SYAHDAN

 

 

Pada tempat yang sunyi, senyap, disekitar macam-macam gunung diluar Mekah timbullah berkali-kali persoalan. Lagit Arabia tiada diliputi awan pada malam itu, kalau diterangi oleh bulan dan bintangnya mesti menarik perhatian seseorang yang sedang serius. Tak heran kala itu seorang pemuda Muhammad SAW didesak oleh persoalan tentang siapakah yang mengemudikan jalannya bulan dan jutaan bintang ini, yang tetap teratur ini?. Siapakah yang menjatuhkan hujan, yang memberi hidupnya tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia itu?. Apakah asalnya dan akhirnya manusia ini?. Adakah sesuatu yang mampu mempersatukan bangsanya, yang telah memperlihatkan saling seteru, permusuhan, sengketa dan juga telah menerangi gelap gulita itu: mengangkat bangsaku jadi obor dunia?.

 

Newton dan Edison diberi pusaka oleh para almarhum scientist berupa peralatan dan teori berupa laboratorium dan hukum-hukum perhitungan. Tetapi pemuda Muhammad SAW hidup lebih dari 1400 tahun yang silam. Hukum tentang peredaran bintang atau perhubungan hawa uap dan hujan atau hukum tentang kodrat, perpaduan dan pisahan jasmani dan rohani yang sudah diketahui?. Ahli Yunani pun belum sampai kesana. Kalau ada paham yang miring kesana, belum tentu paham itu sampai ketelinga Muhammad bin Abdullah. Demikianlah Muhammad bin Abdullah mesti mencoba jawab dengan banding membanding pengalaman dan pengetahuannya pada level jauh lebih tinggi, daripada apa yang dikenal oleh bangsanya dikelilingnya.

 

Berkali-kali sudah perdagangan dilakukan (dengan karavan kalifah) ke Siria, barangkali juga sampai ke Mesir, ke Arabia Selatan. Tak mustahil sampai ke Mesopotamia. Darisini kita  bisa membayangkan seorang pemuda yang pendiam, mata sering melayang tinggi tetapi cepat bisa menaksir barang dan uang dimukannya, kening lebar dan tinggi menandakan kecondongan pikiran pada filsafat, tetapi juga menyaring apa yang praktis bisa dijalankan. Bibir yang menandakan kemauan keras dan juga mahir lancar kalau berkata. Perawakan sedang, cepat tahan tangkas dan berkali-kali dalam perjalanan jauh berbahaya mendapat latihan dalam perjuangan. Penghilatan pada puluhan negara dan negeri biadab setengah adab dan pekerjaan tawar menawar dengan saudagar bermacam-macam bangsa dan bahasa; percakapan dengan lawan kawan, tua mdua dalam usia pancaroba dipuluhan negara dan negeri itu. Huruf dan sekolah tak bisa memberi bahan hidup semacam itu, tetapi bahan hidup semacam itu bisa memberi kesempatan pada Muhammad bin Abdullah menimbulkan huruf dan sekolah baru. Tidak semuanya orang bersekolah, bisa menjadi Rasul Tuhan, tetapi buat seseorang Rasul Tuhan tiadalah sekoah saja, menjadi sebuah jalan untuk  menyampaikan maksudnya, untuk melaksanakan sifatnya.


Keterbatasan

 KETERBATASAN

 

            Salah satu hukum sejarah adalah bahwa kemewahan cenderung menjadi keharusan dan melahirkan beban-beban baru. Begitu orang terbiasa dengan satu kemewahan tertentu, mereka menerimanya sebagai kebiasaan. Kemudian, mereka mulai menjadikannya kebutuhan. Akhirnya mereka mencapai satu titik ketika mereka tidak bisa hidup tanpanya. Mari ambil contoh lain yang populer pada masa kita. Selama beberapa dekade terakhir, kita telah menemukan tak terhitung alat penghemat waktu yang diharapkan menjadikan hidup lebih santai, mesin cuci, vacum cleaner, pencuci piring, telepon, ponsel, komputer, surel. Sebelumnya, butuh banyak pekerjaan untuk menulis sepucuk surat, menulis alamat, membeli perangko dan amplop, dan membawanya ke kotak surat. Perlu beberapa hari atau beberapa pekan, bahkan mungkin beberapa bulan untuk mendapatkan jawaban. Kini, saya bisa menulis surel, mengirimnya sejauh setengah putaran bumi, dan (jika yang dituju sedang online) menerima jawaban semenit kemudian, bahkan bisa kurang. Saya menghemat waktu dan tenaga, tetapi apakah saya menikmati kehidupan yang lebih santai?.

 

            Sayangnya tidak. Pada era surat-bekicot dulu, orang-orang biasanya menulis surat ketika mereka punya sesuatu yang penting untuk disampaikan, bukan menulis apa yang pertama muncul di kepala, mereka mempertimbangkan hati-hati apa yang ingin mereka katakan dan bagaimana cara menyampaikannya. Mereka berharap menerima jawaban yang dipertimbangkan masak-masak juga. Sebagian orang menulis dan menerima hanya segelintir surat dalam sebulan dan jarang merasa terpaksa untuk membalas segera. Kini, saya menerima puluhan surel setiap hari, semua dari orang-orang yang mengharapkan balasan secepatnya. Kita mengira menghemat waktu; yang terjadi kita malah memepercepat treadmill kehidupan sepuluh lebih cepat sehingga membuat hari-hari kita lebih mencemaskan dan menggelisahkan.

