SYAHDAN

 

 

Pada tempat yang sunyi, senyap, disekitar macam-macam gunung diluar Mekah timbullah berkali-kali persoalan. Lagit Arabia tiada diliputi awan pada malam itu, kalau diterangi oleh bulan dan bintangnya mesti menarik perhatian seseorang yang sedang serius. Tak heran kala itu seorang pemuda Muhammad SAW didesak oleh persoalan tentang siapakah yang mengemudikan jalannya bulan dan jutaan bintang ini, yang tetap teratur ini?. Siapakah yang menjatuhkan hujan, yang memberi hidupnya tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia itu?. Apakah asalnya dan akhirnya manusia ini?. Adakah sesuatu yang mampu mempersatukan bangsanya, yang telah memperlihatkan saling seteru, permusuhan, sengketa dan juga telah menerangi gelap gulita itu: mengangkat bangsaku jadi obor dunia?.

 

Newton dan Edison diberi pusaka oleh para almarhum scientist berupa peralatan dan teori berupa laboratorium dan hukum-hukum perhitungan. Tetapi pemuda Muhammad SAW hidup lebih dari 1400 tahun yang silam. Hukum tentang peredaran bintang atau perhubungan hawa uap dan hujan atau hukum tentang kodrat, perpaduan dan pisahan jasmani dan rohani yang sudah diketahui?. Ahli Yunani pun belum sampai kesana. Kalau ada paham yang miring kesana, belum tentu paham itu sampai ketelinga Muhammad bin Abdullah. Demikianlah Muhammad bin Abdullah mesti mencoba jawab dengan banding membanding pengalaman dan pengetahuannya pada level jauh lebih tinggi, daripada apa yang dikenal oleh bangsanya dikelilingnya.

 

Berkali-kali sudah perdagangan dilakukan (dengan karavan kalifah) ke Siria, barangkali juga sampai ke Mesir, ke Arabia Selatan. Tak mustahil sampai ke Mesopotamia. Darisini kita  bisa membayangkan seorang pemuda yang pendiam, mata sering melayang tinggi tetapi cepat bisa menaksir barang dan uang dimukannya, kening lebar dan tinggi menandakan kecondongan pikiran pada filsafat, tetapi juga menyaring apa yang praktis bisa dijalankan. Bibir yang menandakan kemauan keras dan juga mahir lancar kalau berkata. Perawakan sedang, cepat tahan tangkas dan berkali-kali dalam perjalanan jauh berbahaya mendapat latihan dalam perjuangan. Penghilatan pada puluhan negara dan negeri biadab setengah adab dan pekerjaan tawar menawar dengan saudagar bermacam-macam bangsa dan bahasa; percakapan dengan lawan kawan, tua mdua dalam usia pancaroba dipuluhan negara dan negeri itu. Huruf dan sekolah tak bisa memberi bahan hidup semacam itu, tetapi bahan hidup semacam itu bisa memberi kesempatan pada Muhammad bin Abdullah menimbulkan huruf dan sekolah baru. Tidak semuanya orang bersekolah, bisa menjadi Rasul Tuhan, tetapi buat seseorang Rasul Tuhan tiadalah sekoah saja, menjadi sebuah jalan untuk  menyampaikan maksudnya, untuk melaksanakan sifatnya.


Keterbatasan

 KETERBATASAN

 

            Salah satu hukum sejarah adalah bahwa kemewahan cenderung menjadi keharusan dan melahirkan beban-beban baru. Begitu orang terbiasa dengan satu kemewahan tertentu, mereka menerimanya sebagai kebiasaan. Kemudian, mereka mulai menjadikannya kebutuhan. Akhirnya mereka mencapai satu titik ketika mereka tidak bisa hidup tanpanya. Mari ambil contoh lain yang populer pada masa kita. Selama beberapa dekade terakhir, kita telah menemukan tak terhitung alat penghemat waktu yang diharapkan menjadikan hidup lebih santai, mesin cuci, vacum cleaner, pencuci piring, telepon, ponsel, komputer, surel. Sebelumnya, butuh banyak pekerjaan untuk menulis sepucuk surat, menulis alamat, membeli perangko dan amplop, dan membawanya ke kotak surat. Perlu beberapa hari atau beberapa pekan, bahkan mungkin beberapa bulan untuk mendapatkan jawaban. Kini, saya bisa menulis surel, mengirimnya sejauh setengah putaran bumi, dan (jika yang dituju sedang online) menerima jawaban semenit kemudian, bahkan bisa kurang. Saya menghemat waktu dan tenaga, tetapi apakah saya menikmati kehidupan yang lebih santai?.

