OBAT RESAH MANUSIA MODERN

 

OBAT RESAH MANUSIA MODERN

 

Stoisisme:

Penawar Keresahan Manusia Modern

 

Sebuah Resensi Buku How to Be a Stoic : Using Ancient Philosophy to Live a Modern Life (Massimo Pigliucci)

 

        Stoicism atau stoisisme itu adalah filosofi yang mengajarkan bagaimana kita bisa hidup dengan kebahagiaan yang penuh. Konsep ini cukup tua, dan ini dilahirkan di kota Athena oleh orang yang namanya Zeno yang berasalakan dari Citium atau yang sekarang dikenal dengan Cyprus. Itu kurang lebih di awal abad ke-3 sebelum masehi, dan ini berlanjut dan tentunya dilanjutkan oleh mantan budak yang bernama Epictetus di zaman Romawi. Setelah itu dilanjutkan oleh Seneca seorang politikus, dan setelah itu dilanjutkan oleh Marcus Aurelius seorang kaisar di zaman Romawi. Ini semua terjadi di milinea pertama.

 

        Ada beberapa praktek yang bisa dipertimbangkan untuk kita bagaimana menjadi Stoic, bagaimana kita bisa menjadi bijak atau menjadi filusuf untuk mencari kebahagiaan yang nyata.

 

1.                Pertama adalah, bagaimana kita bisa menelaah kesan dari hidup kita. Tentunya itu dengan catatan kita harus terlebih dahulu mengetahui apa yang bisa kita kontrol dan apa yang kita tidak bisa kontrol. Semakin kita menyadari batas apa saja yang bisa kita kontrol, semakin kita bisa menerima apa yang terjadi pada diri kita sendiri.

2.          Kedua adalah, kita menyadari bahwa segalanya itu tidak kekal. Ini sederhananya bahwasanya segalanya itu tidak baku. Jadi kalau ada sesuatu yang terjadi dengan diri kita, semakin kita menyadari bahwa itu semua tidak baku, semestinya kita bisa menjadi stoik. Memang tidak kekal itu inti dunia. Karena, semua orang tau dari kecil bahwa hidup itu tidak kekal. Dia juga melihat orang tuanya dari rambut putih menjadi ber-uban. Juga melihat Kakek neneknya, dari gesit menjadi lemah. Siang jadi malam. Pagi jadi petang. Dan lain sebagainya.

3.               Ketiga adalah, reserve close atau antisipasi kemungkinan terburuk. Sering kali kita dalam menentukan planning untuk menentukan sesuatu, “we have to plan for the worst”, kita harus berencana untuk merencanakan hal-hal yang lebih parah daripada apa yang kita antisipasi. Agar nanti kalau kita kepleset, kita sudah siap atau bisa mengantisipasi hal-hal yang ada diluar batas wajar atau hal-hal yang tidak kita rencanakan.

4.                      Keempat adalah, virtue, here and now, atau menjadikan kebajikan sebagai acuan. Intinya tidak ada hal yang kita tidak memiliki kapasitas moral untuk menunjukkan toleransi. Ibaratnya tidak ada hal yang tidak bisa kita jabanin atau hadapi. semakin kita berpikir seperti itu, semakin kita melakukan positive thinking, semakin kita menuju kepada stoikisme.

5.                  Kelima adalah, istirahat atau rehat sejenak. Kalau stres, kalau kita mengalami sesuatu yang diluar kontrol atau bahkan diluar batas wajar, kadang-kadang kita harus istirahat. Dan itu akan membantu kita untuk lebih menjadi stoic.

6.                  Keenam adalah: yang sering kita sebut sebagai otherize atau memahami perspektif orang lain. Ini adalah konsep bagaimana kita bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain, itu kita juga bisa rasakan. Jadi, apa yang dilakukan orang lain, itu kita harus bisa membayangkan bahwa itu juga bisa terjadi dengan kita. Ini bukan semata hanya simpati atau empati, tapi kita juga harus bisa membayangkan kalau orang disebalah kita itu kepleset, kita itu harus bisa membayangkan bahwa hal tersebut bisa terjadi dengan kita juga. Sehingga kita bisa lebih siap mental, tentunya kita juga bisa lebih stoik.

7.              Ketujuh adalah, bicara seperlunya saja. Berbicara yang minimalis. Tapi apapun yang kita artikulasikan itu kita artikulasikan dengan cara yang berkenan atau baik.

8.                  Kedelapan adalah, kelilingilah diri kita dengan orang-orang yang keren atau orang-orang yang baik. Bangun sistem dukungan. Kalau kita mau keren ya kelilingi diri kita dengan orang-orang yang keren. Bahkan dengan orang-orang yang bagi kita itu lebih stoik kalau kita mau menjadi orang yang stoik. Tentunya kalau kita mengelilingi diri kita dengan orang-orang yang tidak stoik, atau tidak filsuf, atau tidak bijak semakin kita tidak bisa menjadi orang yang stoik.

9.                  Kesembilan adalah kalau kita diledekin atau apa, biasakan kita merenspon dengan humor. Ini dalam artian tidak mudah tersinggung. Karena humor itu adalah obat untuk banyak hal. Kalau kita di bully, kalau kita diledek, atau kita dikompromi, atau disiasati, tidak usah baper, kita renspon saja dengan humor, karena ini adalah bagian dari hidup kita dan semakin kita bisa mengakomodasi hal-hal dengan humor semakin kita bisa menjadi manusia yang lebih stoik. Dan ada yang mengatakan bahwa dunia ini neraka bagi mereka yang baperan.

