebih kaya ke depan.

Pilar ketiga yang terdampak oleh medsos adalah  amplifikasi terhadap narasi yang kental dengan kemarahan, kebencian, dan pertikaian. Ini bagaimana perusahaan-perusahaan teknologi itu terus-menerus meningkatkan algoritma agar narasi-narasi yang kental dengan kemarahan, kebencian, dan pertikaian itu terus menerus diamplikasi. Sedangkan narasi-narasi yang bijaksana, yang sehat itu tidak terampifikasi, sehingga dalam konteks demokrasi liberal itu semakin timpang antara narasi yang kurang baik dengan narasi yang jauh lebih baik. Tentunya dengan polarisasi percakapan yang terjadi dalam konteks demokrasi liberal, ini semakin tidak sehat. Semakin untuk mencari pemimpin yang cocok, itu semakin dicari apapun yang lebih kaya dengan viralitas, kaya dengan festivalisasi, kaya dengan sensationalisasi, bukan kaya dengan intelektualisasi. Ini sangat menjadi kekhawatiran untuk kita ke depan.

Tentunya kita hidup di era digital yang kental dengan 4 kekurangan-kekurangan atau kelemahan.

Pertama adalah digital deluge, banjirnya informasi secara digital yang tidak nyambung dengan the creation of idea atau pembuahan ide yang positif. Deluge atau banjir secara digital, ini justru sangat tidak sehat untuk generasi muda ke depan.

Kedua adalah digital distractions, semakin kita disajikan informasi yang kurang oke, semakin kita terganggu dengan hal-hal yang kurang oke. Kita tidak bisa focus ke hal-hal yang lebih oke, lebih sehat, lebih bijaksana.

Ketiga adalah digital dementia, dimana saking kita terlalu kewalahan dengan informasi digital, kita itu lupa, kita nggak bisa menyadari mana yang baik, mana yang kurang baik, mana yang sehat, mana yang kurang sehat, mana yang bijaksana, mana yang kurang bijaksana, mana yang lebih kental dengan kemarahan, pertikaian, dan kebencian, mana yang kurang.

Terakhir adalah digital deduction, semakin kita membelenggu diri kita sendiri dengan hal-hal yang kurang sehat di sosmed atau medsos, semakin kita mereduksi eksistensi kita. Banyak sekali di kalangan anak-anak muda sekarang itu yang tidak suka lagi baca buku. Mereka lebih memilih untuk membatasi dirinya itu di bawah 280 karakter. Apakah itu lewat Twitter, Facebook, TikTok, Instagram, sehingga ini kelihatan digital deluge, digital distractions, digital dementia dan digital deduction, sebagai hal-hal di era digital yang sangat harus disikapi ke depan.




        Ujung-ujungnya, gimana kita bisa menciptakan hygiene digital atau kebersihan secara digital. Saya
belum tahu, saya belum punya resepnya. Tapi mungkin yang bisa dipertimbangkan adalah mungkin kita melihat HP tidak sebanyak sebelum-sebelumnya untuk bagaimana kita bisa menditoksifikasi diri dari banyak hal yang buruk sekali yang ada di HP kita. Mungkin jangan 9 jam, jangan 10 jam, dikurangi saja.

Kedua, mungkin kita membiasakan diri untuk menarasikan narasi-narasi yang lebih relevan untuk kesehatan jiwa dan raga generasi yang muda sekarang dan generasi penerus mereka.

Ketiga, mungkin kita harus membiasakan diri untuk lebih melihat konten yang terkurasi atau tereditorialisasi, bahkan kalau perlu kita membiasakan diri untuk berperan dalam proses editorialisasi atau kurasi terhadap konten-konten yang semena-mena disajikan lewat platform digital tersebut.



Pendidikan. Lewat Pendidikan, Manusia Membentuk Arah Sejarah.

  


        P
endidikan memang tak pernah basi dibicarakan, apalagi diperdebatkan. Barangkali, karena untuk setiap masalah yang terjadi di republik ini, pendidikan selalu dituduh sebagai salah satu penyebab utamanya. Mulai dari merebaknya hoaks, kohesi sosial dan kualitas hidup yang rendah, hingga minimnya daya saing dan produktivitas bangsa. Tuduhan di atas amat mendasar. Meski, beberapa indikator capaian pendidikan kita sebenarnya meningkat. Misalnya, skor Indeks Sumber Daya Manusia (Human Capital Index) 2018 untuk komponen kualitas dan kuantitas pendidikan meningkat. Indonesia unggul dari negara-negara Asia Timur, Asia Selatan, Timur Tengah, Amerika Latin dan Afrika namun masih di bawah negara-negara Asia Pasifik seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina (Siaran Pers HCI Kemenkeu, 2018). Namun, hasil pendidikan kita secara umum masih saja dirasakan tidak memuaskan.

Penelitian SMERU dalam program ‘Research on Improving Systems of Education’ (RISE) 2021 ini mencoba melakukan analisis profil pembelajaran anak di Indonesia. Riset ini memetakan kemampuan berhitung siswa menggunakan data Survei Kehidupan Keluarga Indonesia (IFLS) selama periode 2000–2014. Sedihnya, ditemukan beberapa tren buruk dalam catatan pendidikan nasional: hasil belajar anak Indonesia pada 2014 lebih rendah dari tahun 2000.

Pertama, masih banyak anak sekolah yang tidak mampu menjawab soal berhitung yang seharusnya sudah mereka kuasai di jenjang kelas yang lebih rendah. Misalnya, hanya dua pertiga anak di jenjang kelas 3 yang mampu menjawab pertanyaan “berapa 49-23” secara tepat. Padahal, ini setara dengan kemampuan berhitung untuk anak di jenjang kelas 1. Hanya sekitar 35% siswa di jenjang kelas 12 yang mampu menjawab dengan benar pertanyaan tingkat kelas 5 terkait penghitungan bunga uang – artinya tujuh jenjang di bawah level mereka.

Kedua, peningkatan kemampuan anak semakin mengecil seiring naik jenjang kelas yang ditempuh. Anak mengalami peningkatan kemampuan berhitung yang signifikan pada jenjang kelas 1 sampai dengan kelas 6. Jadi dari kelas 1 sampai kelas 6, kemampuan berhitung naik pesat. Namun, tren peningkatan ini melambat dan menjadi cenderung datar setelah memasuki jenjang kelas 7 ke atas. Kemampuan anak tidak mengalami peningkatan yang signifikan ketika dia beranjak remaja dan belajar di jenjang sekolah menengah pertama (SMP) maupun sekolah menengah atas (SMA).