 

            Sayangnya tidak. Pada era surat-bekicot dulu, orang-orang biasanya menulis surat ketika mereka punya sesuatu yang penting untuk disampaikan, bukan menulis apa yang pertama muncul di kepala, mereka mempertimbangkan hati-hati apa yang ingin mereka katakan dan bagaimana cara menyampaikannya. Mereka berharap menerima jawaban yang dipertimbangkan masak-masak juga. Sebagian orang menulis dan menerima hanya segelintir surat dalam sebulan dan jarang merasa terpaksa untuk membalas segera. Kini, saya menerima puluhan surel setiap hari, semua dari orang-orang yang mengharapkan balasan secepatnya. Kita mengira menghemat waktu; yang terjadi kita malah memepercepat treadmill kehidupan sepuluh lebih cepat sehingga membuat hari-hari kita lebih mencemaskan dan menggelisahkan.

 

Keterbatasan ini perlu kita sadari. Bahkan kejujuran akan keterbasan apa yang kita miliki dalam tubuh ini, juga penting kita sadari bersama. Keterbatasan bukan berarti melulu menumbuhkan atau mensuburkan sikap pesimis. Karena, dengan keterbatasan kemajuan demi kemajuan zaman kita jumpai bersama. Dalam mensikapi sebuah perjalanan dalam jarak beberapa ratus KM, yang kita tempuh dengan jalan kaki, tentu akan memangkas banyak waktu dan kurang optimal dalam memanfaatkan waktu. Itu memang kekurangan kita dan keterbatasan kita. Tapi, dengan kesadaran akan keterbatasan, muncul sebuah penemuan-penemuan baru dalam dunia kendaraan. Penemuan ini dalam rangka menjadi solusi bagi kita agar bisa menjangkau jarak yang cukup jauh, dengan tempo yang sesingkat-singkatnya.

 

Contahnya, dalam bidang otomotif, dulu sebelum ditemukannya alat transportasi, suatu perjalanan dengan jarak 10 Km saja kita butuh waktu yang cukup lama. Penghemat waktu belum diciptakan. Kini, setelah melawati fase penemuan-penemuan, inovasi-inovasi dalam bidang otomotif, banyak sekali pilihan-pilihan produk alat transportasi. Dan ini sangat mempersingkat waktu. Namun, perlu disadari bahwasanya dengan penemuan-penemuan dalam bidang ini, tentu telah menunjukkan semakin banyak keterbatasan yang kita miliki. Artinya, kita ini dalam melakukan suatu perjalanan masih sangat perlu alat selain tubuh kita. Seperti uraian diatas, tanpa suatu alat tertentu, kita kesulitan untuk melakukan penghematan waktu.

 

Kemajuan ini juga berlaku dalam sektor-sektor yang lain. Kemajuan dalam teknologi, otomotif, sains, kesehatan, sekonomi, sosial, dll. Tapi perlu kiranya kita sadari bersama, bahwasanya semakin muncul kemajuan-kemajuan dalam bidang apapun itu semakin menunjukkan betapa lemah, banyak kekurangan, dan banyak keterbatasan yang kita miliki. Semakin kita menjangkau kemajuan demi kemajuan, penemuan demi penemuan, kita sebenarnya ditunjukkan betapa banyak keterbatasan yang kita miliki.

 


Waktu



        Perjalanan semesta dan apa-apa yang didalamnya selalu bergerak sejalan dengan waktu. Perjalanan ini selalu beriringan. Tanpa waktu ini, semesta tidak akan mampu untuk mendapatkan pundi-pundi panggung eksistensi. Kalupun dibalik, waktu ini juga tidak akan napak nilainya. Yah, kalau soal nampak dan tak nampak atau yang terlihat dan yang tak terlihat, bukankah kita ini sering melihat langsung keterkaiatan antar keduanya ini?.

        Waktu ini mempunyai makna tersendiri bagi mereka-mereka yang terlibat. Entah makna yang konotasinya positif ataupun sebaliknya. Boleh jadi, pemaknaan positif tentang makna waktu menjadikan kesempatan para mereka-mereka yang terlibat ini untuk menyentuh satu kesadaran ke kesadaran yang lain, dan pada titik selanjutnya menjadikan mereka-mereka ini sadar bahwa betapa tinggi keberhargaan ruang dan waktu ini, entah itu dalam hal memanfaatkannya ataupun berkolaborasi dengannya. Dan boleh jadi, pemaknaan negatif menciptakan citra buruk tentang waktu ini. Kediktatoran ruang dan waktu ini, yang terus berjalan maju tanpa memberikan toleransi kepada yang terlibat, yang tidak bisa diajak untuk berkompromi, yang tidak bergeming jikasaja disodorkan tumpukan-tumpukan kata-kata indah, menjadi sebuah momok tersendiri. Dan mereka-mereka yang tidak siap ini selalu melemparkan kesalahan-kesalahan, eluhan-eluhan, keburukan-keburkan, umpatan-umpatan, dan kata-kata kotor kepada ruang dan waktu.