              Kesepuluh Jangan terlalu ngobrol terlalu banyak mengenai diri kita. Jangan sombong. Gunakan konsep learn to lesson ketika kita ngobrol dengan orang. Semakin orang yang Anda ajak ngobrol itu semakin banyak ngobrol daripada diri Anda sendiri, itu semakin baik. Karena the power of listening itu lebih besar dibanding the power of speaking atau the power of talking.

1          Kesebelas kalau kita bicara, jangan menggunakan judgement. Jangan cepat menyimpulkan. Kalau kita ngobrol dengan siapapun, itu jangan cenderung dengan penilaian yang apriori. Semakin kita itu apriori dengan penilaian, itu semakin kita kabur, semakin kita itu sulit untuk bisa berkomunikasi dengan baik.

12        Terakhir adalah reflect upon the day renungkan harimu. Refleksi diri. Jadi, kalau kita melakukan aktifitas sehari-hari, catat saja, jurnalkan saja plus minusnya, up and down-nya dicatat. Semakin kita bisa mencatat, semakin kita bisa melakukan refleksi terhadap apa yang sudah kita lakukan sebelum-sebelumnya.

 

Ini adalah beberapa tips, ada 12 exercises yang dianjurkan bisa dilakukan oleh kita semua agar kita bisa mencapai kulminasi atau titik stoikisisme.

FAKTOR “X”

 

FAKTOR “X”

 

            Akhir-akhir ini banyak yang menanyakan tentang apasih faktor “X” untuk kita semua lebih keren?. Dan lucunya, mereka bertanya kepada saya.

 

            Tapi intinya ada 3 faktor.

 

            Pertama: ini adalah conscience atau hati nurani. Ini bisa dikembangkan dalam banyak sekali konteksnya. Tapi mungkin yang paling nyata itu adalah dalam konteks historis atau sejarah kita. Waktu kita merdeka itu tentunya yang sebagai pelopor kemerdekaan itu Bung Karno. Tapi Bung Karno itu juga ditopang, didukung, dibantu oleh Bung Hatta. Yang sampai sekarang ini dikenal sebagai Bapak koperasi Indonesia. Yang mana beliau itu mengedepankan semangat gotong royong. Dan perlu kita sadari bersama bahwasanya pemimpin yang paling berpengaruh di masyarakat adalah Mohammad Hatta. Beliau pernah bilang bahwa sanubari Indonesia penuh dengan rasa bersama. Bahwa di Indonesia, rasa kebersamaan itu bisa dilihat, rasa kolektivisme itu bisa dilihat di setiap desa dengan adanya kerja bakti, arisan, gotong royong, itu sangat kuat.

 

Semangat gotong royong ini penting sekali, untuk bagaimana kita bisa membuahkan social credit atau kredit sosial. Agar kita bisa melakukan sosialisasi, membina jaringan, agar tentunya produksi dan produktivitas itu semakin meningkat dengan cara yang bijaksana. Beliau juga dikenal sebagai sosok yang memperjuangkan kedaulatan. Nah ini nyambung dengan bagaimana kita harus membina hati nurani. Apalagi sekarang kalau yang sering kita dengar adalah topik mengenai perubahan iklim. Perubahan iklim yang sangat pesat. Kita sering mendengar bahwasannya dari awal mula planet Bumi 4,6 miliar tahun yang lalu sampai sekarang, kita sudah meng-emisi karbon dengan jumlah yang besar sekali, lebih dari 1.500 gigaton. Yang mana emisi karbon per tahun itu kurang lebih 60-70 gigaton.

 

“Manusia telah menghasilkan sekitar 1.500 gigaton karbon dari awal peradaban hingga 2016”. (Philip Gingerich, University of Michigon)

 

            Tapi kalau kita lihat karbon yang tersisakan di planet Bumi itu hanya 2000-3000 gigaton. Kalau kita menggunakan business as usual, atau yang itu-itu saja, ya kehidupan kita ini cukup finite, kita hanya memiliki 50 atau 60 tahun lagi. Tentunya tanpa perubahan gaya hidup, tanpa perubahan energy equation kita. Tentunya kita harus mengubah. Kita tidak bisa terus-menerus membodohkan masa depan untuk kepentingan convenience di hari ini. Kita harus menyadari, kita harus menunjukkan hati nurani yang lebih, agar kita bisa bukan hanya menyelamatkan, tapi bisa memupuk masa depan kita agar bisa lebih ramah lingkungan, lebih lestari, dan lebih keren.

 

Mungkin salah satu sosok yang muda, yang akhir-akhir ini menjadi sosok terkenal untuk kepentingan lingkungan atau kepentingan perubahan iklim adalah Greta Thunberg. Usianya mungkin 17 Tahun. Follower instagramnya 17 juta kurang lebih. Tapi lucunya kalau saya bandingkan dengan sosok yang lain, seperti Kyle Jenner yang itu follower instagramnya bisa 270-280 juta. Nah, dari situ kita sudah melihat walaupun Greta itu memiliki pengikut yang luar biasa banyak, tapi kenyatannya di kalangan Generasi Z ini menunjukkan bahwa justru yang tidak memikirkan hal-hal yang terkait dengan lingkungan atau climate change, itu yang lebih dianggap keren. Nah, ini mungkin harus kita pelajari, harus kita sadari. Ini hati nuraninya nih gimana?. Conscience-nya dimana?. Bagaimana untuk kita bisa menunjukkan cocscience yang lebih tinggi, agar bukan hanya Greta itu followernya bisa lebih dari 280 juta, tapi bagaimana Indonesia itu juga bisa membuahkan belasan atau puluhan orang seperti Greta yang memperjuangkan isu-isu yang sifatnya jangka panjang.