Ketiga, kemampuan berhitung anak pada tahun 2000 relatif lebih tinggi dibandingkan anak di jenjang yang sama 14 tahun kemudian. Capaian anak di setiap jenjang pada 2014 secara konsisten berada di bawah capaian tahun 2000. Ini berlaku baik bagi kelompok anak yang bersekolah, maupun anak yang tidak bersekolah. Artinya, setidaknya selama tahun 2000 hingga 2014, capaian pendidikan anak di Indonesia justru mengalami penurunan.

Tentu pertanyaan besarnya: Mengapa?

Sebelum mengulas lebih jauh, ada beda antara pendidikan (education) dan persekolahan (schooling). Untuk menjadi terdidik, orang tidak selalu harus tersekolahkan. Namun demi kesederhanaan pemahaman, istilah pendidikan di sini mengacu pada pendidikan formal, di mana persekolahan menjadi jantungnya. Diskusi tentang pendidikan biasanya berkisar pada hasil atau dampak pendidikan dan meminggirkan aspek proses. Kalaupun ada, fokusnya pada topik-topik seputar kurikulum, peran guru dan orang tua, partisipasi murid di kelas atau hal-hal lainnya yang dirasa penting untuk meningkatkan prestasi secara langsung. Padahal, menelisik proses manajemen investasi pemerintah di bidang pendidikan itu hal yang penting.

Perdebatannya: apakah ini perkara kebijakan atau tata kelola?

Arah kebijakan pendidikan Pendidikan adalah hak setiap warga negara. Negara bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan serta menentukan arah kebijakannya. Setelah amanat UU 20/2003 agar 20 persen APBN dialokasikan untuk pendidikan, beberapa pekerjaan di ‘dapur’ layanan pendidikan menunjukkan adanya perubahan-perubahan penting meski mungkin tidak banyak diketahui umum. Misalnya kebijakan untuk mendorong proses belajar mandiri semenjak dini. Ini hulu persoalan pendidikan yang dampaknya kita hadapi di hilir. Dua indikator yang sering dirujuk, Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Programme for International Student Assessment (PISA), keduanya ini mencerminkan kemampuan belajar siswa. Keduanya memang menempatkan Indonesia pada posisi tidak terlalu membanggakan, tapi bukan itu soalnya. Karena kedua indikator itu berorientasi pada hasil pendidikan, saya mencari indikator yang lebih mendasar, lebih universal, dan berorientasi pada proses, yakni rata-rata waktu membaca orang dewasa per minggu. Sekali lagi, rata-rata waktu membaca orang dewasa per minggu. Indikator ini penting mengingat bahwa ilmu yang didapatkan secara mandiri lazimnya dari membaca buku. World Culture Score Index 2015 menunjukkan bahwa di negara-negara yang indeks SDMnya di atas Indonesia, orang dewasa memiliki rata-rata waktu membaca per minggu lebih banyak. Di Thailand, 9 jam 24 menit per minggu; di Filipina, 7 jam 36 menit; di Jepang, 10 jam, dan di India, 10 jam 42 menit. Sementara di Indonesia hanya 6 jam per minggu. Hanya 6 jam per minggu. Padahal, membaca itu penting, karena terkait dengan logika dasar.

Membaca amat ditentukan oleh kebiasaan dan sejak kapan kebiasaan tersebut ditanamkan. Semakin dini dan semakin sering, maka hasilnya akan semakin bagus. Di Indonesia, peran pemerintah untuk mulai membiasakan membaca secara mandiri ternyata selama ini lemah. Survei BPS menunjukkan pada 2013, akses ke fasilitas Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hanya 27 persen. Artinya, 27 dari 100 anak memang memiliki akses ke PAUD, namun tidak selalu berarti mereka dididik di sana. Angka ini menunjukkan intervensi pemerintah saat itu pada akses membaca, kebiasaan membaca dan substansi pendidikan, masih sangat terbatas. Bank Dunia pada 2018 melakukan sebuah survey. Survey ini menunjukkan bahwa akses PAUD sudah mencapai 73 persen. Kenaikan signifikan selama lima tahun ini disebabkan oleh investasi pemerintah yang sejak 2015 gencar membangun infrastruktur PAUD, yang hingga saat ini sudah terbangun lebih dari 20.000 unit. Artinya ada perbaikan akses ke fasilitas PAUD, meski belum berarti kurikulum dan pengajar sudah memiliki kompetensi sebagaimana seharusnya. Upaya ini amat penting dipahami karena artinya arah kebijakan pembangunan pendidikan lewat PAUD sudah berada di jalan yang benar, walau sering tenggelam di ruang publik. Pendidikan usia dini di masa pertumbuhan (usia emas 0-5 tahun) memang sangat penting dalam menunjang pembentukan mental, karakter dan daya pikir anak-anak, termasuk kebiasaan membaca.

Tingginya rata-rata waktu membaca mencerminkan inisiatif mandiri individu untuk menambah ilmunya, merangsang kematangan serta kritis berpikir. Ini dapat terwujud apabila kebiasaan membaca dimulai sejak dini dan akses kepada fasilitas untuk membaca diwujudkan. Dalam konteks ini, lewat PAUD, saya kira negara telah hadir memenuhi hak warga negara untuk pendidikan dan membangun masa depan bangsa.


Aspek kedua adalah tata-kelola. Apa yang berantakan dan terbaca di ruang publik seringkali bukanlah karena arah kebijakan, melainkan semrawutnya tata-kelola. Bahkan, arena tata-kelola itu lantas jadi amat rentan dipolitisasi. Contohnya, guru. Kualitas guru amat mempengaruhi kualitas siswa dan kualitas pendidikan. Peran guru, kata Ki Hadjar Dewantara, adalah “Ing ngarsa, sung tuladha; ing madya, mangun karsa; tut wuri, handayani.” Saat di depan ia memberi contoh, saat bersama-sama ia memberi semangat, dan dari belakang ia memberikan dukungan. Guru memang seharusnya bisa digugu dan ditiru. Dipercaya dan dicontoh. Sayangnya, tata-kelolanya cenderung diabaikan. Yang sering diperdebatkan adalah soal pendidikan, penguatan profesi, kompetensi, dan sertifikasi. Padahal, satu hal terpenting yang harus dikaji adalah rekrutmen. Data menunjukkan rekrutmen guru meningkat drastis di daerah seputar pemilihan kepala daerah (pilkada) sejak 2005 hingga 2013 (Bank Dunia, 2014) dan trend ini masih berlangsung sampai sekarang. Bagi mereka yang kerap terlibat politik daerah, hal ini bukanlah baru. Namun data ini mengukuhkan dugaan politisasi rekrutmen guru selama ini.

Pertanyaannya: mengapa profesi guru rentan menjadi arena pemenuhan imbal jasa politik khususnya di daerah?