 

Keterbatasan ini perlu kita sadari. Bahkan kejujuran akan keterbasan apa yang kita miliki dalam tubuh ini, juga penting kita sadari bersama. Keterbatasan bukan berarti melulu menumbuhkan atau mensuburkan sikap pesimis. Karena, dengan keterbatasan kemajuan demi kemajuan zaman kita jumpai bersama. Dalam mensikapi sebuah perjalanan dalam jarak beberapa ratus KM, yang kita tempuh dengan jalan kaki, tentu akan memangkas banyak waktu dan kurang optimal dalam memanfaatkan waktu. Itu memang kekurangan kita dan keterbatasan kita. Tapi, dengan kesadaran akan keterbatasan, muncul sebuah penemuan-penemuan baru dalam dunia kendaraan. Penemuan ini dalam rangka menjadi solusi bagi kita agar bisa menjangkau jarak yang cukup jauh, dengan tempo yang sesingkat-singkatnya.

 

Contahnya, dalam bidang otomotif, dulu sebelum ditemukannya alat transportasi, suatu perjalanan dengan jarak 10 Km saja kita butuh waktu yang cukup lama. Penghemat waktu belum diciptakan. Kini, setelah melawati fase penemuan-penemuan, inovasi-inovasi dalam bidang otomotif, banyak sekali pilihan-pilihan produk alat transportasi. Dan ini sangat mempersingkat waktu. Namun, perlu disadari bahwasanya dengan penemuan-penemuan dalam bidang ini, tentu telah menunjukkan semakin banyak keterbatasan yang kita miliki. Artinya, kita ini dalam melakukan suatu perjalanan masih sangat perlu alat selain tubuh kita. Seperti uraian diatas, tanpa suatu alat tertentu, kita kesulitan untuk melakukan penghematan waktu.

 

Kemajuan ini juga berlaku dalam sektor-sektor yang lain. Kemajuan dalam teknologi, otomotif, sains, kesehatan, sekonomi, sosial, dll. Tapi perlu kiranya kita sadari bersama, bahwasanya semakin muncul kemajuan-kemajuan dalam bidang apapun itu semakin menunjukkan betapa lemah, banyak kekurangan, dan banyak keterbatasan yang kita miliki. Semakin kita menjangkau kemajuan demi kemajuan, penemuan demi penemuan, kita sebenarnya ditunjukkan betapa banyak keterbatasan yang kita miliki.

 


Waktu



        Perjalanan semesta dan apa-apa yang didalamnya selalu bergerak sejalan dengan waktu. Perjalanan ini selalu beriringan. Tanpa waktu ini, semesta tidak akan mampu untuk mendapatkan pundi-pundi panggung eksistensi. Kalupun dibalik, waktu ini juga tidak akan napak nilainya. Yah, kalau soal nampak dan tak nampak atau yang terlihat dan yang tak terlihat, bukankah kita ini sering melihat langsung keterkaiatan antar keduanya ini?.

        Waktu ini mempunyai makna tersendiri bagi mereka-mereka yang terlibat. Entah makna yang konotasinya positif ataupun sebaliknya. Boleh jadi, pemaknaan positif tentang makna waktu menjadikan kesempatan para mereka-mereka yang terlibat ini untuk menyentuh satu kesadaran ke kesadaran yang lain, dan pada titik selanjutnya menjadikan mereka-mereka ini sadar bahwa betapa tinggi keberhargaan ruang dan waktu ini, entah itu dalam hal memanfaatkannya ataupun berkolaborasi dengannya. Dan boleh jadi, pemaknaan negatif menciptakan citra buruk tentang waktu ini. Kediktatoran ruang dan waktu ini, yang terus berjalan maju tanpa memberikan toleransi kepada yang terlibat, yang tidak bisa diajak untuk berkompromi, yang tidak bergeming jikasaja disodorkan tumpukan-tumpukan kata-kata indah, menjadi sebuah momok tersendiri. Dan mereka-mereka yang tidak siap ini selalu melemparkan kesalahan-kesalahan, eluhan-eluhan, keburukan-keburkan, umpatan-umpatan, dan kata-kata kotor kepada ruang dan waktu.

        Yah, soal pemaknaan, saya kira semuanya mempunyai kemampuan untuk mengambil makna. 





Kejujuran: The Beginning of Self Correction


 KEJUJURAN

The Beginning of Self Correction


    


    Mungkin kita sering mengenal atau mengetahui tentang makna kejujuran dan banyak sekali orang-orang disekitar kita ini sangat menganjurkan untuk berbuat jujur. Ada salah satu ungkapan yang sering saya dengar tentang jujur adalah "berkatalah jujur, walaupun itu pahit". Dari ungkapan ini, kita semua tahu, betapa penting kita dalam menjalani kompleksitas perjalanan kehidupan ini untuk selalu memegang teguh nilai-nilai kejujuran, bahkan dari kejujuran itu sebatas perkiraan kita di tahap selanjutnya akan memposisikan kita pada posisi yang kurang bahkan tidak meng-enakkan bagi kita.

    Bagi saya sendiri, istilah "jujur" adalah dimana seluruh piranti tubuh kita, baik itu dalam wujud berekspresi keluar atau kedalam (dengan diri sendiri), itu ada yang namanya kecocokan sikap. Soal kecocokan sikap ini, berarti dari sekian piranti yang terlibat dalam pemunculan sebuah ekspresi, itu sama. Sesekali dalam perdialogkan dengan orang-orang disekitar saya atau dengan diri sendiri ini, saya sering mengutarakan ungkapan "wah, beruntung sekali mereka-mereka yang hati, pikiran, dan lisan itu bisa sama". Mau tidak mau, ya memang persoalan kejujuran ini mempunyai tempat tertinggi dalam tatanan idealitas pribadi saya. 

    Memang jujur itu adalah sebuah perilaku bersikap, tapi perilaku ini bukankah hasil dari pemrosesan internal diri kita?. Entah itu lebih pada pendekatan cara berfikir atau lebih kepada pendekatan dari menejerial hati. 

    Kenapa pada judul tulisan ini ada kaitannya dengan self correction?