 

Kita telah sampai pada titik kritis dimana keputusan-keputusan yang harus dipilih menjadi semakin jelas terkait kelangsungan hidup umat manusia sendiri dalam menangani 2 masalah besar jangka panjang, yaitu: meningkatnya ketidaksetaraan yang tampaknya tak terbendung diseluruh dunia dan juga kebiasaan serakah untuk menggadaikan masa depan lingkungan dan planet untuk kenyamanan dan pada saat yang sama, kemewahan dari generasi saat ini.

 

Akhir-akhir ini kita harus mulai mengobrol mengenai isu-isu yang sifatnya jangka panjang, apakah itu perubahan iklim, apakah itu kesenjangan, apakah itu terkait dengan inklusi keuangan. Kalau menurut saya, isu-isu seperti itu penting, dan itu akan melatih bukan hanya kita, tapi generasi muda untuk berpikir bukan hanya jangka panjang tapi juga berpikir secara strategis, agar kita bisa melihat masa depan dunia ini lebih indah daripada apa yang kita lihat selama ini. Yang mana kita mungkin saja untuk kepentingan industrialisasi kita tidak mengedepankan kepentingan untuk menjaga lingkungan, untuk menjaga apapun yang sangat berharga di sekitar kita.

 

            Atribut kedua: yang seringkali kita bahas akhir-akhir ini adalah breadth atau kelebaran wawasan. Ini mungkin telah terjadi perdebatan antara satu school thought yang mengedapankan spesialisasi, tapi berkontras dengan school thought yang satu lagi, yang mengedepankan kepentingan untuk melebarkan wawasan atau generalisasi. Ini bukan mengenai betul atau tidak, tapi ini lebih mengenai bagaimana kita bisa memitigasi resiko jangka panjang. Saya berhepotesa bahwasanya kalau kita wawasannya lebih lebar itu kita bisa memompa intuisi kita. Dan semakin intuisi kita itu lebih tajam, lebih banyak, itu semakin kita lebih bisa membuahkan wisdom atau kebijaksanaan. Dan semakin kita memiliki intuisi atau kebijaksanaan, semakin kita bisa memitigasi resiko-resiko yang sistemik atau yang sifatnya berjangka panjang. Nah, ini penting sekali tentunya kita bisa menggunakan contoh-contoh seperti Roger Federer, seperti Rudy Hartono. Rudy Hartono itu sebelum dia mulai bermain bulu tangkis, itu dia bermain bola voli, bermain cabang olahraga yang banyak sekali. Sama juga dengan Roger Federe sebelum dia mulai main tenis, dia itu main bola, main apapun yang ada bolanya. Nah, ini bisa dimasukkan dalam konteks bagaimana seseorang bisa menjadi early specializer ataupun late specializer.

 

Late specialization is actually good. Early is not necessarily good.


                late specialization (Spesialisasi yang terlambat) itu justru sudah melewati penyempurnaan dan exposure ke banyak dimensi, banyak hal. Sehingga begitu dia mencapai titik yang dia ingin lakukan spesialisasi, itu dia sudah mengetahui banyak hal mengenai dimensi-dimensi yang dia sudah lewati sebelumnya. Nah, kalau ini menurut saya nyambung dengan kepentingan kita untuk bagaimana kita bisa melebarkan wawasana atau breadth. Ini penting sekali sebagai atribut kedua, agar kita bisa menyongsong masa depan yang keren.

 

            Atribut terakhir atau yang ketiga: adalah terkait dengan artikulasi. Bagaimana supaya bisa memproduksi massal narator-narator. Saya seringkali mengobrol dengan banyak teman, banyak narasumber, mengenai bagaimana sih untuk kita bisa melihat lebih banyak story teller, lebih banyak narator mengenai Indonesia. Tidak hanya itu saja, tapi juga menarasikan narasi kita bukan hanya di kolam sendiri saja, tapi di lautan yang begitu luas di seluruh dunia. Agar indonesia itu lebih bisa di dengar dan tentunya tidak malu-maluin.

 

Atribut-atribut yang keren mengenai  Indonesia itu banyak sekali, tentunya termasuk eksistensi kita sebagai demokrasi terbesar nomor 3 di dunia, populasi terbesar nomor 4 di dunia, perekonomian terbesar di Asia Tenggara, populasi terbesar di Asia Tenggara, satu-satunya negara muslim terbesar di dunia, dan juga sangat moderat. Dan ini saya membayangan bagaimana kita sangat bisa berperan sebagai peradaban untuk bisa menjembatani antara beberapa ataupun dua peradaban yang berbeda.