 Dugaan yang cukup kuat namun masuk akal adalah karena sejak adanya tunjangan profesi guru, maka rata-rata pendapatan guru lebih tinggi dari sektor lain. Selain itu, janji politik pengangkatan para guru yang sebagian besar, atau malah semuanya honorer ini, menjadi PNS. Padahal, itu di luar kewenangan daerah. Seandainya lonjakan rekrutmen guru ini dibarengi kualifikasi yang layak, maka sebenarnya tidak jadi soal. Namun, faktanya tidak demikian. Berbagai kasus menguatkan dugaan bahwa rekrutmen tidak dilakukan berdasarkan kompetensi, tetapi politis. Permasalahan semakin terlihat ketika yang sudah direkrut justru tidak ditempatkan di sekolah sebagai pengajar. Atau, direkrut menjadi guru namun tidak punya kompetensi dasar sebagai guru. Padahal, UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan agar guru setidaknya berpendidikan D4 dan memegang sertifikat dari Pendidikan Profesi Guru (PPG). Ini berarti terjadi inefisiensi belanja negara: pengeluaran untuk SDM pendidikan membengkak namun tidak disertai dengan meningkatnya kualitas layanan pendidikan. Akibatnya sekolah dipaksa melakukan rekrutmen guru honorer untuk mengajar dengan pendanaan sendiri dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS), yang memang diniatkan untuk membantu investasi dan memberikan layanan pendidikan di sekolah.

Empat hingga tujuh tahun terakhir ini, pemerintah mencoba berbenah. Pertama, pembenahan data pendidikan pada dan lintas kementerian/lembaga. Terungkap fakta bahwa jumlah guru sebenarnya sudah lebih dari cukup. Dalam kurun 2012-2017 guru yang dihasilkan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) mencapai 1,94 juta orang. Saat ini kita memproduksi lebih dari 240.000 guru per tahun, padahal kebutuhannya hanya sekitar 40.000. Selain itu, mereka tidak terdistribusi merata dan bersertifikat. Situasi ini cermin (mis)management tata-kelola guru. Pendidikan tinggi keguruan seharusnya berinovasi agar sarjana pendidikan juga bisa menjadi guru; sedangkan PPG harus ditingkatkan kapasitas dan kualitasnya.

Kedua, pembenahan tata-kelola anggaran pendidikan. Lebih dari 63 persen anggaran pendidikan yang sebesar 20 persen APBN merupakan transfer daerah yang tidak selalu bisa dimonitor penggunaannya apalagi diminta pertanggungjawabannya. Padahal, pemda punya tanggung jawab menjalankan fungsi pendidikan. Pemerintah berinisiatif dengan Neraca Pendidikan Daerah (NPD). NPD adalah satu cara mengejar tanggung jawab ini. Jadi, bagaimana kita menangani dan mengawasi tata-kelola guru ini? Saat ini sudah ada Pengawas Sekolah, dan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) sebagai lembaga yang mengawasi guru dan sekolah. Namun ini belum optimal karena keterbatasan kapasitas. Jadi, apa artinya? Selama ini tidak ada mekanisme efektif untuk mengawasi investasi pemerintah terhadap guru, investasi pemerintah di sekolah, dan investasi pemerintah di layanan pendidikan. Dan jelaslah ini bukan perkara arah kebijakan, melainkan tata-kelola.

Tiga atau empat tahun terakhir, Pemerintah mencoba untuk memperbaiki. Karena itu, pembenahan yang dilakukan pemerintah mesti menyasar proses bisnis tata-kelola guru dan tenaga kependidikan. Misalnya moratorium pengangkatan guru PNS, larangan rekrutmen guru honorer menjelang dan sesudah pilkada dengan janji di-PNS-kan, hingga pembenahan data guru dalam formulasi transfer Dana Alokasi Umum (DAU). Beberapa proyek percontohan seperti Kinerja dan Akuntabilitas (KIAT) Guru (2015-sekarang) mencoba memberi solusi terhadap kebutaan pemerintah atas keberadaan guru serta kualifikasi mereka. Saudara-saudara, perlu kita pahami bahwa upaya menilik arah kebijakan dan membenahi tata-kelola sektor pendidikan ini merupakan suatu proses yang hasilnya tidak segera nampak. Pembenahan baru terjadi empat hingga tujuh tahun terakhir ini. Jika konsisten diteruskan, hasil yang signifikan mungkin baru akan terasa setelah lima sampai sepuluh tahun, sedangkan dampaknya mungkin setelah sepuluh tahun, atau malah lebih. Penyelenggaraan sistem pendidikan memang tanggung jawab pemerintah. Tetapi keberhasilannya adalah tanggung jawab bersama. Pembenahan sektor pendidikan ini penting dan banyak hal yang terjadi di dapur layanan pemerintah tidak bisa dianggap sekedar ‘hanya urusan dapur’. Justru, kunci pembenahan kebijakan dan tata-kelola adalah ‘dapur’ itu sendiri, yakni proses kerja dan proses bisnisnya.

Masa depan dunia terletak di tangan mereka yang terdidik baik. Lewat pendidikan, manusia membentuk arah sejarah. Keyakinan ini harus terus kita rawat. Pendidikan harus dikawal kebijakan dan tata-kelolanya karena ia menentukan kualitas keadaban publik (public civility). Hanya melalui pendidikan, anak-anak kita, atau anak-anak mereka, akan membentuk arah sejarah dan masa depan bangsa besar ini. Mari kita terus mendidik diri sendiri dan dengan demikian, mendidik bangsa ini.

 

Merdeka dari Apa dan Merdeka untuk Apa.



Peringatan kemerdekaan 17 Agustus selalu ditandai dengan beragam perayaan dari Jakarta hingga ke pelosok desa. Seringkali riuhnya seremoni membuat kita jarang punya ruang untuk merenung dan berefleksi. Padahal ada pertanyaan kunci: sesudah merdeka, lalu mau apa? Pertanyaan ini seolah sederhana, namun tidak selalu mudah menjawabnya.

Kemerdekaan punya dua aspek pokok: merdeka dari apa; dan merdeka untuk apa.

Semua tahu kita sudah merdeka dari masalah utama dahulu kala, yaitu penjajahan. Tapi apakah kita juga sudah merdeka dari masalah kita saat ini: kemiskinan, ketimpangan sosial-ekonomi, kebodohan, ketidakadilan, rusaknya alam, korupsi, merosotnya demokrasi, dan menyempitnya ruang gerak sipil, serta berbagai soal lainnya. Itu mengapa kita mesti peka akan aspek kedua: merdeka untuk apa.