    Akhir-akhir ini, ketika saya mencari sebuh informasi lebih, terkait AI, ada salah satu hal yang membuat saya ini cukup tersinggung. Bagaimana tidak, dengan sekian banyak kelebihan yang dimiliki AI (terlepas kekurangan-kekuranganya), AI telah memberikan kesadaran bagi saya tentang keunikan-keunikan manusia itu sendiri. Salah satunya, soal bagaiman mengolah informasi dan memeberikan respon spesifik dari informasi itu sendiri. Dalam sebuah tulisan disebutkan, bahwasanya AI itu mempunyai kemampuan untuk learning, reasoning, dan self correction. Memang 3 hal ini manusia zaman sekarang secara alamiah memang sudah terbekali sejak awal menginjakkan kaki di dunia. Namun, tingkat kesadarannya yang menjadikan berbeda-berbeda dalam mengasah kemampun-kemampuan ini. Padahal, diujung perkembangan kemajuan zaman saat ini, telah ada produk pembuktian betapa mengerikannya kemampuan ini untuk terus diasah, salah satunya AI ini. Dan Self correction inipun juga menjadi hal yang penting dalam rangka bagaimana kita ini bisa terus berkembang ke tingkat yang lebih baik lagi. 

    Kenapa jujur menjadi awal dari proses self correctoin?

    Dalam proses self correction, terlebih dulu perlu adanya sebuah penataan cara untuk melakukan self correction. Merapikan cara untuk self correction ini penting, karena sangat mempengaruhi hasil daripada proses self correction itu sendiri. Dan hasil yang benar dari sebuah proses self correctin ini mengarahkan kepada step selanjutnya yang tidak ada utang-piutang kecelakaan sejarah self correction. Nah, begitupun sebaliknya, ketika salah dalam merapikan cara untuk melakukan self correction, itu menjadikan kita ini salah dalam menentukan hasil dari sebuah proses self correction. Dan kesalahan ini, kalau kita tidak sesegera mungkin kita benahi dan kita tidak mau melalui jalur kejujuran, yaaa selebihnya jangan berharap lebih soal hasil-hasil yang lebih baik.

    Keterlibatan kejujuran menjadi wasilah penting dalam keseuksesan proses self correction. Ketidak berhasilan dalam bersabat dengan kejujuran, menjadikan self correction ini hanya sebatas istilah saja. Tidak lebih. 

    Jujur ini mempunyai nilai tersendiri. Nilai yang memberikan banyak menu-menu pilihan cerah dimasa mendatang. Tetapi dalam banyak catatan sejarah, sebuah hasil yang ideal tentu selalu ada saja rintangannya. Tinggal bagaiman cara padang dalam memaknai rintangan ini. Kita memilih untuk menghadapi dan menikmati rintangan demi rintangan ini dengan enjoy atau kita memilih untuk memenuhi diri kita ini dengan angan-angan bualan saja.


    Selamat bersahabat dengan Kejujuran.

Pedoman Berpolitik Warga NU Mukhtamar NU XVIII di Kapryak Yogjakarta Tahun 1989


 

    Perhelatan pesta demokrasi di  Indonesia akan dilaksanakan di tahun 2024. Aspirasi-aspirasi personal maupun lebaga akan ikut serta dalam proses penentuan arah pesta demokrasi tersebut, dan ini tentunya cukup berkorelasi dengan wawasan berpolitik. masing-masing pandangan mempunyai dasar dan argumen tersendiri. Kadar orientasipun juga bermacam-macam. Tinggal seberapa dewasa, pihak-pihak yang terlibat ini, mampu mendialogkan berbagai macam perbedaan tersebut dalam bingkai kebangsaan di era arus digitalisasi yang kian berkembang pesat.

    Sebagai warga Nahdlatul Ulama, tentu dalam sejarah perjalanannya hingga saat ini telah kaya dengan pengalaman-pengalaman empiris saat menjalani proses perhelatan pesta demokrasi. Dalam memaknai politik, kiranya Nahdlatul Ulama sudah pernah mengidentifikasinya. Salah satunya dalam sejarah Mukhtamar NU ke-18 di Kapryak Yogjakarta pada tahun 1989 telah merumuskan tentang berpolitiknya Nahdlatul Ulama. Dan mungkin untuk memudahkan dalam mengetahui isinya, kiranya salah satu upaya ini memudahkan para pembaca untuk kembali membacanya.


Pedoman Berpolitik Warga NU

Mukhtamar NU XVIII di Kapryak Yogjakarta Tahun 1989

 

1.    Bepolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan berengara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

2.    Politik bagi warga Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integritas bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur, lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat.

3.    Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggungjawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.

4.    Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi Persatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawartan/perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

5.    Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran murani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.

6.    Berpolitik bagi Nahdlatul ulama dilakukan untuk memperkokoh konsesus-konsesus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan Akhlaq al-Karimah sebagai pengalaman ajaran Islam Ahlusunnah Wal Jamaah.

7.    Berpolitik bagi nahdlatul Ulama, dengan dalih apapun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.

8.    Perbedaan pandangan diantara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap terjaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama.

9.    Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.*

__________________________________

*M. Bisri Adib Hattani, Khittah wa Khidmah (Pati: Majma’ Buhuts An-Nahdliyah –Forum kajian ke-Nu-an, 2014) hal 51.


Opini saya,

Terlihat disini, NU memadukan antara falsafah negara sebagai buah pikiran manusia, yang kemudian menjadi dasar pengikat pada komunitas nasional didalam berbangsa dan bernegara dengan doktrin keagamaan Islam sebagai wahyu Allah yang kemudian menjadi dasar pengikat dalam komunitas keberagaman. Suatu perpaduan yang amat penting artinya bagi bangunan stabilitas di suatu negara.