 

Akhir-akhir ini kita mendengar mengenai decoupling, atau tensi atau perceraian antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Ini sangat diperlukan interlokutor yang piawai, yang piawai menarasikan bagaimana semestinya ke depan untuk bisa menjembatani satu peradaban yang sudah eksis selama 4000-5000 tahun dengan peradaban lainnya yang sudah eksis lebih dari 200 tahun. Indonesia sebagai peradaban, sudah eksis selama kurang lebih 2000 tahun. Asia Tenggara juga sebagai peradaban sudah eksis selama 2000 tahun. Kita sudah dilewati oleh agama Budha selama 400 tahun, agama Hindu selama 600 tahun, kolonialisme, Islam, kemerdekaan, demokratisasi selama 600-700 tahun. Cobaannya sudah banyak sekali, tapi kita tetap masih eksis, utuh dengan kekayaan yang luar biasa, termasuk tentunya kerukunan, kebersamaan, dsb. Ini sebenarnya bekal yang kita harus sadari, bekal yang kita harus narasikan atau bekal yang kita bisa berdayakan untuk menarasikan bahwasannya Indonesia ini sangat lebih berperan. Ini cabangnya banyak sekali kalau kita bisa membuahkan story teller atau narator yang banyak jumlahnya, ini bisa diberdayakan untuk kepentingan social enterprise, untuk privat enterprise, bahkan untuk public/geo-political enterprise. Ini kalau menurut saya adalah atribut terahir yang sangat bisa menjadi bagian dari faktor “X” yang dibutuhkan oleh generasi muda penerus agar bukan hanya Indonesia, bukan hanya Asia Tenggara, bukan hanya Asia-Pasifik, tapi dunia itu bisa menjadi lebih keren kedepan.

TEKNOLOGI VS MORALITAS

 


Akselerasi Tekonologi dan Goyahnya Moralitas

 

            Belajar dari sejarah, pesatnya kemajuan sains dan teknologi juga berpotensi menimbulkan resiko kesilapan moral dan etika dalam penerapannya. Diperlukan kebijaksanaan untuk lebih mendahulukan isu-isu yang sifatnya jangka panjang dan punya andil pada kemajuan peradaban.

 

Banyak yang berpendapat bahwasanya revolusi industri pertama itu terjadi di pertengahan abad ke-19. Tapi mungkin kalau kita tarik lebih awal lagi, industri itu ber-evolusi dan ber-revolusi, itu mungkin sekitar seratus ribu tahun yang lalu, semenjak api ditemukan oleh manusia. Dan kalau kita lihat yang kedua, revolusinya itu mungkin terjadi sewaktu tulisan dan roda ditemukan oleh manusia. Itu terjadi mungkin sekitar lima sampai enam ribu tahun yang lalu. Barulah kita selanjutnya ke revolusi industri, yang mana uap, listrik, komputer, internet, dll ditemukan. Masa itu kita lewati semenjak abad ke-19 sampai akhir-akhir ini.

 

Tetapi yang perlu dicatat adalah semakin industri atau teknologi ber-evolusi dan ber-revolusi, itu yang terjadi adalah peningkatan speed dan acceleration perubahan inovasi tersebut. Dan semakin speed dan acceleration itu meningkat, semakin manusia terekspos dengan human of error yang lebih besar. Manifestasi dari error-error atau kesalahan tersebut itu bisa dilihat dalam Perang Dunia ke 2 misalnya. Dimana puluhan juta manusia itu meninggal dunia. Dan kita harus sadar bahwa ke depan semakin teknologi itu ber-evolusi dengan speed dan acceleration yang meningkat, semakin human of error itu semakin lebar. Dan  error-nya itu akan semakin besar. Nah, manusia harus menyadari, ini hanya bisa dimitigasi kalau kita menyadari dan bisa menunjukkan kebijaksanaan. Kalau kita menyadari dan bisa menunjukkan kebijaksanaan, karena kita melihat di Perang Dunia ke 2, dengan pemberdayaan teknologi yang sama, tapi dikarenakan perbedaan ide dan ideologi pemberdayaan teknologi, itu dimanfaatkan untuk kepentingan yang membuahkan korban yang begitu banyak. Ini bukan berarti tidak bisa terjadi di abad ke 21, dan ataupun bukan berarti tidak bisa terjadi di abad ke 22.

 

Nah, akhir-akhir ini kita melihat bahwasanya inovasi internet yang sangat pesat itu kurang lebih 60% per tahun untuk periode tahun 90 an sampai tahun 2020. Ini sudah dilewati dengan fenomena yang baru, yang namanya blockchain. Blockchain mungkin semenjak 15 tahun yang lalu ini pertumbuhannya jauh lebih pesat dibandingkan internet. Pertumbuhannya itu kurang lebih 110%-120% per tahun dari sisi jumlah pengguna aset criypto. Ini adalah tingkat adopsi tercepat dari teknologi apapun dalam sejarah manusia. Dan ini adalah manifestasi dari apa yang sudah tersampaikan tadi, yaitu speed dan acceleration sudah dan akan terus meningkat.