Kemerdekaan memberi kita ruang untuk mengejar kepenuhan harkat dan martabat sebagai manusia dan bangsa. Seluruh mandat konstitusi republik ini adalah mandat untuk menjunjung tinggi sekaligus memastikan pemenuhan harkat dan martabat tersebut. Petikan dari Pembukaan UUD 1945:

“Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Diusia yang menginjak tahun ke-77—ini bukan usia lanjut, tapi juga bukan ‘anak kemarin sore’ untuk sebuah negara—sejumlah kemajuan di berbagai bidang dan aspek kehidupan memang sudah kita capai. Mencanangkan tekad menjadi ekonomi terkuat nomor empat atau lima sejagad pada tahun 2045 nanti, Indonesia menunjukkan kerja kerasnya dengan sejumlah hasilnya. Sebut saja pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil meski sempat terpuruk didera pandemi, pembangunan infrastruktur fisik yang menjangkau sudut-sudut negeri, sejumlah prestasi pembangunan dan kemampuan bersaing yang makin mengglobal, dan masih banyak lagi. Tapi, negeri ini juga masih dihadapkan pada fragmentasi yang terjadi baik karena politik identitas berbasis agama, maupun tarik-ulur kekuasaan penuh ambisi tanpa nurani. Di negeri yang masih mencoba sembuh dari pandemi dan membenahi diri ini, sebagian rakyatnya justru ragu akan masa depan apalagi setelah Pemilu 2024 nanti. Ditambah berbagai tantangan pembangunan seperti kemiskinan dan ketimpangan sosial-ekonomi, maka makin mendesak untuk menjawab panggilan memastikan kepenuhan dan pemenuhan harkat dan martabat manusia dan bangsa Indonesia. Karena itu, tugas besar sebagai bagian dari anak bangsa di zaman ini bagi kita adalah mengambil bagian dalam upaya merawat optimisme kemerdekaan tersebut.

Pertama, membangun pemahaman akan kemerdekaan dalam konteks kita masing-masing, artinya; lingkungan, tempat tinggal, tempat bekerja dan berkarya, organisasi, dan lain sebagainya. Pemahaman ini akan membantu kita mengerti masalah dan tantangan yang dihadapi dan membangun kesadaran kita untuk bertindak dalam konteks tersebut dalam solidaritas dengan yang lain. Kemiskinan dan ketimpangan seperti apa yang ada di sekitarku? Kerusakan lingkungan seperti apa yang terjadi di wilayahku? Pengekangan kebebasan sipil apa yang terjadi di sekitar diriku? Apakah aku ikut merasakan dampaknya? Apakah aku terlibat di dalam upaya mengatasinya?

Kedua, memulai dari diri kita sendiri untuk menembus batas-batas yang selama ini membelenggu; sekat sosial-budaya, agama-kepercayaan, latar belakang ekonomi, profesi, geografi, institusi, bahkan sekat usia, dan lain sebagainya. Pendeknya, semua sekat yang tercipta akibat konstruksi sosial yang membuat orang harus merasa berbeda dengan yang lain. Sekat-sekat ini mesti ditembus untuk bisa bekerjasama. Karena itu mulailah bekerjasama dan berkolaborasi dengan semua pihak yang punya niat baik di sekitar diri kita. Semua pihak—siapapun dia, apapun agama dan keyakinannya, apapun latar belakang sosial-ekonominya, seperti apapun pandangan politiknya—selama ia bersepakat dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mau ikut menjunjung harkat-martabat warga dan bangsanya, bekerjasamalah dengannya. Hanya dengan solidaritas, kerjasama, dan kolaborasi dengan semua orang yang berkehendak baik untuk menjaga harkat dan martabat negeri ini, kita bisa memastikan republik ini terus tegak berdiri, kini dan selamanya nanti. Merdeka!

 

Intellectual Curiosity

 




                Beberapa waktu yang lalu kita pernah membahas tentang  prestasi yang diraih oleh umat manusia. Salah satu Matrix yang merupakan manifestasi dari beberapa prestasi itu adalah penghargaan Nobel. Ini adalah penghargaan Internasional tahunan yang diberikan kepada mereka yang telah memberikan kontribusi ataupun manfaat besar bagi umat manusia dalam bidang fisika, kimia, kedokteran, literatur, perdamaian, dan ekonomi. Penghargaan ini dimulai oleh Alfred Nobel, seorang ahli kimia dan juga industrialis dari Swedia yang terkenal karena penemuan dinamit pada tahun 1901. Tentunya setiap pemenang selama ini menerima medali emas, Diploma, dan penghargaan uang yang sangat berarti.

 

                Apabila kita buka password tahun 2021, yaitu selama 120 tahun, penghargaan Nobel telah diberikan kepada 975 pemenang baik individu maupun organisasi. Dari 975 pemenang tersebut itu ada 344 pemenang dalam bidang non sains dan 631 pemenang dalam bidang sains. Jadinya kurang lebih sains itu 65% dan non-sains 35%.

                

                Kalau kita kupas lagi dalam konteks sains, ada beberapa bagian dari populasi dunia yang sudah memenangkan hadiah Nobel. Kalau kita lihat dalam konteks pemenang Nobel di Bidang sains dari sisi kepercayaan atau keyakinan, kaum Nasrani yang merupakan kurang lebih 32% dari populasi dunia, maka jumlah kaum Nasrani itu kurang lebih 2,4 sampai 2,5 miliar, mereka telah memenangkan lebih dari 66% dari total hadiah Nobel dalam bidang sains. Sedangkan kaum muslim atau Islam yang mana populasi muslim di dunia itu kurang lebih 1,8 miliar atau 24% dari populasi dunia, mereka baru memenangkan hanya 0,5% dari total hadiah Nobel yang telah diberikan selama 120 tahun terakhir ini. Kaum Hindu mereka hanya memenangkan 0,6% dari total hadiah Nobel. Sedangkan kaum Yahudi yang jumlah populasinya itu tidak lebih dari 20 juta dalam konteks populasi 7,8 miliar di dunia, mereka sudah memenangkan cukup banyak. Lebih Dari 23% dari total hadiah Nobel yang telah diberikan dalam bidang sains selama 120 tahun.