Bagi saya, nampaknya NU juga ingin mendidik warganya secara kultural untuk menjadi insan politik yang kritis dan dinamis tanpa harus menunggu perintah panutannya, tanpa harus terikat oleh petunjuk seseorang, dan tanpa adanya ketergantungan pada arahan seseorang. Kedewasaan seperti ini akan menuntut kemauan dan kemampuan Orpol manapun untuk menyerap aspirasi warga NU yang beraneka ragam, tidak saja aspirasi keagamaannya. 

Yah, ini sebatas padangan saja. Bukankah perbedaan itu akan membawa suatu faidah jika dapat diarahkan untuk membuat demokrasi menjadi "proses belajar dan memecahkan masalah". 

Ikhtilaf memang rahmat.

TRIBALISME DI ERA DIGITAL

 TRIBALISME DI ERA DIGITAL


Kita melihat bahwasanya generasi muda sekarang ini adalah generasi yang diasuh oleh Tik Tok dan Instagram. Ini berkorelasi dengan kasus kecemasan, depresi, dan bahkan suicide atau bunuh diri yang semakin meningkat di kalangan anak-anak muda. Jadinya mungkin lebih sulit untuk kita melakukan Think Globally, and Act Locally atau berpikir secara global dan berperan secara lokal.


Dinamika Struktur Sosial

Dalam sejarah kita melihat adanya beberapa fenomena. Setidaknya ada 3 fenomena yang mencerminkan bagaimana manusia itu melakukan perjalanan hidup.

Pertama, kita melihat perjalanan spiritual manusia, itu sudah jalan selama beberapa ribu tahun dan ini bisa dianggap dalam konteks Organize Religions, yang mana mereka itu mencari sesuatu dan sesuatu yang dicari itu adalah kenyamanan batin atau bahkan bisa dianggap salvation (keselamatan), bahkan juga bisa dianggap redemption, penebusan atau pengampunan dari dosa.

Namun, akhir-akhir ini banyak dari masyarakat luas di seluruh dunia itu mulai tidak puas dengan beberapa kemunafikan yang dilakukan oleh beberapa pemimpin yang semestinya memimpin perjalanan spiritual tersebut, sehingga banyak yang mencari alternatif-alternatif baru untuk mencapai kenyamanan yang diinginkan, sehingga kita melihat fenomena kedua dalam beberapa ratus tahun terakhir ini.

Fenomena kedua ini tercermin dalam perjalanan sosial. politik, dan ekonomi untuk mencari solusi yang terbaik untuk kepentingan produksi dan juga distribusi untuk setiap manusia. Bagaimana perekonomian, negara, sistem itu bisa meningkatkan produksi, bagaimana mereka bisa meningkatkan produktivitas dan bagaimana mereka bisa meredistribusi produk-produk barang dan jasa semaksimal mungkin dari anggota, dari negara, atau komunitas tersebut. Ini bisa saja disebut sosialisme, komunisme, kapitalisme, ataupun liberalisme. Masing-masing beda tapi ujung-ujungnya adalah bagaimana mereka bisa membuahkan inklusi untuk anggota dari komunitas terkait. Namun, semakin banyaknya uang yang diciptakan, semakin banyaknya produksi yang dilakukan, kenaikan inklusi itu tidak semestinya nyambung dengan penurunan kesenjangan. Nah ini gap yang semakin kelihatan, di mana banyak sekali komunitas, banyak sekali negara, banyak sekali perekonomian itu sudah membanggakan diri bahwasanya mereka itu sudah bisa meningkatkan inklusi keuangan, tapi kok mereka belum bisa membuahkan penurunan kesenjangan yang berarti. Nah ini sekali lagi membuahkan kegelisahan di masyarakat luas.

Nah ini bergeser ke fenomena yang ketiga, di mana kita melihat semenjak akhirnya Perang Dunia ke-2, dunia ini diwarnai dengan tatanan yang sifatnya itu bipolar, yang berkuasa dulu hanya dua, apakah itu Uni Soviet ataupun Amerika Serikat yang mana itu berakhir di tahun 1989 dengan runtuhnya Tembok Berlin dan terjadinya disintegrasi Uni Soviet yang setelah itu menjadi Rusia di tahun 1991. Tapi bergeser lagi akhir-akhir ini dengan keberadaan negara-negara besar yang baru seperti Tiongkok, seperti Rusia, seperti India, Brazil, Afrika Selatan, dan juga ASEAN sebagai kumpulan dari 10 negara yang terdiri dari 680 juta manusia, yang mana ukuran ekonomi di ASEAN itu lebih dari 3 triliun dolar, posisi nomor 4 di dunia atau nomor 5 di dunia. Ini adalah cermin dari bagaimana semakin sulitnya kita untuk melakukan multilateralisasi karena banyak sekali kawasan-kawasan yang besar dan udah nggak ada satu polisi lagi. Sekarang polisinya banyak untuk memastikan bahwa masing-masing kawasan itu punya andil. Mereka memiliki tempat di sana. Jadinya mungkin lebih sulit untuk kita melakukan  Think Globally and Act Locally atau berfikir secara global dan berperan secara lokal, karena kita harus memikirkan apa yang lebih berarti untuk diri kita sendiri.

Mungkin saja pepatah yang lebih berlaku adalah bagaimana kita harus bisa merasakan penderitaan dunia, terus gimana kita bisa mengambil sikap yang lebih relevan, lebih berarti untuk komunitas kita sendiri atau Grieve Globally, Act Locally atau berkoar secara global, berperan secara lokal. Mungkin isu-isu yang kita harus rasakan secara global itu bisa termasuk dengan kesenjangan atau perubahan iklim. Tapi kita juga harus bisa memasukkan hal-hal seperti itu dalam konteks gimana kita bisa mengsolusikan untuk komunitas kita sendiri.