 

Kita juga harus menyadari bahwa dalam waktu dekat kita akan diwarnai dengan atau oleh aplikasi blockchain yang akan lebih menyeluruh. Kita melihat blockchain ini sudah sangat nyata aplikasinya dalam konteks desentralisasi transaksi keuangan atau ekonomi. Bahkan apapun itu yang sifatnya menempel dan ada hubungannya dengan duit atau uang. Dan masyarakat luas di negara-negara maju, dan sudah mulai di negara-negara berkembang seperti Indonesia, sudah mulai mendekatkan diri dengan pemberdayaan blockchain. Dikarenakan satu: ini sifatnya tidak sentralistis, jauh lebih desentralistis. Kedua: blockchain ini sangat bisa teraih identifikasi mengenai siapa yang bertransaksi yaitu transparan. Ketiga: blockchain ini tentunya akuntabilitas atau recourse. Seringkali kita tidak menyadari bahwa penting untuk kalau kita bertransaksi, kita harus memiliki akuntabilitas atau recourse, transparansi, identifikasi, dan juga yang lebih real time. Hal ini dikarenakan dilakukan secara desentralistis, dan ini bisa dianggap lebih real time. Anggaplah kalu kita mau transfer uang lewat sistem yang bisa dianggap sentralistis, itu kita harus menunggu satu, dua, atau tiga hari sampai itu mencapai tujuan. Intinya kalau kita melihat bahwasannya masyarakat luas ini sudah lebih mendekatkan diri dengan bukan hanya konsep, tapi aplikasi blockchain yang lebih desentralistis. Kita harus menyadari ini prospek aplikasi blockchain ke unsur yang sifatnya non-keuangan, ini sangat memungkinkan. Tokenisasi ini bisa diaplikasikan atau deberdayakan untuk kepentingan banyak hal, apakah itu sosial, budaya, politik, geo-politik, diversitas ataupun biodiversitas. Seperti yang kita lihat rare-growht atau pertumbuhan diatas 120% ini bukan semata manifestasi dari bagaimana manusia itu sudah sangat bersemangat dengan aplikasi dalam konteks keuangan, tapi manusia ini sangat bersemangat dengan prospek-prospek tambahan yang mana kita bisa melihat aplikasi yang lebih komprehensif yang lebih lebar.


Dari segi korporat kita melihat ada satu perusahaan namanya Tesla. Pada Oktober 2021 Tesla menjadi perusahaan keenam dalam sejarah AS yang bernilai $1 Triliun. Tesla adalah perusahaan tercepat kedua setelah Facebook yang mencapai valuasi tersebut. Yang mana kalau kita lihat nilai perusahaan ini per mobil terproduksi dan terjual, itu diatas 1,5 juta dollar. Padahal mobil Tesla itu dijual di jalanan hanya dengan harga antara 35 sampai 120 ribu dollar. Tapi harga sahamnya atau harga perusahaannya per mobil terproduksi itu diatas 1,5 dollar, dibandingkan perusahaan-perusahaan otomotif lainnya yang bisa dibilang masih konvensional. Seperti Volkswagen, Daimler, Toyota, dll. Yang mana harga perusahaan per mobil terproduksi atau terjual dikisaran dua puluh sampai tiga puluh ribu dollar. Divergensi atau gap antara nilai perusahaan Tesla dengan perusahaan-perusahaan otomotif yang konvensional, ini mencerminkan beberapa hal. Pertama adalah AI atau Artificial Intellegence atau kecerdasa Artifisial yang sangat diberdayakan dan diamalgamasikan dengan dua atribut lainnya: yaitu robotik dan juga otonomi. Otonomi ini adalah kapasitas mobil itu bisa nyopir sendiri tanpa disopirin oleh seseorang sopir atau kita sendiri. Nah, tiga hal yang teramalgamasi ini membuahkan evolusi teknologi yang luar biasa.

 

Dalam konteks Indonesia masih banyak sektor-sektor yang belum terdisrupsi. Kita telah melihat disrupsi yang nyata sekali dalam konteks transportasi, dalam konteks marketplace/retail. Tapi kita juga masih melihat ada banyak sektor-sektor yang belum terdisrupsi. Termasuk  tentunya energi. Apakah itu di hulu sampai hilir. Dalam sektor kesehatan kita melihat 21 bulan terkahir ini disrupsinya nyata, tapi ini hanya menggores permukaannya. Dan dalamnya masih belum terdisrupsi. Tiga, tentunya pariwisata. Pariwisata ini sangat prospek untuk kepentingan, bukan hanya kesejahteraan, tapi kepentingan redistribusi kesejahteraan di Indonesia dan seluruh dunia. Keempat adalah sektor pertanian dan peternakan. Ini besar sekali, ini kurang lebih 14% dari PDB kita, itu kalau dihitung berdasarkan PDB 1,1 Triliun dollar, itu angka pertahunnya bisa mencapai 150-160 miliar dollar. Selanjutnya adalah pendidikan. Pendidikan belum terdisrupsi. Kita sudah melihat ada beberapa platform digital yang sudah mendisrupsi, tapi hanya menggores permukaannya saja. Dan ini kita bukan hanya harus fokus ke penyajian kurikulum, tapi kita juga harus menyadari bahwa cara kita menyajikan, cara kita mengajar ini harus lebih diubah agar kualitas ajaran itu bukan hanya lebih bisa diserap dengan baik tapi lebih relevan untuk bagaimana manusia itu bisa menjaga planet dengan baik dan dengan cara yang bijaksana ke depan.