 

                Ini merupakan catatan, dan catatan ini agak bertolak belakang atau berbeda dengan apa yang kita ketahui mungkin dalam konteks kejayaan Islam di abad ke-8 sampai abad ke-13. Apabila kita ditanya mengenai ilmuwan-ilmuwan yang terkenal kita kurang mengenal nama-nama yang datang dari zaman kejayaan Islam, yang jauh lebih dikenal adalah nama-nama ilmuwan seperti Isac Newton, Aristoteles, Albert Eistein, dan Charles Darwin. Dan mereka yang cukup terkenal dan sangat berjaya dalam beberapa ratus tahun terakhir ini. Tapi kalau kita melihat sejarah, bahkan mengacu ke sistem bilangan atau angka yang dipakai oleh seluruh dunia  hari ini berbasiskan sistem bilangan Arab yang ditemukan lebih dari 1000 tahun yang lalu dan ini juga mendapat bantuan dari ilmu-ilmu yang datang dari India dan tempat-tempat lainnya. Bahkan kalau kita lihat nama-nama dari bintang-bintang yang ada yang sudah diberikan nama dalam galaksi Milky Way, itu lebih dari 2/3 dari nama-nama yang sudah diberikan untuk bintang-bintang di galaksi Milky Way, itu diberikan oleh ahli-ahli di zaman Abbasiyah yang berlaku dari abad ke-8 sampai sahabat ke-13.

 

                Kegemilangan Islam itu termanifestasi dalam tiga zaman pada intinya. Pertama itu di zaman Umayyah yang berlangsung dari tahun 660 sampai 750 dan zaman Abbasiyah atau abbasid yang berlangsung dari tahun 750-1258, dan zaman Ottoman yang berlangsung dari abad ke-13 sampai awal abad ke-20 yang mana itu tercermin dalam berakhirnya perang dunia pertama. Kalau kita lihat ketiga zaman tersebut yang mencerminkan kegemilangan Islam itu memiliki beberapa benang merah dan salah satunya tentunya adalah kapasitas mereka untuk menunjukkan keterbukaan, kehausan untuk mencari ilmu dari seluruh penjuru, dan toleransi untuk bagaimana mereka bisa menunjukkan toleransi kepada siapapun. Apakah mereka itu dari kaum Yahudi, Syriak, Yunani, latin, Persia, Aramaik, Nasrani dan lain-lain. Dan hal-hal seperti itu termanifestasi dalam perpustakaan atau lembaga pendidikan yang luar biasa yaitu The House of Wisdom atau Bait al-Hikmah atau rumah kebijaksanaan. Ini didirikan di zaman Abbasiyah atau abbasid yang diprakarsai oleh Al-Makmun, Al-Mansur, dan Harun Al-Rasyid dan tentunya termanifestasi dalam beberapa ilmuwan yang sangat besar termasuk Al-Khwarizmi, Ibn Sina, Ibn al-Haytam, al-Biruni, dan lain-lain. Pada intinya “There is no muslim science. There is no jewish science. There is no Christian science. There is only one science”. Dan hal itu yang sangat dikedepankan oleh teman-teman kita di era kegemilangan Islam di zaman Umayyah, Abbasiyah, dan Ottoman. Mungkin apabila pengendapan sains dan teknologi terus berlanjut semenjak zaman keemasan Islam di zaman abbasid, jauh lebih besar dari 0,5% dari hadiah Nobel di Bidang sains bisa dimenangkan oleh orang Islam.


        Selama ini ada beberapa pemikiran ataupun spekulasi mengenai sebab berkurangnya pengendapanan sains dan teknologi semenjak berakhirnya zaman abbasid atau Abbasiyah di tahun 1258.  Pertama, mungkin saja serangan yang spektakuler yang dilakukan oleh Hulagu Khan terhadap Baghdad, dengan hancurnya dokumentasi ilmu pengetahuan yang banyak terakumulasi semenjak di abad ke-7 bahkan abad ke-8 sampai abad ke-13. Kedua, tentunya adalah kritik terhadap ilmu pengetahuan, sains, aristotelian, yang menyebabkan berkurangnya  intellectual curiosity atau kepenasaran intelektual yang dimiliki umat Islam selama ini.  Ketiga adalah berkurangnya peran Timur Tengah sebagai bagian penting dari silk route atau rute sutra semenjak pihak-pihak Eropa menemukan jalur maritim baru menuju Asia. Keempat, mungkin saja ditemukannya mesin cetak oleh Gutenberg di Jerman di abad ke-15 yang mengakselerasi proses dokumentasi, proses belajar untuk teman-teman di Eropa semenjak abad ke-15. Tapi mungkin yang penting untuk diketahui adalah keterbukaan terhadap ilmu dari manapun yang merupakan atribut penting untuk suatu bangsa menjadi bangsa yang maju.

 

                Kalau kita melihat di era kontemporer, yang sangat mulai kelihatan berkurang adalah kapasitas untuk melakukan critical thinking atau berpikir secara kritis. Saya ingin menggaris bawahi atau meng-highlight satu fenomena yaitu fenomena penggunaan sosial media atau medsos. Medsos ini pada intinya berdampak terhadap tiga pilar dalam Society kita atau komunitas kita. Pertama adalah dampak medsos terhadap anak-anak muda. Apakah itu generasi Z ataupun generasi penerusnya, mereka yang lahir di tahun 95 keatas, ataupun yang baru aja belasan tahun. Kita tentu banyak melihat begitu banyaknya anak-anak muda menggunakan HP selama 9-10 jam sehari tanpa bisa mengkurasi konten yang bijaksana, dibandingkan konten yang kurang bijaksana. Ini adalah fenomena di mana kita melihat semakin banyak generasi muda ini semakin diasuh oleh tiktok dan Instagram. Dan tentunya yang mengamplifikasi masalah terkait dengan generasi muda adalah semenjak ditemukannya tombol like di tahun 2009. Tombol like ini ditemani juga dengan tombol share, tombol retweet. Ini adalah ciptaan manusia dalam konteks teknologi hanya untuk membuahkan viralitas, tapi viralitas-viralitas seperti itu kurang sehat dan bijaksana karena itu telah terbukti secara empiris membuahkan kasus depresi, kasus enxiety, dan juga kasus bunuh diri yang semakin meningkat semenjak penggunaan tombol-tombol tersebut,

 

                Dampak medsos yang kedua adalah terhadap mahasiswa. Saya melihat bahwasanya akhir-akhir ini mahasiswa itu kurang memiliki budaya baca. Baca buku khususnya. Mereka lebih suka baca apapun yang terbatas dengan 280 karakter. Apakah itu di Twitter ataupun Tik Tok ataupun Instagram atau Facebook. Tapi mereka kurang membaca buku. Dan yang saya angkat akhir-akhir ini justru terkait dengan paradoks antara demokratisasi informasi dibandingkan demokratisasi ide. Begitu banyak kanal informasi yang kita miliki sekarang. Kita bisa mencari informasi dari banyak sekali kanal, banyak sekali sumber, tentunya dengan catatan bahwasanya platform-platform informasi tersebut itu banyak sekali yang tidak ter filter dan itu tentunya harus dicatat bahwasanya konten-konten seperti itu hampir pasti atau kemungkinan besar sangat tidak bijaksana, dan tentunya keterbatasan baca karena dibatasi hanya dengan 280 karakter ini yang menyempitkan pola pikir, menyempitkan wawasan, menyempitkan kapasitas kita untuk mendemokratisasikan ide. Dan tentunya ini cukup empiris di mana kita melihat akhir-akhir ini ide sudah sangat terpolarisasi bukan terdemokratisasi. Semestinya dalam batas logika, kalau kita sudah menyaksikan demokratisasi informasi itu sangat tersalin dalam konteks demokratisasi ide.  Tapi kita justru kekurangan ide bahkan kita bisa bilang kita hampir miskin terhadap ide.