Tiga fenomena ini cukup menarik, tapi ini cukup niscaya di mana dari awal kita mencari Salvation and redumption atau penyelamatan dan pengampunan, terus kita mencari inklusi. Sekarang kita mencari solusi yang lebih komunal atau lebih tribal, lebih mencerminkan kesukuan dibandingkan mencerminkan globalitas yang mana itu berlaku untuk beberapa dekade sampai akhir-akhir ini.

 

Dampak Teknologi Terhadap Interaksi

Secara sosial, peran teknologi ini niscaya sudah sangat kelihatan dan sangat dirasakan. Tentunya, medsos itu berdampak terhadap tiga pilar. yang pertama adalah pilar anak muda. Semenjak ditemukannya tombol like share retweet di tahun 2009 yang diberlakukan untuk apakah itu Facebook, Twitter, dan juga Instagram, itu hanya untuk menciptakan viralitas, hanya untuk mencari popularitas. Tapi yang harus dipahami juga atau disadari adalah bagaimana ini berdampak secara negatif terhadap society atau komunitas. Jika setiap orang berwenang atas fakta mereka sendiri, sebenarnya tidak perlu untuk mereka berkumpul. Bahkan, orang-orang tidak perlu untuk berinteraksi. Kita kurang memiliki kendali atas siapa diri kita dan apa yang benar-benar kita yakini. Kita melihat bahwasanya generasi muda sekarang ini adalah generasi yang diasuh oleh Tiktok dan Instagram. Bagaimana mereka menggunakan HP selama 9 sampai 10 jam, dan mayoritas dari penggunaan HP tersebut hanya untuk melihat TikTok dan Instagram, yang mana konten dari dua platform tersebut itu sangat tidak tereditorialisasi. Ini adalah platform yang disaksikan oleh lebih dari 3 miliar manusia di seluruh dunia, tapi tidak tereditorialisasi. Jaminan apa untuk kita sebagai orang tua bahwasanya sampah yang begitu banyak dalam platform tersebut atau konten yang disajikan oleh platform tersebut, itu tidak disaksikan oleh generasi muda atau anak-anak kita ataupun cucu-cucu kita. Ini sangat sulit. Dan generasi TikTok dan Instagram ini, juga sangat lebih suka berkomunikasi satu sama lain. Mereka tidak terlalu suka berkomunikasi dengan generasi pendahulu kita. Jumlah manusia yang hidup sekarang anggaplah 7,8 sampai 8 miliar, mereka lebih suka berkomunikasi satu sama lain di situ. Tapi mereka tidak terlalu mau berkomunikasi dengan generasi pendahulu kita, di mana secara kumulatif yang meninggal dunia sampai sekarang di dunia ini kurang lebih 107 miliar manusia. Komunikasi dengan mereka itu disebut sebagai sejarah. Berkomunikasi dan belajar dari sejarah itu penting sekali untuk meningkatkan kebijaksanaan kita karena kita bisa belajar dari atribut-atribut yang positif, tapi juga yang negatif, sehingga kita bisa lebih bijaksana ke depan.

Ini berkorelasi dengan kasus kecemasan, depresi, dan bahkan suicide atau bunuh diri yang semakin meningkat di kalangan anak-anak muda. Dan ini mungkin atau kemungkinan besar berkorelasi dengan bagaimana kita tidak terlalu mengerti atau menyikapi mengenai apa yang disaksikan oleh anak-anak muda sekarang lewat platform medsos yang sangat tidak tereditorialisasi.

Pilar kedua yang terdampak oleh medsos adalah polarisasi percakapan. Bagaimana algoritma yang disajikan itu bisa mempolarisasi percakapan dan tentunya mempolarisasi komunitas akademis sehingga banyak yang semakin ke kiri dan banyak yang semakin ke kanan, sehingga yang semakin hampa adalah sentra ataupun sentralitas. Ini kurang baik, karena tentunya untuk melakukan proses intelektualisasi, kita perlu kutub kiri, kutub kanan, dan kutub tengah agar intelektualisasi itu lebih bijaksana dan lebih kaya ke depan.

Pilar ketiga yang terdampak oleh medsos adalah  amplifikasi terhadap narasi yang kental dengan kemarahan, kebencian, dan pertikaian. Ini bagaimana perusahaan-perusahaan teknologi itu terus-menerus meningkatkan algoritma agar narasi-narasi yang kental dengan kemarahan, kebencian, dan pertikaian itu terus menerus diamplikasi. Sedangkan narasi-narasi yang bijaksana, yang sehat itu tidak terampifikasi, sehingga dalam konteks demokrasi liberal itu semakin timpang antara narasi yang kurang baik dengan narasi yang jauh lebih baik. Tentunya dengan polarisasi percakapan yang terjadi dalam konteks demokrasi liberal, ini semakin tidak sehat. Semakin untuk mencari pemimpin yang cocok, itu semakin dicari apapun yang lebih kaya dengan viralitas, kaya dengan festivalisasi, kaya dengan sensationalisasi, bukan kaya dengan intelektualisasi. Ini sangat menjadi kekhawatiran untuk kita ke depan.

Tentunya kita hidup di era digital yang kental dengan 4 kekurangan-kekurangan atau kelemahan.

Pertama adalah digital deluge, banjirnya informasi secara digital yang tidak nyambung dengan the creation of idea atau pembuahan ide yang positif. Deluge atau banjir secara digital, ini justru sangat tidak sehat untuk generasi muda ke depan.

Kedua adalah digital distractions, semakin kita disajikan informasi yang kurang oke, semakin kita terganggu dengan hal-hal yang kurang oke. Kita tidak bisa focus ke hal-hal yang lebih oke, lebih sehat, lebih bijaksana.