Nah, ujung-ujungnya ini tergantung kita semua. Bagaimana kita bisa secara bijaksana memberdayakan teknologi yang sangat inovatif dan lengket dengan speed dan acceleration kecepatan yang semakin meningkat. Tapi bagaimana kita harus bijaksana memberdayakan teknologi tersebut agar kita fokus ke hal-hal yang sifatnya yaitu menu utama, bukan menu penutup, bukan menu pembuka. Tentunya hal-hal yang jangka panjang sifatnya. Itu termasuk apakah itu perubahan iklim, termasuk bagaimana kita bisa menurunkan kesenjangan. Kita melihat fenomena akhir-akhir ini bahwasanya uang itu semakin terelitisasi, sehinggs kesenjangan itu semakin menganga, melotot di depan kita. Rasio koefisien Gini semakin meningkat. Bukan hanya di negara-negara berkembang tapi juga di negara-negara maju. Ini harus disikapi oleh kita semua dan generasi penerus. Ketiga tentunya adalah inklusi keuangan. Semakin, bukan hanya rakyat punya akses ke uang tapi punya akses ke skala uang yang mencukupi agar mereka bisa menempelkan ide yang keren dengan uang semakin kita bisa lebih optimis dengan prospek penurunan kesenjangan atau inequality di kemudian hari.

 

Seperti yang terkait dengan inequality atau kesenjangan, ini sebetulnya cukup berkolaborasi dengan bagaimana percakapan di dunia ini semakin bukan hanya bercabang tapi terpolarisasi. Dan polarisasi percakapan ini sangat perlu disikapi. Saya berhepotesa beberapa kali bahwasanya polarisasi percakapan ini berkolerasi bagaimana manusia itu menggunakan teknologi. Mungkin platform digital yang selama ini diberdayakan untuk kepentingan sosialisasi. Ini terbukti secara empiris, sangat telah melakukan amplifikasi algoritme terkait dengan narasi-narasi yang kental dengan kebencian, pertikaian, dan kemarahan yang sifatnya jauh lebih mengejek dibandingkan kolaboratif atau kolektif. Tentunya filsafat yang dikedepankan oleh pengguna atau pemilik teknologi digital tersebut adalah kalau ada narasi yang negatif atau kental dengan kemarahan, kebencian, dan segalanya, itu niscaya akan ternetralisir dengan informasi yang positif. Tapi yang perlu kita sadari: informasi yang positif itu lebih banyak ada di mayoritas yang pendiam, yang satu: tidak terlalu mau speak up, dan kedua: tidak teramplifikasi dengan algoritme yang ada dalam platform-platform digital tersebut.


Nah, ini kalau menurut saya adalah satu gejala terkait dengan bagaimana teknologi yang begitu cepat dan begitu meningkat akselerasi kecepatan inovasinya itu tidak diberdayakan atau tidak digunakan dengan cara yang bijaksana oleh manusia. Jadinya kalau kita semakin menyadari bahwasanya semakin kecepatan dan akselerasi itu meningkat, semakin kita terekspos dengan margin of error yang semakin lebar dan semakin besar. Ini adalah salah satu kesalahan yang kita harus sadari yaitu demokrasi akhir-akhir ini seakan-akan disamakan dengan amplifikasi algoritme. Ini tentunya tidak semestiya seperti itu. Dan dengan kesadaran seperti itu kita harus mengambil sikap, bagaimana kita harus satu, mengobati algoritme tersebut dan syukur-syukur mengobati proses demokratisasi ke depan agar kita satu, lebih bisa mendemokratisasikan ide, kedua kita lebih bisa mendemokratisasikan talenta agar ide dan talenta yang ada di generasi sekarang dan generasi penerus itu nyambung dengan kepentingan kita untuk menjaga kelestarian planet Bumi. Sedangkan untuk kepentingan manusia, bisa menurunkan kesenjangan dan agar manusia itu lebih bisa hidup dengan cara yang lebih bijaksana ke depan.

 

 

Era Gemilang Sains yang Terlupakan Part 5 “Meredupnya Cahaya Keilmuwan Islam”

 

                                                                          Part 6        

Meredupnya Cahaya Keilmuwan Islam

 

            Telah ada beberapa pemikiran ataupun spekulasi mengenai sebab berkurangnya pengedepanan sains dan teknologi semenjak berakhirnya zaman Abbasid di tahun 1258 M. Pertama mungkin sangat masuk akal yaitu serangan yang spektakuler yang dilakukan oleh Hulagu Khan terhadap Baghdad di tahun 1258 M, dengan hancurnya dokumentasi ilmu pengetahuan yang banyak sekali, yang sudah terakumulasi dari zaman Yunani ribuan tahun sebelumnya, zaman romawi ratusan tahun sebelumnya.


            Kedua, yang mungkin saja sebagai alasan itu adalah kritik terhadap ilmu pengetahuan sains Aristotelian yang menyebabkan berkurangnya Intellectual Curiosity.


            Ketiga, mungkin saja berkurangnya peran Timur Tengah sebagai peran penting dari Rute Sutra atau Silk Route semenjak pihak-pihak Eropa menemukan jalur maritim yang baru menuju Asia semenjak abad ke-15.


            Keempat, mungkin saja semenjak ditemukannya Printing press atau mesin cetak di Eropa di abad ke-15, ini yang membuahkan episode dimana Eropa itu lebih cepat melakukan pencatatan dan produksi masal untuk karya-karya tulisan mereka yang bisa diberdayakan untuk kepentingan menyebarkan ilmu pengetahuan untuk komunitas mereka.