 

                Dampak ketiga dari sosmed itu adalah terhadap demokrasi liberal. Demokrasi liberal ini semestinya adalah kapasitas suatu sistem, lembaga, manusia, atau apapun untuk bisa mendemokratisasikan apapun. Tapi justru sosmed itu telah memberdayakan teknologi yang lebih mengamplifikasi narasi-narasi yang kental dengan kebencian, kemarahan, dibanding narasi-narasi yang sangat bijaksana yang justru kurang teramplifikasi, dan ini hampir ada unsur kesengajaan dari teknologi tersebut, ataupun pemilik teknologi tersebut untuk hanya memberdayakan algoritma yang lebih bisa mengamplifikasi narasi-narasi yang kurang bijaksana. Dan tentunya tidak adanya keseimbangan antara narasi bijaksana dengan narasi yang kurang bijaksana, ini yang menyebabkan semakin sulitnya untuk kita mengawal, menjaga, merawat, demokrasi liberal di berbagai negara di dunia ini.  

 

                

Tradisi kebebasan berpendapat di Indonesia ini harus terus dikedepankan. Sebelum kemerdekaan kita sudah menyaksikan banyak sekali tokoh-tokoh pemikir negarawan seperti Muhammad Natsir, Soekarno, Muhammad Hatta, Syahrir, Muhammad Yamin, Ki Hajar Dewantara, dan Hamka. Mereka ini sangat sukses berhasil mendemokratisasikan ide dan pembahasan yang mereka lakukan satu sama lain atau dengan teman-teman mereka yang lain dan hasil dari diskusi, diskursus, dan pembicaraan mereka itulah yang membuahkan kemerdekaan kita. Dan tentunya ke depan kita harus optimis untuk melihat bagaimana generasi kedepan itu semakin bisa berperan untuk mengedepankan critical thinking. 


V.U.C.A vs V.U.C.A

 

VUCA dengan VUCA




 

            Sepanjang tahun 2020 sampai kini, kita sudah menghidupi beberapa waktu di tahun 2022. Tema besar dari hidup kita akhir-akhir ini adalah ‘ketidakpastian’. Tidak ada yang mengira di awal tahun 2020, hidup kita akan berubah menjadi seperti ini. Itu karena virus COVID 19. Memang sekarang sudah ada vaksin. Tapi kita juga tidak tahu kapan vaksinasi akan benar-benar selesai. Kapan pandemi ini benar-benar kita kendalikan. Jadi, nampaknya kita masih akan terus hidup dalam ketidakpastian. Ada satu terminologi ysng awalnya muncul dari ranah militer, untuk memetakan, mengidentifikasi tantangan-tantangn dalam hidup. Terminologi ini disebut VUCA : Volatility, uncertainty, complexity, ambiguity. Kali ini kita akan membahas tentang VUCA, bagaimana kita hidup di dalam dunia yang mendapatkan karakteristik VUCA ini, dan seperti apa kita menanggapinya.

            VUCA terdiri dari 4 huruf, yaitu V,U,C, dan A. Setiap huruf mempunyai kepanjangan masing-masing. Pertama, “V” yang berkepanjangan Volatility. Sesuatu disebut volatile, karena ia bergejolak. Berarti volatility adalah situasi yang bergejolak. Ini menunjukkan sifat, dinamika, dan kecepatan perubahan, gaya, dan katalis perubahan itu sendiri. Nah apa tantangan dalam situasi yang volatile ini?. Apa tantangan dalam keadaan yang dipenuhi atau berada dalam keadaan yang bergejolak ini?.

            Kecepatan perubahan lebih cepat dan pesat dibandingkan kemampuan untuk merespon atau menanggapi. Jadi, meningkatnya kecepatan perubahan menuntut percepatan pengambilan keputusan. Karena itu respon yang dituntut bersifat segera. Dalam keadaan seperti ini, pemimpin biasanya gelagapan, tertekan, gelisah, dan tidak siap memimpin dengan efektif. Karena, struktur komando dan kontrol biasanya juga tidak berfungsi dalam lingkungan yang terdisrupsi dan berubah cepat. Tantangan bagi pemimpin dalam keadaan ini adalah seorang pemimpin itu dituntut untuk mampu merespon dan mengelola perubahan dengan lebih efektif. Bergeser dari kondisi reaktif terhadap perubahan, menjadi proaktif dalam menghadapi perubahan.

            Kedua, huruf “U” yang berkepanjangan Uncertainty atau  ketidakpastian. Keadaan ini adalah keadaan dimana tidak ada prekdiktabilitas, bahkan atas kemungkinan adanya kejutan, dan tidak ada kesadaran dan pemahaman tentang masalah dan peristiwa yang terjadi. Dalam keadaan yang Uncertainty ini, dalam keadaan ketidakpastian ini, sulit untuk mengerti apalagi mengambil kendali atas apa yang sebenarnya tengah terjadi. Terlalu banyak noise informasi, tapi tidak cukup banyak signal. Sulit untuk memahami rangkaian kejadian atau peristiwa. Istilahnya  connecting the dots, sulit itu dilakukan. Sulit juga untuk mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. Apalagi mengantisipasi apa akibatnya nanti. Dalam keadaan seperti ini, pemimpin dituntut untuk bertindak atas dasar informasi yang tidak mencukupi atau tidak lengkap. Karena itu, pimimpin biasanya mengandalkan apada hal-hal yang dulu berhasil di masa lalu (dalam situasi ketidakpastian yang lain). Itu menjadi referensi untuk tindakan sekarang.