Ketiga adalah digital dementia, dimana saking kita terlalu kewalahan dengan informasi digital, kita itu lupa, kita nggak bisa menyadari mana yang baik, mana yang kurang baik, mana yang sehat, mana yang kurang sehat, mana yang bijaksana, mana yang kurang bijaksana, mana yang lebih kental dengan kemarahan, pertikaian, dan kebencian, mana yang kurang.

Terakhir adalah digital deduction, semakin kita membelenggu diri kita sendiri dengan hal-hal yang kurang sehat di sosmed atau medsos, semakin kita mereduksi eksistensi kita. Banyak sekali di kalangan anak-anak muda sekarang itu yang tidak suka lagi baca buku. Mereka lebih memilih untuk membatasi dirinya itu di bawah 280 karakter. Apakah itu lewat Twitter, Facebook, TikTok, Instagram, sehingga ini kelihatan digital deluge, digital distractions, digital dementia dan digital deduction, sebagai hal-hal di era digital yang sangat harus disikapi ke depan.




        Ujung-ujungnya, gimana kita bisa menciptakan hygiene digital atau kebersihan secara digital. Saya
belum tahu, saya belum punya resepnya. Tapi mungkin yang bisa dipertimbangkan adalah mungkin kita melihat HP tidak sebanyak sebelum-sebelumnya untuk bagaimana kita bisa menditoksifikasi diri dari banyak hal yang buruk sekali yang ada di HP kita. Mungkin jangan 9 jam, jangan 10 jam, dikurangi saja.

Kedua, mungkin kita membiasakan diri untuk menarasikan narasi-narasi yang lebih relevan untuk kesehatan jiwa dan raga generasi yang muda sekarang dan generasi penerus mereka.

Ketiga, mungkin kita harus membiasakan diri untuk lebih melihat konten yang terkurasi atau tereditorialisasi, bahkan kalau perlu kita membiasakan diri untuk berperan dalam proses editorialisasi atau kurasi terhadap konten-konten yang semena-mena disajikan lewat platform digital tersebut.



Pendidikan. Lewat Pendidikan, Manusia Membentuk Arah Sejarah.

  


        P
endidikan memang tak pernah basi dibicarakan, apalagi diperdebatkan. Barangkali, karena untuk setiap masalah yang terjadi di republik ini, pendidikan selalu dituduh sebagai salah satu penyebab utamanya. Mulai dari merebaknya hoaks, kohesi sosial dan kualitas hidup yang rendah, hingga minimnya daya saing dan produktivitas bangsa. Tuduhan di atas amat mendasar. Meski, beberapa indikator capaian pendidikan kita sebenarnya meningkat. Misalnya, skor Indeks Sumber Daya Manusia (Human Capital Index) 2018 untuk komponen kualitas dan kuantitas pendidikan meningkat. Indonesia unggul dari negara-negara Asia Timur, Asia Selatan, Timur Tengah, Amerika Latin dan Afrika namun masih di bawah negara-negara Asia Pasifik seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina (Siaran Pers HCI Kemenkeu, 2018). Namun, hasil pendidikan kita secara umum masih saja dirasakan tidak memuaskan.

Penelitian SMERU dalam program ‘Research on Improving Systems of Education’ (RISE) 2021 ini mencoba melakukan analisis profil pembelajaran anak di Indonesia. Riset ini memetakan kemampuan berhitung siswa menggunakan data Survei Kehidupan Keluarga Indonesia (IFLS) selama periode 2000–2014. Sedihnya, ditemukan beberapa tren buruk dalam catatan pendidikan nasional: hasil belajar anak Indonesia pada 2014 lebih rendah dari tahun 2000.

Pertama, masih banyak anak sekolah yang tidak mampu menjawab soal berhitung yang seharusnya sudah mereka kuasai di jenjang kelas yang lebih rendah. Misalnya, hanya dua pertiga anak di jenjang kelas 3 yang mampu menjawab pertanyaan “berapa 49-23” secara tepat. Padahal, ini setara dengan kemampuan berhitung untuk anak di jenjang kelas 1. Hanya sekitar 35% siswa di jenjang kelas 12 yang mampu menjawab dengan benar pertanyaan tingkat kelas 5 terkait penghitungan bunga uang – artinya tujuh jenjang di bawah level mereka.

Kedua, peningkatan kemampuan anak semakin mengecil seiring naik jenjang kelas yang ditempuh. Anak mengalami peningkatan kemampuan berhitung yang signifikan pada jenjang kelas 1 sampai dengan kelas 6. Jadi dari kelas 1 sampai kelas 6, kemampuan berhitung naik pesat. Namun, tren peningkatan ini melambat dan menjadi cenderung datar setelah memasuki jenjang kelas 7 ke atas. Kemampuan anak tidak mengalami peningkatan yang signifikan ketika dia beranjak remaja dan belajar di jenjang sekolah menengah pertama (SMP) maupun sekolah menengah atas (SMA).

Ketiga, kemampuan berhitung anak pada tahun 2000 relatif lebih tinggi dibandingkan anak di jenjang yang sama 14 tahun kemudian. Capaian anak di setiap jenjang pada 2014 secara konsisten berada di bawah capaian tahun 2000. Ini berlaku baik bagi kelompok anak yang bersekolah, maupun anak yang tidak bersekolah. Artinya, setidaknya selama tahun 2000 hingga 2014, capaian pendidikan anak di Indonesia justru mengalami penurunan.

Tentu pertanyaan besarnya: Mengapa?

Sebelum mengulas lebih jauh, ada beda antara pendidikan (education) dan persekolahan (schooling). Untuk menjadi terdidik, orang tidak selalu harus tersekolahkan. Namun demi kesederhanaan pemahaman, istilah pendidikan di sini mengacu pada pendidikan formal, di mana persekolahan menjadi jantungnya. Diskusi tentang pendidikan biasanya berkisar pada hasil atau dampak pendidikan dan meminggirkan aspek proses. Kalaupun ada, fokusnya pada topik-topik seputar kurikulum, peran guru dan orang tua, partisipasi murid di kelas atau hal-hal lainnya yang dirasa penting untuk meningkatkan prestasi secara langsung. Padahal, menelisik proses manajemen investasi pemerintah di bidang pendidikan itu hal yang penting.