        Yah, soal pemaknaan, saya kira semuanya mempunyai kemampuan untuk mengambil makna. 





Kejujuran: The Beginning of Self Correction


 KEJUJURAN

The Beginning of Self Correction


    


    Mungkin kita sering mengenal atau mengetahui tentang makna kejujuran dan banyak sekali orang-orang disekitar kita ini sangat menganjurkan untuk berbuat jujur. Ada salah satu ungkapan yang sering saya dengar tentang jujur adalah "berkatalah jujur, walaupun itu pahit". Dari ungkapan ini, kita semua tahu, betapa penting kita dalam menjalani kompleksitas perjalanan kehidupan ini untuk selalu memegang teguh nilai-nilai kejujuran, bahkan dari kejujuran itu sebatas perkiraan kita di tahap selanjutnya akan memposisikan kita pada posisi yang kurang bahkan tidak meng-enakkan bagi kita.

    Bagi saya sendiri, istilah "jujur" adalah dimana seluruh piranti tubuh kita, baik itu dalam wujud berekspresi keluar atau kedalam (dengan diri sendiri), itu ada yang namanya kecocokan sikap. Soal kecocokan sikap ini, berarti dari sekian piranti yang terlibat dalam pemunculan sebuah ekspresi, itu sama. Sesekali dalam perdialogkan dengan orang-orang disekitar saya atau dengan diri sendiri ini, saya sering mengutarakan ungkapan "wah, beruntung sekali mereka-mereka yang hati, pikiran, dan lisan itu bisa sama". Mau tidak mau, ya memang persoalan kejujuran ini mempunyai tempat tertinggi dalam tatanan idealitas pribadi saya. 

    Memang jujur itu adalah sebuah perilaku bersikap, tapi perilaku ini bukankah hasil dari pemrosesan internal diri kita?. Entah itu lebih pada pendekatan cara berfikir atau lebih kepada pendekatan dari menejerial hati. 

    Kenapa pada judul tulisan ini ada kaitannya dengan self correction?

    Akhir-akhir ini, ketika saya mencari sebuh informasi lebih, terkait AI, ada salah satu hal yang membuat saya ini cukup tersinggung. Bagaimana tidak, dengan sekian banyak kelebihan yang dimiliki AI (terlepas kekurangan-kekuranganya), AI telah memberikan kesadaran bagi saya tentang keunikan-keunikan manusia itu sendiri. Salah satunya, soal bagaiman mengolah informasi dan memeberikan respon spesifik dari informasi itu sendiri. Dalam sebuah tulisan disebutkan, bahwasanya AI itu mempunyai kemampuan untuk learning, reasoning, dan self correction. Memang 3 hal ini manusia zaman sekarang secara alamiah memang sudah terbekali sejak awal menginjakkan kaki di dunia. Namun, tingkat kesadarannya yang menjadikan berbeda-berbeda dalam mengasah kemampun-kemampuan ini. Padahal, diujung perkembangan kemajuan zaman saat ini, telah ada produk pembuktian betapa mengerikannya kemampuan ini untuk terus diasah, salah satunya AI ini. Dan Self correction inipun juga menjadi hal yang penting dalam rangka bagaimana kita ini bisa terus berkembang ke tingkat yang lebih baik lagi. 

    Kenapa jujur menjadi awal dari proses self correctoin?

    Dalam proses self correction, terlebih dulu perlu adanya sebuah penataan cara untuk melakukan self correction. Merapikan cara untuk self correction ini penting, karena sangat mempengaruhi hasil daripada proses self correction itu sendiri. Dan hasil yang benar dari sebuah proses self correctin ini mengarahkan kepada step selanjutnya yang tidak ada utang-piutang kecelakaan sejarah self correction. Nah, begitupun sebaliknya, ketika salah dalam merapikan cara untuk melakukan self correction, itu menjadikan kita ini salah dalam menentukan hasil dari sebuah proses self correction. Dan kesalahan ini, kalau kita tidak sesegera mungkin kita benahi dan kita tidak mau melalui jalur kejujuran, yaaa selebihnya jangan berharap lebih soal hasil-hasil yang lebih baik.