            Ketiga, huruf “C”, yang berkepanjangan Complexity atau kompleksitas. Ini didefinisakan sebagai sebuah keadaan dimana ada kondisi rumitnya gaya/penentu, rancunya masalah, kekacauan serta kebingungan yang dialami sebuah entitas. Bisa dalam lingkup organisasi, bisa keluarga, bisa kelompok, dan bisa dalam lingkup apapun. Seperti apa tantangan dalam situasi yang diwarnai dengan complexity ini?. Pertama, kesulitan dalam bertindak dan kesulitan dalam mendorong perubahan yang diperlukan untuk menanggapi kaitan-kaitan kompleks atas berbagai masalah apalagi kekhawatiran. Kompleksitas yang meningkat membuat makin sulit kita mengetahui dari mana harus mulai mendorong perubahan itu sendiri. Itu tantangan paling mendasar dalam situasi yang kompleks, dalam complexity ini. Tindakan mitigasi tidak mengatasi akar masalah, tapi hanya mengobati gejala. Dalam keadaan yang diwarnai dengan complexity semacam ini biasanya pemimpin kehilangan atau tidak punya waktu untuk sungguh-sungguh bisa merefleksikan kerumitan yang ada. Lantas, apa akibatnya? Ia akan bertindak terlalu cepat atau gegabah. Pemimpin akan tergoda untuk bertindak dan mengimplementasikan solusi jangka pendek dan berlebihan mengandalkan quick wins. Dalam hal ini, pemimpin ada dalam bahaya terjebak dalam kelumpuhan analisis dan akhirnya bisa juga terlalu lambat bertindak. Ini adalah tantangan-tantangan dalam bertindak yang diwarnai oleh complexity.

            Terakhir, huruf yang keempat adalah “A” yang berkepanjangan Ambiguity atau kemenduaan yang sebenarnya. Ini adalah sebuah keadaan dimana realitas-realitas itu kabur.  Potensi salah memahami itu terjadi karena bercampurnya realitas, bercampurnya makna atas situasi, dan bingung melihat sebab-akibat. Inilah karakteristik situasi yang ambigu. Dalam keadaan seperti ini seringkali yang terjadi adalah kegagalan kita dalam memahami pentingnya sebuah peristiwa. Ada resiko yang tinggi untuk salah atau keliru dalam menterjemahkan dan memahami kejadian-kejadian. Akibatnya tanggapan atau respon tidak memadai meski terlihat efektif. Dalam keadaan yang diwarnai dengan ambiguity ini, pemimpin biasanya terlalu jauh terlempar dari sumber dan konteks berbagai peristiwa. Maka, ia akan bertindak berdasarkan pemahaman yang terbatas atas kejadian-kejadian dan makna atau arti yang bisa ia pahami.

           

Nah, lantas mengapa kita penting memahami VUCA ini?

 

Paling tidak ada dua konteks. Pertama konteks global, dan kedua adalah konteks nasional.

 

Dalam konteks global, kita tahu bahwa dunia kita sedang bergejolak di mana-mana. Krisis sosial, politik, lingkungan, ekonomi terjadi. Apalagi ditambah lagi dengan pandemi. Itu konteks pertama. Konteks kedua, adalah munculnya apa yang selama ini disebut dengan revolusi industri ke empat (Industrial Revolotion 4.0). Bahkan Jepang mengatakan munculnya masyarakat atau society 5.0. Kemunculan teknolgi ini membawa perubahan bukan hanya pada corak interkasi manusia, tapi bagaimana kemampuan manusia untuk berproduksi. Bagaimana manusia menjalankan fitrahnya sebagai makhluk hidup di dunia ini. Havard Bussiness Review menunjukkan bahwa peningkatan produktifitas tidak serta merta dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan. Peningkatan produktivitas karena teknologi ternyata tidak seiring dengan tumbuhnya lapangan pekerjaan. Memang ada resiko, bahwa teknologi yang makin canggih menghapus sejumlah pekerjaan manusia. Meskipun tentu saja ada banyak peluang lain juga muncul disana. Konteks yang lain adalah urbanisasi. Dunia kita makin meng-urban, suka atau tidak suka. Dan urbanisasi ini akan mengubah cara manusia hidup. Dampak yang terkait langsung adalah pemanasan global, perubahan iklim tentunya. Manusia sudah bekerja, membangun selama ini. Tetapi caranya membangun sudah melampaui kapasitas bumi, dan sudah pula pada tahap yang membahayakan. Karena itu, konteks terakhir adalah munculnya Sustainable Development Goals atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. SDGs ini mau mengoreksi cara kita membangun. Kalau dulu dalam MDGs (Millennium Development Goals) kita tahu ada tiga pilar, yaitu sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kalau dalam SDGs ada lima dimensi. Bukan hanya pilar, tapi dimensi. Kelima dimensi itu adalah, 1. People/manusia, 2. Planet, 3. Prosperity atau kesejahteraan, bukan hanya profit, 4. Peace atau perdamaian, 5. Partnership.

Kedua, dalam konteks nasional, di Indonesia saat ini kita punya 270 jt penduduk. Kita membangun dengan amat baik. Setidaknya sebelum krisis karena pandemi COVID 19 kita tumbuh dengan stabil sekitar 5%. Pengangguran bisa ditekan di bawah 5%. Inflasi bisa kita tekan di bawah 3%. Kemiskinan bisa kita tekan untuk pertama kalinya dalam sejarah dibawah 2 digit: sekitar 9,3% - 9,5%. Capaian pembangunan kita beragam. Infrastruktur, kesejahteraan, dll. Memang pandemi COVID 19 lalu memporak-porandakan hasil pembangunan tersebut. Kemiskinan kembali meningkat, pengangguran meningkat, dan berbagai hal-hal lain. Ini adalah konteks nasional, dan kita tahu persis ada kesenjangan yang masih perlu dijembatani antara jawa dan luar jawa, antara daerah yang menikmati kue pembangunan lebih banyak dibandingkan yang belum. Selama lima tahun pertama periode pemerintahan Bapak Jokowi, sudah dicoba untuk membangun dengan lebih adil dengan paradigma Indonesia sentris, bukan jawa sentris. Ini semua adalah konteks nasional. Kita tahu bahwa apa yang sudah dibangun sekian lama bisa berantakan kalau tidak waspada, kalau kita tidak sadar bahwa aspek ketidakpastian mewarnai hidup ini. Jadi itulah dua konteks besar mengapa kita perlu memahami VUCA. Barangkali kalau ingin ditelaah lebih jauh dalam konteks ini, juga dalam konteks teknologi. Bahwa teknologi digital, teknologi informasi, sudah amat mempengaruhi cara hidup.

 

Jadi, apa sebenarnya VUCA?

 

Milliter di Amerika Serikat mulai menggunakan istilah ini di akhir tahun 1990-an pasca perang dingin. Dalam definisi mereka, VUCA terkait dengan bagaimana orang, manusia, organisasi, memahami situasi atau kondisi dimana mereka harus membuat keputusan, merencanakan, mengelola resiko, mendesakkan perubahan dan menjawab persoalan. Kalau dikutip langsung:

 

“VUCA relates to how people view the conditions under which they make decisions, plan forward, manage risk, foster change, and solve problems”

 

VUCA ini mencerminkan dunia yang amat pesat, cepat berubah, makin tidak stabil, makin sulit diduga arahnya.