Perdebatannya: apakah ini perkara kebijakan atau tata kelola?

Arah kebijakan pendidikan Pendidikan adalah hak setiap warga negara. Negara bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan serta menentukan arah kebijakannya. Setelah amanat UU 20/2003 agar 20 persen APBN dialokasikan untuk pendidikan, beberapa pekerjaan di ‘dapur’ layanan pendidikan menunjukkan adanya perubahan-perubahan penting meski mungkin tidak banyak diketahui umum. Misalnya kebijakan untuk mendorong proses belajar mandiri semenjak dini. Ini hulu persoalan pendidikan yang dampaknya kita hadapi di hilir. Dua indikator yang sering dirujuk, Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Programme for International Student Assessment (PISA), keduanya ini mencerminkan kemampuan belajar siswa. Keduanya memang menempatkan Indonesia pada posisi tidak terlalu membanggakan, tapi bukan itu soalnya. Karena kedua indikator itu berorientasi pada hasil pendidikan, saya mencari indikator yang lebih mendasar, lebih universal, dan berorientasi pada proses, yakni rata-rata waktu membaca orang dewasa per minggu. Sekali lagi, rata-rata waktu membaca orang dewasa per minggu. Indikator ini penting mengingat bahwa ilmu yang didapatkan secara mandiri lazimnya dari membaca buku. World Culture Score Index 2015 menunjukkan bahwa di negara-negara yang indeks SDMnya di atas Indonesia, orang dewasa memiliki rata-rata waktu membaca per minggu lebih banyak. Di Thailand, 9 jam 24 menit per minggu; di Filipina, 7 jam 36 menit; di Jepang, 10 jam, dan di India, 10 jam 42 menit. Sementara di Indonesia hanya 6 jam per minggu. Hanya 6 jam per minggu. Padahal, membaca itu penting, karena terkait dengan logika dasar.

Membaca amat ditentukan oleh kebiasaan dan sejak kapan kebiasaan tersebut ditanamkan. Semakin dini dan semakin sering, maka hasilnya akan semakin bagus. Di Indonesia, peran pemerintah untuk mulai membiasakan membaca secara mandiri ternyata selama ini lemah. Survei BPS menunjukkan pada 2013, akses ke fasilitas Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hanya 27 persen. Artinya, 27 dari 100 anak memang memiliki akses ke PAUD, namun tidak selalu berarti mereka dididik di sana. Angka ini menunjukkan intervensi pemerintah saat itu pada akses membaca, kebiasaan membaca dan substansi pendidikan, masih sangat terbatas. Bank Dunia pada 2018 melakukan sebuah survey. Survey ini menunjukkan bahwa akses PAUD sudah mencapai 73 persen. Kenaikan signifikan selama lima tahun ini disebabkan oleh investasi pemerintah yang sejak 2015 gencar membangun infrastruktur PAUD, yang hingga saat ini sudah terbangun lebih dari 20.000 unit. Artinya ada perbaikan akses ke fasilitas PAUD, meski belum berarti kurikulum dan pengajar sudah memiliki kompetensi sebagaimana seharusnya. Upaya ini amat penting dipahami karena artinya arah kebijakan pembangunan pendidikan lewat PAUD sudah berada di jalan yang benar, walau sering tenggelam di ruang publik. Pendidikan usia dini di masa pertumbuhan (usia emas 0-5 tahun) memang sangat penting dalam menunjang pembentukan mental, karakter dan daya pikir anak-anak, termasuk kebiasaan membaca.

Tingginya rata-rata waktu membaca mencerminkan inisiatif mandiri individu untuk menambah ilmunya, merangsang kematangan serta kritis berpikir. Ini dapat terwujud apabila kebiasaan membaca dimulai sejak dini dan akses kepada fasilitas untuk membaca diwujudkan. Dalam konteks ini, lewat PAUD, saya kira negara telah hadir memenuhi hak warga negara untuk pendidikan dan membangun masa depan bangsa.


Aspek kedua adalah tata-kelola. Apa yang berantakan dan terbaca di ruang publik seringkali bukanlah karena arah kebijakan, melainkan semrawutnya tata-kelola. Bahkan, arena tata-kelola itu lantas jadi amat rentan dipolitisasi. Contohnya, guru. Kualitas guru amat mempengaruhi kualitas siswa dan kualitas pendidikan. Peran guru, kata Ki Hadjar Dewantara, adalah “Ing ngarsa, sung tuladha; ing madya, mangun karsa; tut wuri, handayani.” Saat di depan ia memberi contoh, saat bersama-sama ia memberi semangat, dan dari belakang ia memberikan dukungan. Guru memang seharusnya bisa digugu dan ditiru. Dipercaya dan dicontoh. Sayangnya, tata-kelolanya cenderung diabaikan. Yang sering diperdebatkan adalah soal pendidikan, penguatan profesi, kompetensi, dan sertifikasi. Padahal, satu hal terpenting yang harus dikaji adalah rekrutmen. Data menunjukkan rekrutmen guru meningkat drastis di daerah seputar pemilihan kepala daerah (pilkada) sejak 2005 hingga 2013 (Bank Dunia, 2014) dan trend ini masih berlangsung sampai sekarang. Bagi mereka yang kerap terlibat politik daerah, hal ini bukanlah baru. Namun data ini mengukuhkan dugaan politisasi rekrutmen guru selama ini.

Pertanyaannya: mengapa profesi guru rentan menjadi arena pemenuhan imbal jasa politik khususnya di daerah?