    Keterlibatan kejujuran menjadi wasilah penting dalam keseuksesan proses self correction. Ketidak berhasilan dalam bersabat dengan kejujuran, menjadikan self correction ini hanya sebatas istilah saja. Tidak lebih. 

    Jujur ini mempunyai nilai tersendiri. Nilai yang memberikan banyak menu-menu pilihan cerah dimasa mendatang. Tetapi dalam banyak catatan sejarah, sebuah hasil yang ideal tentu selalu ada saja rintangannya. Tinggal bagaiman cara padang dalam memaknai rintangan ini. Kita memilih untuk menghadapi dan menikmati rintangan demi rintangan ini dengan enjoy atau kita memilih untuk memenuhi diri kita ini dengan angan-angan bualan saja.


    Selamat bersahabat dengan Kejujuran.

Pedoman Berpolitik Warga NU Mukhtamar NU XVIII di Kapryak Yogjakarta Tahun 1989


 

    Perhelatan pesta demokrasi di  Indonesia akan dilaksanakan di tahun 2024. Aspirasi-aspirasi personal maupun lebaga akan ikut serta dalam proses penentuan arah pesta demokrasi tersebut, dan ini tentunya cukup berkorelasi dengan wawasan berpolitik. masing-masing pandangan mempunyai dasar dan argumen tersendiri. Kadar orientasipun juga bermacam-macam. Tinggal seberapa dewasa, pihak-pihak yang terlibat ini, mampu mendialogkan berbagai macam perbedaan tersebut dalam bingkai kebangsaan di era arus digitalisasi yang kian berkembang pesat.

    Sebagai warga Nahdlatul Ulama, tentu dalam sejarah perjalanannya hingga saat ini telah kaya dengan pengalaman-pengalaman empiris saat menjalani proses perhelatan pesta demokrasi. Dalam memaknai politik, kiranya Nahdlatul Ulama sudah pernah mengidentifikasinya. Salah satunya dalam sejarah Mukhtamar NU ke-18 di Kapryak Yogjakarta pada tahun 1989 telah merumuskan tentang berpolitiknya Nahdlatul Ulama. Dan mungkin untuk memudahkan dalam mengetahui isinya, kiranya salah satu upaya ini memudahkan para pembaca untuk kembali membacanya.


Pedoman Berpolitik Warga NU

Mukhtamar NU XVIII di Kapryak Yogjakarta Tahun 1989

 

1.    Bepolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan berengara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

2.    Politik bagi warga Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integritas bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur, lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat.

3.    Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggungjawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.

4.    Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi Persatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawartan/perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

5.    Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran murani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.

6.    Berpolitik bagi Nahdlatul ulama dilakukan untuk memperkokoh konsesus-konsesus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan Akhlaq al-Karimah sebagai pengalaman ajaran Islam Ahlusunnah Wal Jamaah.

7.    Berpolitik bagi nahdlatul Ulama, dengan dalih apapun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.

8.    Perbedaan pandangan diantara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap terjaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama.

9.    Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.*

__________________________________

*M. Bisri Adib Hattani, Khittah wa Khidmah (Pati: Majma’ Buhuts An-Nahdliyah –Forum kajian ke-Nu-an, 2014) hal 51.


Opini saya,

Terlihat disini, NU memadukan antara falsafah negara sebagai buah pikiran manusia, yang kemudian menjadi dasar pengikat pada komunitas nasional didalam berbangsa dan bernegara dengan doktrin keagamaan Islam sebagai wahyu Allah yang kemudian menjadi dasar pengikat dalam komunitas keberagaman. Suatu perpaduan yang amat penting artinya bagi bangunan stabilitas di suatu negara.

Bagi saya, nampaknya NU juga ingin mendidik warganya secara kultural untuk menjadi insan politik yang kritis dan dinamis tanpa harus menunggu perintah panutannya, tanpa harus terikat oleh petunjuk seseorang, dan tanpa adanya ketergantungan pada arahan seseorang. Kedewasaan seperti ini akan menuntut kemauan dan kemampuan Orpol manapun untuk menyerap aspirasi warga NU yang beraneka ragam, tidak saja aspirasi keagamaannya. 

Yah, ini sebatas padangan saja. Bukankah perbedaan itu akan membawa suatu faidah jika dapat diarahkan untuk membuat demokrasi menjadi "proses belajar dan memecahkan masalah". 

Ikhtilaf memang rahmat.

SYAHDAN

    Pada tempat yang sunyi , senyap , disekitar macam-macam gunung diluar Mekah timbullah berkali-kali persoalan. Lagit Arabia tiada dili...