            Tapi, mungkin yang penting untuk diketahui kita semua adalah keterbukaan manusia terhadap ilmu pengetahuan dari manapunmerupakan atribut penting untuk kemajuan suatu bangsa. Agar bisa menjadi bangsa yang maju, Indonesia tentunya ini perlu mencatat, sebagai negara muslim terbesar di dunia, tentunya kental dengan moderasi, keterbukaan, toleransi, dan kebersamaan. Bukan tidak mungkin untuk Indonesia untuk berperan besar sekali untuk pengedepanan sains teknologi ke depan.

 



Pengetahuan adalah penawar kemunduran. Tanpa akses ke ilmu-ilmu yang ditemukan maupun diterjemahkan oleh para ilmuwan di zaman kejayaan Islam, dunia tidak akan menjadi seperti sekarang.

 

Keterbukaan adalah awal dari kemajuan. Istilah “Ilmuwan zaman kejayaan Islam” disini mewakili tidak hanya mereka yang beragama Islam, tetapi juga para ilmuwan dari semua bangsa dan agama yang hidup dan bekerja di bawah kepemerintahan Islam. Seperti kata pepatah “Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China.


-Narasi ini dibuat bukan dengan maksud mengunggulkan, memojokkan, apalagi mengucilkan kelompok agama manapun, tapi justru sebagai refleksi tentang suatu zaman dimana pengedepanan akal dan logika, serta toleransi dan keterbukaan dapat berjalan beriringan dengan ketaqwaan. Karena bagaimanapun, sains adalah upaya kolektif seluruh umat manusia-.

Era Gemilang Sains yang Terlupakan Part 4 “Teladan Keterbukaan dan Toleransi”

 

                                                                          Part 5        

Teladan Keterbukaan dan Toleransi

 

            Pada intinya, bahasa-bahasa yang dibaca dan diterjemahkan di Bayt al-Hikmah itu bukan bahasa Arab saja, tapi juga diterjemahkan daei bahasa Farsi, Aramaik, Yahudi, Syiriac, Yunani, dan Latin. Jadi bisa dibayangkan keterbukaan mereka untuk belajar dari seluruh penjuru dunia itu luar biasa sekali. Dan tentunya esensi dari ulasan ini adalah tidak ada yang dinamakan sains Persia, sains Arab, sains Islam, sains Yahudi, sains Kristen, akan tetapi yang ada adalah sains. “Sains has no border”. -Sains tidak memiliki batas-.

 

            Tentunya yang menggaris bawahi kejayaan mereka, apakah itu di zaman Umayyad, Abbasid, ataupun Ottoman adalah KETERBUKAAN dan TOLERANSI. Tapi saya perlu garis bawahi disini, sempat ada seorang ahli spiritual, ahli filsafat, dan ahli macam-macam yang bernama Hamid al-Ghazali, seorang polematika keturunan Persia. Beliau menulis banyak sekali karya-karya tulisan. Dua yang akan saya highlight. Pertama adalah “Revival of the Religious Sciences”, bahwasanya ajaran Islam itu sudah dilupakan di zaman Abbasid, dan beliau mengingatkan untuk kaum Islam itu untuk tetap mendekatkan diri dengan agama. Karya keduanya adalah “The Incoherence of the Philosophers” yang mengkritik ilmu pengetahuan sains Aristotelian, bahwasanya revelatian (wahyu) itu lebih tinggi daripada investigasi atau rasionalitas. Mungkin kalau saja pengedepanan sains dan teknologi itu terus berlanjut semenjak zaman keemasan Islam di zaman Abbasid, mungkin sekali kemenangan di Nobel dalam bidang sains yang dimenangkan oleh kaum Islam itu jauh lebih besar daripada hanya 0,5% dari total kemenangan selama ini. Tapi tentunya Nobel itu bukan penilaian yang universal, tapi hanya salah satu dari acuan untuk sejauh apa kita sudah mengedepankan ilmu sains dan teknologi.

Era Gemilang Sains yang Terlupakan Part 3 “House of Wisdom atau Bayt al-Himah”

 

Part 4

House of Wisdom atau Bayt al-Hikmah

 

            Pada intinya pengedepanan sains dan teknologi sangat termanifestasi di zaman Abbasid atau Abbasiyah. Salah satunya adalah House of Wisdom atau Bayt al-Hikmah atau Rumah Kebijaksanaan, ini sebetulnya tempat yang dilahirkan oleh raja Al Mansyur di zaman Abbasid dan ini merupakan tempat yang ujung-ujungnya menjadi perpustakaan yang sangat besar dan spektakuler dan menjadi institusi pendidikan yang bisa mengumpulkan karya-karya yang luar biasa. Tetapi pada masa selanjutnya, The House of Wisdom ini disempurnakan oleh raja berikutnya keturunan raja Al Mansyur, yang bernama Harun al-Rasyid yang berkuasa di tahun 786 M – 809 M. Tentunya ini dibesarkan lagi dan diindahkan lagi oleh raja al-Ma’mun yang juga merupakan keturunan dari Harun al-Rasyid. Beliau ini yang mengumpulkan bukan hanya koleksi-koleksi pribadi dari zaman al-Mansur, Harun al-Rasyid, dan al-Ma’mun saja, tetapi mereka mengumpulkan karya-karya, tulisan-tulisan dari seluruh penjuru dunia. Ini mungkin yang membedakan keterbukaan yang berada di zaman Abbasid dibandingkan keterbukaan yang ada di zaman-zaman Islam lainnya.