 Dugaan yang cukup kuat namun masuk akal adalah karena sejak adanya tunjangan profesi guru, maka rata-rata pendapatan guru lebih tinggi dari sektor lain. Selain itu, janji politik pengangkatan para guru yang sebagian besar, atau malah semuanya honorer ini, menjadi PNS. Padahal, itu di luar kewenangan daerah. Seandainya lonjakan rekrutmen guru ini dibarengi kualifikasi yang layak, maka sebenarnya tidak jadi soal. Namun, faktanya tidak demikian. Berbagai kasus menguatkan dugaan bahwa rekrutmen tidak dilakukan berdasarkan kompetensi, tetapi politis. Permasalahan semakin terlihat ketika yang sudah direkrut justru tidak ditempatkan di sekolah sebagai pengajar. Atau, direkrut menjadi guru namun tidak punya kompetensi dasar sebagai guru. Padahal, UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan agar guru setidaknya berpendidikan D4 dan memegang sertifikat dari Pendidikan Profesi Guru (PPG). Ini berarti terjadi inefisiensi belanja negara: pengeluaran untuk SDM pendidikan membengkak namun tidak disertai dengan meningkatnya kualitas layanan pendidikan. Akibatnya sekolah dipaksa melakukan rekrutmen guru honorer untuk mengajar dengan pendanaan sendiri dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS), yang memang diniatkan untuk membantu investasi dan memberikan layanan pendidikan di sekolah.

Empat hingga tujuh tahun terakhir ini, pemerintah mencoba berbenah. Pertama, pembenahan data pendidikan pada dan lintas kementerian/lembaga. Terungkap fakta bahwa jumlah guru sebenarnya sudah lebih dari cukup. Dalam kurun 2012-2017 guru yang dihasilkan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) mencapai 1,94 juta orang. Saat ini kita memproduksi lebih dari 240.000 guru per tahun, padahal kebutuhannya hanya sekitar 40.000. Selain itu, mereka tidak terdistribusi merata dan bersertifikat. Situasi ini cermin (mis)management tata-kelola guru. Pendidikan tinggi keguruan seharusnya berinovasi agar sarjana pendidikan juga bisa menjadi guru; sedangkan PPG harus ditingkatkan kapasitas dan kualitasnya.

Kedua, pembenahan tata-kelola anggaran pendidikan. Lebih dari 63 persen anggaran pendidikan yang sebesar 20 persen APBN merupakan transfer daerah yang tidak selalu bisa dimonitor penggunaannya apalagi diminta pertanggungjawabannya. Padahal, pemda punya tanggung jawab menjalankan fungsi pendidikan. Pemerintah berinisiatif dengan Neraca Pendidikan Daerah (NPD). NPD adalah satu cara mengejar tanggung jawab ini. Jadi, bagaimana kita menangani dan mengawasi tata-kelola guru ini? Saat ini sudah ada Pengawas Sekolah, dan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) sebagai lembaga yang mengawasi guru dan sekolah. Namun ini belum optimal karena keterbatasan kapasitas. Jadi, apa artinya? Selama ini tidak ada mekanisme efektif untuk mengawasi investasi pemerintah terhadap guru, investasi pemerintah di sekolah, dan investasi pemerintah di layanan pendidikan. Dan jelaslah ini bukan perkara arah kebijakan, melainkan tata-kelola.

Tiga atau empat tahun terakhir, Pemerintah mencoba untuk memperbaiki. Karena itu, pembenahan yang dilakukan pemerintah mesti menyasar proses bisnis tata-kelola guru dan tenaga kependidikan. Misalnya moratorium pengangkatan guru PNS, larangan rekrutmen guru honorer menjelang dan sesudah pilkada dengan janji di-PNS-kan, hingga pembenahan data guru dalam formulasi transfer Dana Alokasi Umum (DAU). Beberapa proyek percontohan seperti Kinerja dan Akuntabilitas (KIAT) Guru (2015-sekarang) mencoba memberi solusi terhadap kebutaan pemerintah atas keberadaan guru serta kualifikasi mereka. Saudara-saudara, perlu kita pahami bahwa upaya menilik arah kebijakan dan membenahi tata-kelola sektor pendidikan ini merupakan suatu proses yang hasilnya tidak segera nampak. Pembenahan baru terjadi empat hingga tujuh tahun terakhir ini. Jika konsisten diteruskan, hasil yang signifikan mungkin baru akan terasa setelah lima sampai sepuluh tahun, sedangkan dampaknya mungkin setelah sepuluh tahun, atau malah lebih. Penyelenggaraan sistem pendidikan memang tanggung jawab pemerintah. Tetapi keberhasilannya adalah tanggung jawab bersama. Pembenahan sektor pendidikan ini penting dan banyak hal yang terjadi di dapur layanan pemerintah tidak bisa dianggap sekedar ‘hanya urusan dapur’. Justru, kunci pembenahan kebijakan dan tata-kelola adalah ‘dapur’ itu sendiri, yakni proses kerja dan proses bisnisnya.

Masa depan dunia terletak di tangan mereka yang terdidik baik. Lewat pendidikan, manusia membentuk arah sejarah. Keyakinan ini harus terus kita rawat. Pendidikan harus dikawal kebijakan dan tata-kelolanya karena ia menentukan kualitas keadaban publik (public civility). Hanya melalui pendidikan, anak-anak kita, atau anak-anak mereka, akan membentuk arah sejarah dan masa depan bangsa besar ini. Mari kita terus mendidik diri sendiri dan dengan demikian, mendidik bangsa ini.

 

SYAHDAN

    Pada tempat yang sunyi , senyap , disekitar macam-macam gunung diluar Mekah timbullah berkali-kali persoalan. Lagit Arabia tiada dili...