 

Lantas, apa dampak VUCA?

 

Volattility atau keadaan yang bergejolak akan menciptakan ketakutan, ketidak beranian mengambil resiko, dan reaksi yang sifatnya back to basics. Sedangkan uncertainty atau ketidakpastian menciptakan kelumpuhan melalui kecenderungan untuk menginvestasikan secara berlebihan, namun sebenarnya sia-sia upaya untuk menganalisa data. Complexity atau kompleksitas menciptakan kinginan untuk mencari kambing hitam atau solusi hitam-putih yang biasanya salah. Ini wajar dalam keasaan yang membingungkan, yang kompleks, orang cenderung mencari sesuatu yang mudah saja. Terakhir, ambiguity atau memenduaan. Ini mengakibatkan kebingungan, keraguan, ketidak percayaan, dan menghambat pengambilan keputusan dan perubahan.

 

Kalau seperti itu, lalu apa obat VUCA?

 

Obat VUCA adalah VUCA itu sendiri.

Maksudnya, dalam In volatility, have vision. Dalam keadaan yang bergejolak harus mempunyai visi. Jadi volatility obatnya visions. Satu, ubah data menjadi informasi. Kedua, segera komunikasikan (visi semestinya segera disampaikan). Ketiga, pastikan niat atau intensi itu dimengerti. Dalam keadaan yang bergejolak, orang sulit memahami ini apa niatnya?. Segera dipastikan orang yag mengerti. Itu “V”.

In uncertainty, have understanding. Jadi obat uncertainty adalah understanding atau pemahaman. Cari perspektif yang baru. Fleksibel. Tengok ke belakang sekilas saja, tapi tatap ke depan. Itu obat untuk menghadapi uncertainty.

In complexity, have clarity. Dalam hal yang kompleks pasti ada kejelasan. Karena itu, pertama yang perlu dikembangkan adalah kemampuan untuk berkolaborasi. Dengan kolaborasi, perspektif kita lebih luas. Kita punya luas lebih kejelasan. Kedua, berhenti mencari solusi yang sifatnya permanen. Tidak ada solusi yang permanen. Akan tetapi yang ada solusi-solusi temporer yang mesti cepat diambil. Ketiga, latihlah pahlawan hari esok itu sekarang. Kita perlu menyiapkan mereka-mereka yang akan menjadi pahlawan kita esok mulai sekarang.

Terakhir, ambigulity. In ambiguity have agility. Dalam keadaan yang ambigu, perlu ada keluwesan. Perlu mendengar baik-baik. Perlu berpikir dengan cara berbeda. Menyiapkan diri untuk melihat hal-hal secara bertahap, maka hasil atau output itu juga akan muncul, diraih secara bertahap, dan luwes. Jadi, untuk menghadapi VUCA diperlukan VUCA.

 

VUCA and VUCA

In volatility, have vision.

In uncertainty, have understanding.

In complexity, have clarity.

In ambigu, have agility.

 

 

Lantas, kemana ini membawa kita?

Ada beberapa hal yang mesti kita pikir baik-baik.

 

Pertama, nampaknya kita mesti memperjelas tujuan apa yang mau kita raih. Kita perlu mengambil waktu untuk merumuskan kembali apa yang sungguh-sungguh penting bagi kita. Dan apa yang sebenarnya hanya pilihan saja. Tidak semua hal di dunia ini penting. Tidak semua hal yang ada di dunia ini mesti dilakukan. Ada yang optional.

Kedua, kita harus mempunyai peta. Kita mesti punya gambaran ke mana kita akan melangkah, agar kita tidak tersesat. Ketika perki ke suatu arah, kita pergi ke suatu daerah, yang kita tidak tahu sebelumnya. Masa depan adalah daerah yang kita belum tahu. Karena itu kita seyogyanya punya peta. Seperti apa kita melangkah di masa depan nanti.

Ketiga, kita mesti berani. Be brave. Karena rahasia untuk ada disana yang lebih dulu dari yang lain adalah berani memulai. Berani memulai lebih dulu.

Keempat, kita nampaknya mesti mulai melatih diri untuk belajar menjelajah ke area-area yang kita belum tahu sebelumnya. Cara terbaik untuk mengatasi ketakutan menjelahi apa yang kita belum tahu sebenarnya adalah bertindak. Ambil langkah pertana untuk bertindak. Dan kita akan melihat bahwa sebenarnya area yang tidak kita ketahui itu tidak sebegitu menakutkan.

Kelima, fokus. Harga yang harus kita bayar dengan seluruh kemajuan ini adalah kedangkalan. Kita semua makin heboh dengan teknologi, menikmati hidup, dan kita lalu tidak tau apa yang penting dan yang lebih penting. Kita semestinya bisa berfokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan. Seringkali kita sibuk menanggapi hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Jangan terobesesi atas apa yang mungkin terjadi. Tetapi fokus pada hal yang bisa kita lakukan dan kita kendalikan.

Keenam, terbukalah. Terbukalah dengan kejutan-kejutan. Kejutan itu terjadi kapan saja. Kejutan itu terjadi dimana saja. Bersiap, bersikap positif. Dan kalau kita siap dan bersikap positif, kita akan melihat bahwa banyak hal yang kita alami itu akan  terjadi. Bahkan kita akan mengalami hal-hal yang selama ini mungkin belum pernah kita mimpikan.

Ketujuh dan yang terakhir, adalah terimalah resiko. Resiko memang ada untuk diambil, dan untuk diterima. Biasanya sesuatu yang makin besar resikonya, juga makin besar hal yang kita dapatkan. Namun, penting untuk berfikir lebih mendalam, bahwa dengan menerima resiko itu sebenarnya meminimalisir dan menerima apa yang kita tidak bisa hilangkan dalam hidup.

 

Satu hal penting menghidupi VUCA adalah kemampuan untuk berkolaborasi. Diluar kolaborasi, yang lebih mendasar sebenarnya karena kita semua punya, atau menghidupi, atau menghadapi ketimpangan resiko. Dalam satu tajuknya, wall street journal tahun lalu menulis, we are not in the same boat. We are in the same storm. Kita tidak berada pada perahu yang sama, tapi kita menghadapi badai yang sama.

 

 

 

Dunia atau hidup dengan VUCA adalah keniscayaan. Tetapi bagaimana kita menghidupinya adalah pilihan.

 

SYAHDAN

    Pada tempat yang sunyi , senyap , disekitar macam-macam gunung diluar Mekah timbullah berkali-kali persoalan. Lagit Arabia tiada dili...