            Di House of Wisdom atau Bayt al-Hikmah, ada 4 ilmuwan yang mungkin bisa di-highlight atau digaris bawahi. Pertama adalah yang paling terkenal, ini adalah Ibnu Sina, yang hidup di tahun 980 M - 1037 M. Beliau ini orang keturunan Persia, tetapi dari kecil beliau dikenal sebagai prodigy, dan lahir di Bukhara, di negara sekarang namanya Uzbekistan. Beliau adalah ahli dalam bidang filsafat, kedokteran dan astronomi, yang menulis “The Canon of Madicine” yang menjadi acuan ilmu kedokteran di dunia Islam dan Eropa. Bahkan acuan atau referensi di ilmu kedokteran di zaman kontemporer itu masih banyak mengacu ke temuan-temuan atau karya-karya dari Ibnu Sina.


            Berikutnya adalah Al-Biruni yang hidup dari tahun 973 M – 1048 M. Beliau juga orang Persia, tidak seterkenal Ibnu Sina, tapi belia ahli filsafat, teologi, matematika, fisika, dan seorang polimatika. Bahkan banyak sekali teori-teorinya beliau itu diberdayakan, direferensikan, digunakan sebagai acuan oleh ilmuwan-ilmuwan terkenal di Eropa dan dunia sekitarnya hingga ratusan tahun berikutnya. Beliau juga dijuluki sebagai geologis atau ahli geologi dan antropologi pertama. Beliau juga dujuluki sebagai Leonardo Da Vinci-nya dunia Islam. Beliau sangat merupakan follower atau pengikut dari orang ilmuwan lainnya yang bernama Al-Khwarizmi, yang juga hidup di zaman Abbasid, lahir di Uzbekistan. Beliau juga terkenal menggunakan trigonometri untuk mengukur panjang lingkaran planet dunia atau bumi. Jadi, bayangkan kalau Al-Biruni pada masa itu sudah bisa mengukur lingkaran atau panjang planet Bumi di ratusan tahun sebelum Christopher Colombus menemukan Amerika. Ini berarti bisa diargumentasikan bahwa ilmuwan di zaman Abbasid itu sebetulnya sudah mengambil kesimpulan bahwasannya planet bumi itu bulat, bukan rata.


            Berikutnya adalah Ibn al-Haytham. Beliau adalah orang keturunan Arab bukan Persia. Hidup di tahun 965 M – 1040 M. Beliau adalah bapak dari optik modern. Beliau juga merupakan seorang astronomer, ahli matematika, ahli fisika, dan beliau lahir di Bashrah yang sekarang berada di negara Irak. Beliau juga dikenal sebagai seorang polimatik, yang ahli di bidang filsafat, dan kedokteran.


            Berikutnya adalah ilmuwan yang juga tidak kalah terkenal yaitu Ibn Musa al-Khwarizmi. Hidup di tahun 780 M – 850 M, lahir di Uzbekistan, seorang Persia. Beliau juga seorang polimatik yang menjadi pemimpin House of Wisdom atau Bayt al-Hikmah. Beliau ini adalah orang yang menemukan aljabar, dengan tulisan kitab beliau adalah “ Al Jabr Wa al-Muqabala” atau “Compendium on Completion and Reduction”. Dan tentunya banyak yang belum sadar bahwasanya kata Al-Khwarizmi ini menjadi dasar atau asal-usul penggunaan konsep atau kata algoritma atau algorithm.


Banyak ilmuwan-ilmuwan lainnya yang sangat jaya di zaman Abbasid, termasuk Abu Bakr al-Razi, keturunan Persia, yang merupakan ahli kedokteran, filsafat, alkimia, logika, astronomi, dan menulis banyak sekali mengenai penyakit-penyakit, termasuk smallpox, chickenpox, dan pediatric. Berikutnya Abu Ma’shar, ahli astrologi yang menerjemahkan karya-karyanya Aristoteles. Ada juga Sahl ibn Harun, seorang ahli filsafat dan polimatika. Al-Hajjaj ibn Yusuf ibn Matar, ahli matematika yang menerjemahkan karya-karyanya Euclid. Hunayn ibn Ishaq seorang dari Syiria, seorang kristen yang ahli filsafat dan pernah diberikan amanah atau tanggungjawab untuk mengepalai House of Wisdom atau Bayt al-Hikmah. Abu Bishr Matta ibn Yunus, seorang Kristen juga, yang ahli kedokteran, yang sangat dimuliakan di zaman Abbasid. Dan Al Kindi seorang ahli filsafat, ahli matematika, dan musik. Jabir ibn Hayyan, yang merupakan ahli kimia dan al chemi. Omar Khayyam, ahli matematika, puisi, dan astronomi.


Kalau kita mengacu ke era yang lebih modern atau kontemporer di tahun 1543 M, ada seorang ilmuwan bernama Nicolaus Copernicus dari Polandia yang menemukan bahwasanya bukan planet bumi, tapi justru matahari yang merupakan pusat atau sentra dari sistem tata surya atau the solar system. Karyanya beliau mengacu ke banyak sekali karya-karya dari ilmuwan di zaman Abbasid termasuk Nasir al-din Al-Tusi dan Al-Battani. Mereka ini adalah ahli astronomi, matematika, dana fisika di masa kejayaan Abbasid.


Next Part 4 .......

SYAHDAN

    Pada tempat yang sunyi , senyap , disekitar macam-macam gunung diluar Mekah timbullah berkali-kali persoalan. Lagit Arabia tiada dili...